sumber gambar: econlib.org |
Agenda
hari itu rapat beruntun. Dua kali. Tanpa jeda. Saya datang tepat waktu, tetapi
sesampainya di sana, saya harus menunggu.
Ternyata,
karena satu dan lain hal, rapat ditunda sampai usai istirahat siang. Meski agak
jengkel, saya dapat menerima. Mengingat padatnya jadwal penyelenggara dan
beberapa sebab lain yang masuk akal. Sebagaimana
akhir tahun sebelum-sebelumnya, akhir 2020 menyimpan banyak agenda. Apa yang
dimulai di 2020 harus dirampungkan. Apa yang dilaksanakan di 2021 harus dicicil
dan dimulai. Rapat dua kali dalam rangka itu pula. Sambil
menunggu waktu, saya keluar ruangan. Salat Zuhur tak lama lagi memasuki
waktunya. *** Sebenarnya
saya akan Salat Zuhur di masjid, tapi tak sampai seratus meter berjalan, saya
temui musala. Saya berhenti, duduk, dan melepas sepatu. Terlihat
masih ada salat berjamaah. Tampak pula seorang bapak yang selesaikan wudunya.
Saya santai dan bergerak perlahan saja. Toh
ruangan masih penuh. Hitung-hitung sambil menunggu giliran. Tidak
nyana, bapak yang wudu tadi mendekati saya dan berkata: “Mas, salat di masjid saja ya”. Saya kaget. Dalam sepersekian detik
teringat didikan agar selalu bersikap asertif. Saya putuskan menjawab, dengan
nada menggugat: “Lho, kok Bapak boleh
salat di sini?” Mungkin
karena tidak mengira saya berkata seperti itu, ia terdiam dan sedikit gelagapan
memilih kalimat. *** Sudah
rapatnya dua kali beruntun, datang tepat waktu, ditunda pula, eh mau salat ada larangan. Kontan saja
saya hampir muntab. Untung saya masih bisa menahan interval nada bicara pada
nada menengah. Tak sampai tinggi. Bapak
tadi lalu menjawab: “Iya, Mas. Sementara
musala untuk kalangan kami dulu nggih.” Malas berdebat, saya pakai sepatu
lagi. Saya tetap tak habis pikir, kenapa musala yang biasanya boleh dipakai
siapa saja, hari itu terjadi eksklusivitas. Saya
pakai sepatu sambil mikir, tentu ditambah mangkel. Saya tidak kunjung temukan
penjelasan logis. Dengan
bersungut-sungut, saya turuti kemauan si bapak. Saya putuskan salat di masjid.
Di saat itulah, mungkin karena melihat ekspresi saya, ia meneruskan kalimatnya
yang terpotong,: “Maaf ya, Mas. Jadi
sebenarnya di kantor kami baru selesai rapid test dan ada pegawai yang reaktif..” Muka
saya yang tadinya berurat kaku, spontan melunak. Jengkel pun luntur. Ternyata
sebabnya itu. Saya
yang sebelumnya merasa didiskriminasi, justru sekarang merasa diselamatkan.
Saya yang menggerutu, menjadi bersyukur. “Oh begitu njih, Pak. Siap. Matur nuwun sudah
diinfo, Pak”. Saya bergegas ke masjid dengan hati lega. *** Fragmen
kisah nyata yang saya alami memiliki latar belakang, sehingga terjadi
sebagaimana tertutur di atas. Si bapak melarang karena alasan tertentu, saya
hampir marah juga karena ada sebab. Saya
hampir marah karena yang biasanya salat di mana saja boleh, siang itu dilarang.
Saya begitu karena tak bisa berpikir jernih. Di tengah pandemi yang hampir
setahun, seharusnya saya bisa menduga ada sesuatu yang terkait dengan itu.
Tapi, gagal. Saya
tarik kembali ke belakang, mengapa pikiran saya gelap dan keruh. Satu, mungkin
karena pikiran saya penuh rangkaian pekerjaan yang harus diselesaikan. Masih
ada agenda rapat beruntun dengan waktu yang ditunda. Pun, ada jadwal lain yang
memiliki tenggatnya masing-masing. Oleh karenanya, bisa dibilang saya sedang bunek. Kalut. Dua,
teringat, saya hari itu tidak sarapan. Sampai sesiang itu perut saya hanya
kemasukan minuman. Saya lapar. Karena lapar, saya emosional. Dan itu ilmiah. Lapar
dapat mengalir menuju stres, kecemasan, dan kegelisahan yang bermuara pada
amarah. Sinyal lapar yang dikirim otak akan merangsang pelepasan hormon adrenalin
kortisol, yang membuat kita sulit kendalikan emosi saat lapar. Munculnya
rasa lapar menjadi tanda bahwa tubuh kekurangan glukosa dan nutrisi, maka
seharusnya segera makan. Kondisi tersebut berakibat pada menurunnya kemampuan
otak untuk mengendalikan emosi. Sebuah
studi di Universitas Ohio Amerika Serikat menemukan, semakin rendah kadar gula
dalam darah, seseorang akan semakin mudah marah dan agresif. Lapar memang
berbahaya. Dari
sisi saya, itulah sebabnya. Tetapi, saya percaya, suatu hal seringkali terjadi
tidak hanya karena satu hal. Jadi, ada peran si bapak juga dong.. Menurut
analisis saya, amarah saya terpancing karena teknik penyampaian si bapak. Entah
karena ia memang berwatak seperti itu, sebab panik, atau belum tahu saja
bagaimana seharusnya bertutur kepada orang asing. Terutama pada suatu hal yang
sensitif. Saya
yakin, dari penampakan fisik dan logatnya, ia seorang Jawa. Idealnya, saat
menegur saya, alangkah elok dan tentu akan berefek berbeda jika ia
mendahuluinya dengan “nuwun sewu”.
Atau agar lebih universal, dengan “maaf.” Jika
saja si bapak mendahului dengan kata keramat itu, niscaya respons berbeda akan
datang dari saya. Dengan “maaf”, hati
dan pikiran akan refleks bersiap menerima informasi yang berpotensi mengganggu
persepsi dan ego. Sayangnya, si bapak luput dan justru tempatkan “maaf” saat semua sudah terlanjur. Tapi,
pasti si bapak punya pertimbangan tertentu. Entah karena canggung, bingung,
atau tak ingin ciptakan kegaduhan. *** Komunikasi
bukanlah kegiatan remeh. Ia menuntut beragam variabel sehingga menghasilkan
kesepahaman. Jika satu atau beberapa aspek tidak terpenuhi, bersiap saja,
kesalahpahaman berujung konflik akan terjadi. Oleh
karenanya, kita harus memahami konteks lokasi dan peristiwa yang melatari. Dari
sana, kita dapat memilih teknik, diksi, dan kalimat yang akan kita
komunikasikan. Namun,
dalam kehidupan yang menyimpan kompleksitas tiada tara ini, kesalahpahaman
terkadang tidak dapat dihindari. Jika harus terjadi, maka terjadilah. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar