sumber gambar: kotopopi.com |
Nyamannya hanya tiduran. Jalan tak enak, duduk pun
sakit. Sementara diklat baru berjalan seminggu. Masih terbentang jalan panjang
hingga lima bulan ke depan. Jauh sekali. Ngaluk-aluk.
Tebersit ketakutan, bagaimana kalau pinggang tak
segera sembuh. Sementara saban hari harus fokus duduk menghadap layar, minimal
sekitar 5 jam.
***
Saya ditugaskan mengikuti diklat pada Maret 2020.
Saat itu awal pandemi. Diprogramkan, diklat diawali kelas online berformat e-learning,
selama lebih kurang 4 bulan. Dilanjut diklat klasikal tatap muka di Cianjur 2,5
bulan. Tetapi, pandemi semakin menggiriskan. Diklat klasikal dipastikan ditunda
hingga 2021.
Memasuki 2021, tersiar kabar diklat sebentar lagi
berjalan. Tersisip info tipe diklat yang akan dihelat, bisa klasikal sesuai
rencana, atau berubah full online. Muncul
kabar kemudian, tertunda kembali. Hingga awal Desember 2021, belum jua
terlaksana.
Tak ada yang bisa disalahkan. Siapa pun tak ada
yang tak kaget didatangi pandemi. Tak terkecuali diklat yang terpaksa mundur.
Serba dinamis, sekaligus fluktuatif.
Pertengahan Desember 2021, grup WhatsApp diklat yang dibentuk tahun 2020
dan selama ini sesenyap tengah malam, tiba-tiba muncul 1 notifikasi. Pesan
berasal dari penyelenggara diklat. Berisi bocoran info, diklat akan
dilaksanakan awal 2022.
Excited sekaligus over
thinking. Excited karena ada
secercah kepastian. Kepikiran sebab muncul tanya akan seperti apa, dimana, dan
bagaimana-bagaimananya. Membuat kebat-kebit.
Pertengahan Januari 2022, surat tentang pelaksanaan
diklat dan penjelasan teknisnya tiba. Full
online. Sampai pertengahan Juni, mulai awal Februari.
***
Pinggang, khususnya sebelah kiri, sakit. Terasa
seperti habis aktivitas berat, semacam mencangkul sawah 2 petak atau ngangkut
pasir 1 rit. Sakitnya seperti capai yang sangat. Baru pertama kali alami
seperti ini.
Futsal, angkat beban, lari, jalan, dan bersepeda
jauh bahkan tak hasilkan rasa seperti itu. Ia dihasilkan hanya dari duduk saja.
Tapi memang duduknya berjam-jam.
Sebenarnya, duduk lama tidak masalah jika tidak
diperburuk faktor-faktor lain. Kondisi saya, diperparah kursi tidak ergonomis
dan gaya duduk yang salah.
Kursi terlalu rendah, busa menipis. Tidak menopang
tubuh dengan baik. Karena kursi tak suportif, gaya duduk akhirnya saya
tinggi-tinggikan dan ditopang dengan kaki disilangkan ke kaki yang lain. Jegang.
Duduk lama, kursi tidak oke, keliru gaya duduk,
ditambah tanpa diimbangi peregangan. Plus kurang minum, karena di ruangan
ber-AC. Multi sebab itu layak munculkan nyeri pinggang. Saya pantas
mendapatkannya.
Pertolongan sementara, kompres panas dan kompres
es. Oles Counterpain panas dan dingin.
Mengurangi sakit hanya sebentar. Efeknya temporer.
***
Yang terpikir, harus segera ke Plaza UNY untuk
terapi fisik atau fisioterapi. Tempat itu menjadi jujugan teman-teman futsal dan anggota keluarga saya saat cedera.
Celakanya, tempat itu tutup sampai waktu yang belum ditentukan. Omicron meningkat. Asem tenan.
Cari info sana-sini. Ketemu tempat alternatif, di
daerah Umbulharjo. Ternyata berisi para alumni UNY Program Studi Ilmu
Keolahragaan. Tak beda dengan yang di Plaza UNY.
Kata Terapis, segala hipotesis saya benar.
Perpaduan sebab-sebab tadi lahirkan low
back pain (LBP) yang menyiksa.
Dua kali terapi, saya dipijat, diurut, dipanaskan di titik sakit, dan diajari
gerakan-gerakan stretching.
Usai terapi pertama, badan sakit semua. Nyeri. Njarem. Wajar, karena titik itu dan
titik-titik sekelilingnya ditekan dan diurut kuat. Dipesan Terapis, jika dalam
10 hari tiada perkembangan berarti, saya dianjurkan datang lagi. Saya pun harus
rajin stretching. Untuk cedera otot,
menurut Terapis, di samping terapi harus ditunjang rajin peregangan.
Beriringan. Tak boleh saling meninggalkan.
Pasca terapi pertama, ada efek positif. Rasa sakit
berkurang, tapi belum hilang sempurna. Masih tersisa, dan belum nyaman untuk
duduk lama. Saya datang lagi ke Umbulharjo.
***
Usai terapi kedua, sakit berangsur menghilang. Tapi
belum bisa dibilang sembuh total. Sakit sudah 2 minggu lebih. Diklat masih
panjang. Tak sabar ingin sembuh, dan pertimbangkan tempat terapi lain.
Sudah reservasi untuk nanti malam, di Jogja Sport
Clinic (JSC), barat Pasar Condong
Catur. Sorenya, telpon Bapak. Dianjurkan minum Neurobion warna pink dulu. Karena dulu beliau sempat
alami rasa tak nyaman di urat, diminumi Neurobion, sembuh. Tak jadi ke JSC.
Esoknya, beli Neurobion tablet pink, yang secara dosis lebih tinggi dari tablet putih. Minum 1,
dalam hitungan jam, rasa sakit berkurang signifikan. Gembira.
Hari ketiga minum, sakit tinggal 10 persen.
Diteruskan minum sampai 10 tablet habis. Sembuh total. Persis di sebulan sejak
sakit pertama. Berarti itu di pertengahan Maret 2022. Diklat berlanjut lebih
cerah. Tubuh prima.
Pertanyaannya, apa yang sebabkan LBP saya sembuh. Saya penganut paham,
bahwa apapun tidak terjadi hanya karena 1 sebab semata. Kumpulan ikhtiar,
doa-doa, dan kemurahan Tuhan jadi sumbernya.
***
Memasuki Juni 2022, diklat merayap menuju finish. Laporan-laporan menunggu diselesaikan.
Tepat di ujung awal Juni, mulai berkutat rampungkan laporan akhir. Jika
sebelumnya saya memilih untuk diklat online
di kantor, untuk laporan, saya menyelesaikannya di rumah.
Sebenarnya, laporan terdiri dari 3 item. Satu laporan telah terselesaikan 1
hari sebelum lebaran. Dua item berikutnya dicicil mulai pertengahan Mei. Mulai
awal Juni, ngebut di laporan inti,
yang secara substansi, banyak dan sangat kompleks.
Nah, dua minggu di awal hingga pertengahan Juni itulah,
saya duduk untuk intensitas yang lebih tinggi dibanding di awal diklat.
Seharian penuh. Jam kerja normal, ditambah sampai sekitar tengah malam. Herannya,
penderitaan di Februari sampai Maret terlupakan.
Karena melupakan penderitaan, lupa pula bagaimana
agar penderitaan itu tak terulang. Mungkin karena kepala penuh laporan,
sampai-sampai tak ada ruang untuk mengingat pentingnya kursi yang ergonomis,
posisi duduk, peregangan, dan jumlah minum yang cukup. Tepat di H-3 presentasi
laporan diklat dan ujian, LBP kambuh. Ia datang tak tahu waktu. Jan tenan!
Di saat duduk menjadi posisi yang tak bisa ditawar,
LBP kembali mengganggu. Selasa malam, di mana Rabunya saya ujian, LBP semakin
parah. Jauh lebih sakit daripada yang pertama dulu. Untuk menunduk saat wudhu
dan ruku’, sakitnya minta ampun. Kaku
nyeri jadi 1. Panik. Besok gimana ini
ujian.
Counterpain dioles lagi, dikompres lagi, dan dipijat istri.
Perlahan berkurang. Langsung reservasi ke JSC dan berjanji tak ditunda lagi.
Usai ujian, sorenya langsung ke sana. Diterapi
dengan teknik yang kurang lebih mirip dengan di Umbulharjo. Hanya, di JSC
ditunjang peralatan yang lebih modern. Wajar, secara ongkos memang lebih mahal.
Keesokan hari, sakit hampir amblas.
Jumat pengumuman kelulusan diklat. Hamdulillah lulus. LBP pun sembuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar