sumber gambar: bicycleexpress.com.au |
Telah
saya utarakan di tulisan Sepeda-sepedaku dan Cerita yang Mengitarinya,
bagaimana bisa saya jadi korban hanyut arus besar tren sepeda di era pandemi. Sampai
huruf ini terketik, antusiasme saya pada sepeda semakin tak terbendung.
Akhir
pekan, dimana waktu saya atur sebagai waktu bersepeda ialah waktu yang demikian
saya nantikan. Saya seperti anak kecil yang girang dan tak sabar menunggu. Saya
masih belum tahu akan bertahan berapa lama berada di kebiasaan ini. Semoga seterusnya. *** Terus
terang, baru dalam hitungan beberapa bulan belakangan ini saya merasa nyaman
bersepeda. Sejak sepeda saya beli sembilan tahun lalu, frekuensi saya
menungganginya sangatlah jarang. Jika diukur jarak, niscaya belum sampai 100
kilometer. Minimnya
frekuensi dan jarak tempuh karena saya tak temukan kesenangan dan kenyamanan.
Sampai tren (atau fad?) sepeda datang
dan membuat penasaran. Saya
terus bertanya, mengapa banyak orang bersepeda tapi saya tetap tak bisa. Sampai
saya petakan masalah apa yang menjadi akarnya. Hal pertama yang tercetus:
sadel! Segitiga
kecil tempat kita letakkan tubuh itu sangat berpengaruh besar dalam kenyamanan
bersepeda. Jika ada yang keliru dengan sadel, pantat akan terasa kebas dan
pedas usai bersepeda. Bahkan ada bagian tertentu yang terasa hilang entah
kemana wqwqwq.. Sebelum
benar-benar kembali turun bersepeda, saya lakukan riset kecil-kecilan. Pertama, tanya ke teman, seorang praktisi sepeda downhill. Saya bertanya jenis sadel merk apa yang nyaman. Ia sebut
sebuah merk. Di
samping itu, saya berselancar di dunia maya. Ternyata, pencarian soal sadel
menemukan banyak jawaban. Tertampil pula sadel banyak dijadikan kambing hitam
ketidaknyamanan bersepeda. Ada yang bilang, sepeda harga ratusan juta akan percuma
jika sadelnya tak nyaman. Selain
jenis dan ukuran sadel memang harus disesuaikan, ada pula pesepeda yang
menyebut jam terbang minim menjadi sebab sadel terasa mengganggu. Semata
masalah kebiasaan. Dari situ, sebelum putuskan beli sadel baru, saya memilih
menambah frekuensi dan durasi lebih dulu. Setelah
bersepeda beberapa kali, masing-masing kurang lebih setengah jam, ternyata
betul, berangsur rasa tak nyaman berkurang signifikan. Sampai hitungan bulan,
sadel masih sadel bawaan. Sejauh ini masih klik dengannya. Sadel
harus disesuaikan dengan anatomi tubuh. Ia seperti sepatu. Tiap orang memiliki
preferensi standar kenyamanan sendiri-sendiri. Bagaimana teknis mengukur sadel
agar sesuai dengan tulang duduk pun ada. Sadel
tersedia dengan beragam bentuk, peruntukan, merk, dan harga. Silakan sesuaikan
dengan kebutuhan. Karena seperti sepatu, maka dicoba dulu. *** Dulu,
usai bersepeda, saya menderita kelelahan yang tidak biasa. Saya kapok. Segar enggak, justru capek bukan buatan. Dengan
reaktif, saya langsung berkesimpulan, sepeda bukan untuk saya. Sepeda nganggur lama sekali. Saya beralih ke
futsal. Sekitar enam sampai tujuh tahun saya aktif di sepakbola dalam ruang
dengan diselingi jogging. Berbarengan
dengan penjajakan sadel, saya sekalian menambah kekerapan bersepeda. Ternyata
benar. Setelah lebih sering gowes, nafas tak lagi tersengal-sengal, badan juga
tidak kewer-kewer. Keasyikan muncul, bahkan
nagih. Jam terbang adalah koentji! *** Selain
praktik, saya juga sedang gemar-gemarnya ngulik
apapun tentang sepeda. Mulai dari membaca artikel, menonton review, vlog, bike check, restorasi, build
a bike, sampai mendengar podcast.
Jika sudah senang dengan sesuatu, saya memang begitu, kerahkan kemampuan sebisanya
untuk tenggelamkan diri. Karena
mencari, saya pun ngunduh. Saya
beruntung menemukan podcast Azrul
Ananda dan Johnny Ray. Azrul Ananda bukan sosok asing untuk saya. Meski belum
pernah bertemu, tulisan-tulisannya sudah saya akrabi sejak SMP. Ia
putra kandung Dahlan Iskan. Siapa yang
tidak kenal beliau beserta rekam jejaknya yang mentereng. Azrul pernah beberapa
tahun duduk sebagai wartawan, pemimpin redaksi, dan CEO Jawa Pos, jaringan
koran terbesar di Indonesia, yang jaya karena polesan ayahnya. Periode
saat menjadi wartawan itulah tulisannya rutin saya baca. Itu terjadi sewaktu saya
SMP s.d. SMA, saat Bapak berlangganan Jawa Pos. Azrul rajin menulis soal
Formula 1 dan Basket, dua olahraga kegemarannya. Di kemudian hari, ia dikenal
publik tanah air sebagai komentator F1 dan pendiri Developmental Basketball League (DBL), liga basket pelajar SMP
& SMA terbesar di Indonesia. Sekarang,
Azrul menjabat Presiden Persebaya dan memimpin beberapa perusahaan. Ia, bersama
John Boemihardjo, mendirikan Wdnsdy (baca:
Wednesday), merk sepeda balap (road bike) berbahan karbon. Wdnsdy hanya menjual frame, tidak full-bike, disengaja demi agar bengkel mendapat bagian merakit dan
pemilik bisa sesuka hati memasang onderdil sesuai keinginan. Selain
pebisnis, Azrul juga pesepeda yang sangat serius. Koleksi road bike-nya lebih dari 50 unit dan semuanya mahal. Menyusul kegemarannya
bersepeda, ia membangun portal mainsepeda.com. Apa saja soal sepeda ada di
sana. Bersama mitra bersepedanya, Raymond Siarta (pemilik Johnny Ray Cycling Apparel), Azrul siarkan podcast di channel
YouTube MAINSEPEDA yang khusus membahas sisik melik sepeda. Dari
podcast, penuturan Azrul soal helm
yang paling mengena sejauh ini. Saat syuting, ia membawa helmnya yang pecah
saat kecelakaan disundul motor. Jika tak pakai helm, cerita pasti berbeda.
Tidak hanya sekali itu helm menyelamatkannya. Dari
pengalaman-pengalaman itu, Azrul wajibkan helm dipakai saat bersepeda, di
manapun, rute manapun, jauh atau dekat. Ia tak segan mengusir pesepeda lain
yang masuki pelotonnya jika tak berhelm. *** Saya
banyak menyaksikan, pesepeda gowes dengan posisi telapak kaki dan lutut keluar,
ke kanan kiri. Posisi yang benar, nyaman, dan efisien, telapak kaki dan dengkul
lurus ke depan, sejajar dengan body
sepeda. Jika
gowes dengan cleat, posisi telapak
kaki dan dengkul dipaksa lurus. Tetapi, pesepeda pemula yang belum berfasilitas
lengkap harus disiplinkan diri agar kaki selalu lurus. Percayalah, gowes akan
lebih enak dan kaki tak mudah pegal. Satu
hal terakhir yang sering terlihat, masih banyak pesepeda yang kurang paham
bagaimana posisi seatpost (besi
penopang sadel) yang benar. Kebanyakan, seatpost
dipasang terlalu rendah, sehingga ketika gowes, lutut menekuk saat pedal
berposisi di bawah. Saya merasakan saat dulu belum mengerti dan pegele hora umum! Atur
seatpost hingga posisi dengkul lurus
dan pedal dapat ditekan telapak kaki bagian depan. Jinjitlah dan bagian telapak
kaki yang menopang itulah posisi ideal untuk menekan pedal. *** Jam
terbang, sadel, helm, posisi kaki, dan ketinggian seatpost harus diperhatikan pesepeda pemula. Jika semua sudah
terpenuhi, hal lain dapat menyusul. Jersey dan
celana bib silakan dibeli. Sepeda model macam-macam monggo dipilih. Upgrade
komponen tentu boleh-boleh saja. Tapi itu semua jangan sampai kaburkan tujuan
awal bersepeda untuk berolah raga dan/atau bertransportasi. Sepeda
tersedia beserta segala manfaat dan kesenangan yang ditawarkannya. Akan sangat
mubazir bila tidak dieksplorasi. Tentang sepeda, Einstein bersabda: “Life is like riding a bicycle. To keep your
balance, you must keep moving.” |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar