(sumber gambar: resaja.com) |
Tahu,
semua orang pasti tahu betapa pentingnya olahraga. Namun, tak banyak yang rutin
melakukannya. Alasannya macam-macam. Mulai dari tidak sempat, sampai alasan
paling tidak bisa digugat: malas.
Angeeeel. Wis angeeeel..
Berdasar
data Badan Pusat Statistik tahun 2018, hanya 35,7% penduduk Indonesia yang
aktif berolahraga. Tak sampai separuh!
Persentase
itu sudah bertambah dibanding data tiga tahun sebelumnya. Cuma 27,6% penduduk Indonesia yang
aktif olahraga pada tahun 2015. Semoga data tahun 2019 dan setelahnya
menampilkan angka yang menggembirakan.
***
Sejak
kecil, saya disuguhi pemandangan yang tak pernah jauh dari nuansa sporty. Orang-orang terdekat menampilkan
lingkungan yang positif dan sehat. Siapa lagi kalau bukan kedua orang tua saya.
Mereka
sosok yang sadar pentingnya olahraga. Karena sadar saja tidak cukup, mereka juga
mempraktikkannya. Bapak sejak muda sudah menekuni bermacam olahraga. Tapi saya
hanya menangi saat beliau menekuni sepeda,
lari, dan sempat diselingi angkat beban. Sejak saya lahir sampai sekarang, beliau
tidak berhenti. Sampai tadi pagi.
Selain
aktif dalam PKK dan Dasa Wisma, ibu saya pegiat senam aerobik. Beliau terdaftar
sebagai member sebuah sanggar senam
milik seorang juragan emas. Sekarang, berdua bersama bapak, beliau rutin jalan
pagi.
***
Era
90-an sampai awal 2000-an adalah era yang menguntungkan untuk selalu bergerak. Handphone belum umum, sepeda motor masih
cukup mahal untuk dimiliki. Internet bahkan belum sedikit pun menyentil panca
indera. Semua menuntut gerak fisik untuk mobilitas harian.
Sebagai
produk era itu, saya masih merasakan bersekolah jalan kaki dan bersepeda. Jam
rehat diisi sepak bola atau petak umpet. Sorenya begitu lagi bersama
teman-teman ngaji.
Saking
sukanya sepak bola, saat SD saya memohon didaftarkan sekolah sepak bola (SSB).
Ketika itu pasca Piala Dunia 1998. Dunia terkena demam bola, tidak terkecuali
saya.
SSB
menjawab impian para bocah untuk meniru gocekan para idola. Saya ingin bisa
seenergik Michael Owen, segarang Gabriel Omar Batistuta, dan setampan David
Beckham.
Sampai
SMP saya masih sepak bola, tapi tidak serutin saat SD. Berangkat dan pulang
sekolah jalan kaki atau nyepeda. Saat
libur, lari bersama bapak atau bersepeda bersama teman selalu awali hari.
Nah, saat
SMA, saya mulai jarang olah raga. Jarak sekolah sekitar 22km membuat waktu dan
tenaga tersita. Belum lagi ditambah jadwal ekstra kurikuler dan bimbingan
belajar. Rasanya, saat itu yang rutin bergerak hanya jari tangan untuk mencatat
pelajaran.
Seingat
saya, frekuensi olahraga saya jauh berkurang semasa SMA. Sesekali bersepeda,
sesekali sepak bola, dan jarang lari pagi.
Sementara,
bapak dan ibu terus saja. Tak pernah berhenti. Padahal, khususnya bapak,
bekerja sangat sibuk. Tapi tetap saja, tak banyak alasan. Lari terus, sepeda
terus.
***
Data
berbicara hanya 35,7% penduduk Indonesia yang aktif olahraga. Itu berarti hanya
sekitar sepertiga seluruh penduduk. Itu sungguh sedikit, tapi saya percaya data
itu.
Bukti
empiris yang saya miliki, bapak bersama kelompoknya yang tak sampai belasan
orang itulah sedikit dari penduduk di tempat tinggal saya yang aktif olahraga. Mereka
sangat istiqomah.
Jika
dikerucutkan kembali dari sekian orang itu, yang betul-betul tak kenal lelah
hanya sekitar separuhnya. Salah satunya, bapak.
Jadi,
memang betul, tidak banyak orang yang konsisten dan persisten berolahraga. Saya
beruntung memiliki teladan langsung dan dekat.
Dikira
berusia lebih muda dari usia sebenarnya, menjadi kebiasaan bapak. Saat pensiun
sekitar tujuh-delapan tahun lalu, semua temannya berkata beliau belum pantas. Itulah
sedikit dari banyak efek positif perjuangan olahraga berpuluh tahun.
***
Saat
kuliah, praktis saya sama sekali tidak berolahraga. Kuliah di IPB sangat jauh
dari stereotype kuliah yang tampak di
FTV. Nihil santai-santai, apalagi mbolas-mbolos.
IPB
membuat makalah dan tugas menjadi nama tengah kami. Hidup berada dalam tempo
yang sangat kencang. Bagi saya, yang dikirim jauh-jauh ke sana khusus untuk
berkuliah, olahraga hanya membuang waktu.
Hasilnya,
dipikir-pikir, saat itu saya tidak bugar. Semua tampak dari foto-foto masa itu
yang tampak lusuh dan kuyu.
Saat
bekerja dan kemudian menikah, kenaikan berat badan menjadi isu terbesar. Ada
masanya celana mulai sesak. Memang, selain sedikit berbakat musik, saya
berbakat gemuk.
Gemuk identik dengan tidak sehat dan kurang eloknya penampilan. Ditambah, adanya
penelitian yang menyatakan, semakin besar lingkar pinggang semakin tinggi
risiko mengidap penyakit berbahaya.
Memang,
pria yang sudah menikah hidupnya ayem
tentrem. Yang masakin ada, uang
tersedia, beli makanan yang diinginkan bisa. Saat itulah, jika tidak dikontrol,
perut semakin tak terkendali. Kancing baju pun meronta-ronta.
Mulai,
saya berusaha merutinkan lari pagi. Di kantor dibangun lapangan futsal. Membuat
kami bermain seminggu dua kali. Di akhir minggu, ditambah jalan atau jogging.
Hampir
dua tahun kelompok futsal kami meredup. Sosok yang mengomandani dan membimbing
sudah purna. Vakum.
Saya
memilih menggantinya dengan perpaduan High
Intensity Interval Training (HIIT) dan angkat beban seminggu tiga kali.
Ditambah sekali bersepeda.
***
Dengan
rutin olahraga, flu jarang menyerang. Berat badan stabil terjaga.
Olahraga
tak hanya sebabkan jarang sakit. Ia membuat bugar. Bugar setingkat di atas
sehat. Jika sehat sekadar tidak berpenyakit, bugar itu tubuh terasa segar. Fit.
Olahraga
menjadikan tidur dan makan mencapai standar baru. Tidur lebih pulas, makan
makin enak. Percayalah.
Olahraga
juga bertanggung jawab atas meningkatnya hormon endorfin, dopamin, dan serotonin. Endorfin membuat kita bahagia dan menurunkan stres. Dopamin pun sama, mengatur agar hati jadi happy.
Serotonin berperan mengatur emosi, daya ingat, dan menurunkan kadar stres pada tubuh
akibat kelelahan fisik. Pada gilirannya, dopamin dan serotonin bekerja sama
mengatur mood, melahirkan perasaan
senang, dan menciptakan pikiran positif.
Satu
lagi, jika selama ini kalimat “demi
bangsa dan negara” terdengar ndhakik-ndhakik
dan mengawang-awang, olahraga membuatnya membumi. Dengan olahraga, setidaknya
kita tidak menambah beban jaminan kesehatan yang negara berikan.
Bayangkan
jika semakin banyak penduduk berolahraga. Lalu menjadi gerakan yang masif.
Semakin banyak penduduk yang bugar dan berpikiran positif, Indonesia akan
menjadi bangsa yang senantiasa produktif dan berdaya saing.
***
Gerak itu tanda hidup. Gerak itu olahraga. Hidup harus olahraga. Aku olahraga, maka aku ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar