(sumber gambar: copyblogger.com) |
Nama
Prabowo Subianto tak bisa dilepaskan dari dinamika perpolitikan Indonesia sejak
dua dekade terakhir. Mendekati lahirnya reformasi 1998, Prabowo menjadi
perbincangan publik dan selalu dikaitkan dengan kasus penculikan aktivis. Setelahnya,
ia cukup lama menepi dari publikasi karena memilih hijrah ke Yordania. Negara
yang beribu kota di Amman itu dipilih karena secara personal ia dekat dengan
Raja Abdullah II.
Prabowo
muncul kembali di warsa 2004. Saat itu, ia memilih jalur konvensi Partai Golkar
sebagai pijakan pertama terjun ke politik praktis. Proyek Golkar mencari capres
itu diikuti Akbar Tandjung, Wiranto, Surya Paloh, Aburizal Bakrie, dan Prabowo.
Ringkasnya, Wiranto keluar sebagai jawara dan mewakili Golkar dalam pilpres
2004 dengan pendamping KH. Sholahuddin Wahid, adik kandung Gus Dur. Prabowo
belum berhasil dalam percobaan pertamanya.
Tak
cukup puas meminjam kendaraan, Prabowo pada 2008 mendirikan partai sendiri. Enggan
ambil tempo terlalu lama, pemilu 2009 menjadi awal kiprah Gerindra. Ternyata
partai anyar ini bisa dapatkan 26 kursi di DPR dengan persentase suara 4,5%. Debut
yang cukup menggetarkan.
Pemilu
2009 Prabowo bersedia mendampingi Megawati sebagai cawapres. Sekali lagi, ia
belum terpilih. SBY sebagai petahana masih terlalu kuat untuk dijungkalkan.
***
Rupanya
Prabowo sangat persisten untuk bertarung di kontestasi lima tahunan. Pemilu
2014, dimana Gerindra melejit ke posisi tiga besar pemenang pemilu legislatif,
Prabowo nyapres lagi. Kali ini
bersama besan Pak SBY, Hatta Radjasa.
Di
pilpres 2014, putra ketiga begawan ekonomi Sumitro Djojohadikusumo itu
bertarung head-to-head melawan rising star sekaligus media darling bernama Jokowi, yang
berduet dengan pengusaha cum politisi Jusuf Kalla. Dan terjadi lagi, Prabowo
menelan pil pahit kekalahan.
Belum
marem, Prabowo ikut pilpres lagi di 2019. Jokowi sebagai juara bertahan tak mau
menyerah.
Berarti,
jika dihitung sejak 2009 saat pertama kali mencoba peruntungan di konvensi
Golkar, Prabowo telah berjuang menjadi presiden sebanyak empat kali. Banyak
juga.
***
Sehari
pasca pelantikan presiden dan wakil presiden periode 2019 s.d. 2024, publik
dikejutkan dengan kehadiran Prabowo di istana. Karena sejak pagi para tokoh
yang ditengarai akan ditunjuk sebagai menteri telah seliweran, otomatis publik
pun menerka-nerka.
Saat
Prabowo keluar, kontan saja wartawan merubung. Langsung ke poin, betul ia akan
membantu presiden di bidang pertahanan. Meski secara definitif belum diketahui akan
diberi posisi apa, publik kadung memiliki konklusi ia akan menjadi menteri.
Memang,
kabar Prabowo akan menjadi menteri santer terdengar sekitar satu mingguan
terakhir. Kabar yang belum jelas juntrungannya itu menghiasi pembicaraan di
media sosial. Diramaikan pula oleh hipotesis para analis.
Nama
Prabowo kembali menjadi atensi. Ia belum lindap, ribuan ujaran masih diarahkan padanya.
Bagi para pembenci, keputusan Prabowo masuk pemerintahan dan hampir pasti
menjadi menteri, makin menambah legitimasi, Prabowo adalah sosok haus kuasa.
Ditambah keheranan, kok mau-maunya cuma
jadi menteri, setelah sebelumnya ngotot –sampai empat kali— kepingin jadi presiden
RI.
***
Bila
dilihat dari sudut pandang kelam, keputusan Prabowo menerima tawaran Jokowi
dapat dengan mudah diwakili dengan kata ambisius. Ia bukan idealis yang kokoh
bertahan pada keputusan semula. Jika belum berhasil menggapai posisi impian,
tinggal berjuang kembali atau berhenti. Lha
ini malah turunkan standar. Yang penting jadi.
Karena
saya dididik untuk pandai mengambil sisi terang dari segelap apapun keadaan, bagi
saya, keputusan Prabowo tetap ada baiknya. Saya justru berpendapat, ayah Didit
Hediprasetyo itu sosok patriot yang cintanya demikian agung pada Indonesia.
Tentu
pendapat saya itu memiliki dasar. Kita pasti tak lupa Prabowo lahir dari
institusi militer. Pangkat terakhirnya adalah jenderal bintang tiga. Ia pernah
duduk sebagai Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus, sebuah jabatan
prestisius di matra darat TNI.
Seseorang
yang memilih berkarier di militer, lekat dengan cita-cita luhur membela dan
mempertahankan kedaulatan negara. Ditunjang pula dengan gigihnya usaha untuk
mengikuti pilpres sampai beberapa kali, semakin bulat pula kesimpulan saya,
Prabowo adalah seorang yang cinta matinya bernama Indonesia.
Jika
memang benar ia ditunjuk sebagai menteri di kabinet Jokowi, sebenarnya bukanlah
sesuatu yang haram. Itu hak prerogatif presiden yang pasti telah melalui
beragam variabel pertimbangan. Memang, dalam peta politik nasional itu menjadi fenomena
yang tidak lazim, sehingga wajar memunculkan prasangka ada deal apa di baliknya.
Tapi
jangan lupakan, lawan politik yang kemudian dirangkul bahkan masuk ke
pemerintahan bukan hal baru lagi tabu. Bill Clinton, presiden Amerika Serikat
dari Partai Demokrat pernah menunjuk politisi Partai Republik William Cohen
sebagai menteri pertahanan. Obama, juga dari Demokrat, telah dua kali memilih
menteri pertahanan dari Partai Republik yaitu Robert Gates dan Chuck Hagel.
Jadi,
sekarang tugas kita hanya menanti pembuktian cinta Prabowo. Kita tunggu, ia
sosok yang setia atau akan bermain mata.
First Comment.... yeaa...
BalasHapusMantruuuul yeaaah..
HapusIkut nunggu. Cm sepertinya akan ditinggalkan
BalasHapusNggih, Mas. Kita tunggu perkembangannya..
Hapus