sumber gambar: middleweb.com Atasan di kantor, seorang Ibu, terus semangati agar saya
kuliah lagi. S2. Seperti beliau yang sudah sekian tahun sebelumnya lulus. Saya
tentu ingin pula. Lebih ingin lagi jika lewat jalur beasiswa. Menurut beliau, saya jangan terlalu banyak ambil
tempo. Cepat saja. Mumpung masih muda. Tapi, kabar beasiswa belum kunjung tiba.
Sembari endapkan keinginan, hidup terus berjalan.
Pada suatu kesempatan, tiba-tiba Bapak saya memberi pilihan. Mau dibelikan
sesuatu atau kuliah lagi. Ternyata anggaran tersedia. Saya menimbang. *** Ketika itu 2014. Tahun ketiga saya bekerja. Sudah
sejak lama saya ingin kuliah lagi, ditambah dorongan atasan. Saya punya target,
minimal lulus S2. Target itu dilandasi alasan pribadi untuk
pengembangan diri. Sekaligus menambah kompetensi demi perjalanan karier. Dengan
perkembangan jaman yang membawa persaingan ketat sebagai konsekuensi, S1
rasanya kurang. Pencarian beasiswa dilakukan. Ketemu. Bahkan lembar
pengumuman beserta persyaratan sudah tiba di atas meja. Saya berpikir. Saya
meminta pertimbangan ke orang tua dan atasan. Waktu terus bergulir. Dengan beragam variabel dan
bahan pemikiran, akhirnya diputuskan saya kuliah dengan mengambil beasiswa.
Beasiswa penuh, full scholarship dari
Bapak. Alias dibayari bapake dhewe wkwkwk. Kampus hasil pilihan sudah ada. Kampus dipilih
berdasar rekomendasi atasan. Beliau lulusan sana. Ya sudah ikut saja. Apalagi
beliau siap hibahkan buku-buku kuliahnya. Langkah semakin ringan. Mendaftar dan urus sana sini. Tibalah jadwal ujian
seleksi masuk. Seusai ujian, petugas kampus berjanji akan segera mengabarkan
hasil tes dan kapan bisa mulai kuliah. Secuil beban gugur. Setidaknya langkah
kecil sudah dijalani untuk benar-benar kuliah lagi. Cukup lama saya menunggu panggilan kuliah. Di masa
penantian itu, terjadi perubahan aturan terkait persyaratan kuliah yang dapat
menunjang pengembangan karier. Saya telpon kampus untuk menanyakan. Ternyata belum dapat memenuhi. Cari kampus lagi. *** Momentum perubahan aturan saya manfaatkan untuk
mencari jurusan yang linier dengan kuliah S1. Karena rekomendasi atasan bukan
jurusan yang sama dengan S1 saya. Cari kampus. Cari jurusan linier. Akhirnya
dapat. Cari info, apakah jurusan itu punya kelas
khusus karyawan, bukan kelas regular. Karena saya harus tetap masuk
kerja. Ternyata jurusan itu hanya buka kelas regular. Pupus. Googling. Tanya kanan kiri. Dapat.
Tapi bukan jurusan linier. Tak apalah. Toh saya tertarik ilmu di jurusan itu. Pikir saya lagi, yang penting akreditasi A. Nama
besar, mutu insya Allah terjamin. *** Kuliah
lagi benar-benar terjadi. Ketemu teman-teman baru. Ada yang lulusan anyar, kepala bank negara, pegawai baru macam saya, wiraswasta, pencari
kerja, dan bos asuransi plat merah. Warna-warni. Mereka
sosok-sosok yang asyik. Baru berapa kali bertemu langsung terasa bak bertahun-tahun
bersama. Awal-awal
kuliah, terasa menyenangkan sekaligus menegangkan. Menyenangkan karena memasuki
dunia yang sama sekali baru. Sangat menggairahkan, meski harus mulai dari awal. Dari nol. Karena bidang
ilmu ini bidang baru bagi saya. Menegangkan, karena apapun yang pertama pasti memerlukan adaptasi.
Adaptasi ilmu, adaptasi teman, adaptasi waktu. Syukurlah terlewati dengan baik. Jika dulu
saat S1 kuliah dijalani demi mencari bekal untuk cari kerja, nuansa S2 terasa
berbeda. Kuliah dijalani saat sudah bekerja dan berpenghasilan. Spiritnya lain.
Ketika di
kelas, perasaan saya seperti sedang ikut seminar. Menimba ilmu dari bidang yang
baru. Menarik sekali. Beban pun terasa tidak seperti saat S1. Nyaris tanpa beban. Perlahan,
rasa itu memudar. Kampus dengan nama besar, mutu yang sangat dijaga, dan profil
dosen yang mumpuni, mulai menampakkan wajah aslinya. Tugas demi tugas tanpa
ampun menghunjam. Celakanya, pekerjaan di kantor tetap membutuhkan energi dan
waktu yang penuh. Tugas-tugas
harus diselesaikan di waktu-waktu yang berimpitan. Terkadang, sampai harus
mencuri waktu di kantor. Di saat seperti itu, sering terdengar suara gaib dari dalam kepala: “Siapa suruh cari masalah?! Sukurin!!” *** Tulisan
ini seharusnya dibuat beberapa tahun yang lalu.
Saat masih kuliah atau baru saja lulus. Tetapi, karena didului tema-tema lain
yang menuntut didulukan, akhirnya baru bisa tersaji. Tulisan
mendapat momentum, karena dalam beberapa waktu belakangan, beberapa teman sekantor sedang berjuang untuk beasiswa
S2. Otomatis, ingatan kembali ke masa itu. Semoga
teman-teman lolos dan kemudian lulus. Selamat berjuang. Sukses selalu. *** Keadaan
semakin tidak berpihak saat memasuki tengah
hingga jelang akhir kuliah. Masa-masa penjurusan spesialisasi bidang dan
penyusunan tesis. Teman sejak awal dan kadung akrab, terpencar tercerai berai. Teman-teman
baru lagi. Mata kuliah semakin mengerucut, mengkhusus. Penyesuaian. Lagi. Pekerjaan bertambah padat dengan makin lamanya masa
kerja. Kompatriot menyusut, karena banyak sekali memasuki usia pensiun. Kuliah
terus saja dengan berbagai macam dinamika yang menuntut dirampungkan. Kelas habis, tesis mulai. Tahap memilih dosen
pembimbing Jika saat memilih pasangan terkadang cukup berdasar
senyuman, memilih dosen nampaknya perlu beragam pertimbangan. Mulai dari
penguasaan ilmu, karakter, sampai kemudahan bimbingan. Akhirnya saya putuskan memilih beliau, seorang
dosen yang penuhi beragam kriteria tadi. Seorang Doctor of Philosophy lulusan Australia. Beliau pengajar yang hebat. Sudah sewajarnya,
beliau juga story teller yang tidak
pernah membosankan. Beliau selalu aplikasikan teori di buku ke dalam kasus-kasus
dunia nyata. Teori yang mengawang, mampu dibumikan. Pertanyaan-pertanyaan terjawab dengan memuaskan.
Saya belum pernah kecewa. Beliau kalem tapi tegas. Ketegasan tampak di awal
penyusunan proposal tesis. Saya datang dengan proposal yang nyaris jadi. Saya
menyusun berdasar sependek pemahaman tentang bagaimana seharusnya proposal
tesis disusun. Saya sowan ke dosen pembimbing dengan cukup pede dan berharap lolos. Lalu seminar. Sampai ke hadapan beliau, proposal saya dibongkar.
Hampir total. Standar saya tidak mencapai standar beliau. Jauh panggang dari
api. Pahit. Pedih. Tapi harus dilanjutkan. Apa yang dimulai,
harus diselesaikan. Kepalang basah, nyebur
sekalian. Di masa itu pula, saya tiba-tiba dikomando
Bapak-Ibu agar segera mencari tanah untuk dibangun rumah. Kelak, akan ada
cerita tersendiri tentang ini. Cari tanah. Pikiran terpecah. Proposal berjalan, meski dengan thimik-thimik. Minimal dua minggu sekali
saya sowan ke Pak Dosen. Beberapa kali di sela-sela jam kerja. Untung saja, atasan saya --sosok yang berbeda
dengan atasan di awal tulisan, karena beliau sudah mutasi— sangat baik dan
suportif. Kapan pun saya minta ijin ke kampus, pasti beliau ijinkan: “Monggo, Mas. Dirampungke riyin.” [bersambung] *** Link Tulisan Kedua: Cerita Kuliah Lagi (Bagian 2) |
Kamis, 08 Juli 2021
Cerita Kuliah Lagi (Bagian 1)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar