(sumber gambar: bbc.com) |
Sewindu
lalu saat pertama kali pindah ke Yogyakarta, saya tidak memasukkan tukang jahit
sebagai sosok yang harus segera dicari. Namun rupanya, ia belakangan menjadi sosok
yang memiliki urgensi tinggi.
Suatu
ketika, tiba-tiba seseorang memberi saya sepotong kain batik. Saya menerima
dengan suka cita. Selain karena kain itu sebuah kain yang bagus, seseorang
sampai membelikan sesuatu pasti karena ia mengingat kita. Diingat itulah yang
lebih memiliki nilai sentimental dibanding barang itu sendiri.
Keesokan
harinya, tanpa informasi yang paripurna saya memutuskan membawa kain ke
penjahit, yang kebetulan tempat operasinya sering terlewati. Ya, hanya karena
sering saya lewati saya pasrahkan kain batik itu untuk digarap. Sungguh sebuah
pengambilan keputusan yang tidak mengedepankan kaidah-kaidah ilmiah.
Sepuluh
hari kemudian, baju batik telah siap dikenakan. Sebelum mencoba, saya menelisik
baju ke segenap detailnya. Dari situ saya berkesimpulan, penjahit yang sering
terlihat oleh mata belum tentu pas di hati dan badan.
***
Berawal
dari pengalaman pahit kegagalan penjahitan batik hasil pemberian, saya merasa
tukang jahit bukanlah sosok yang bisa dengan serampangan dipilih. Penjahit
memiliki kelas setara jodoh yang harus dicari dengan sepenuh jiwa, pertimbangan
yang matang, dan informasi yang memadai.
Tidak
jarang, jodoh didapat dari teman atau kenalannya kenalan. Berangkat dari sana, saya
putuskan mencari referensi penjahit yang oke dari sejawat yang selalu
berpenampilan necis dan rapi jali. Ia merekomendasikan penjahit di dekat pusat
kota Yogya.
Saat
memiliki kain bahan, dengan keyakinan penuh saya menjahitkan di sana. Dalam
tempo seminggu, kain menjelma kemeja yang menggemaskan. Sampai saat ini, penjahit
itu tiada terganti.
***
Sekitar
dua bulan lalu saya kembali sowan ke penjahit langganan. Yang mengejutkan, bapak
pendiam dan irit senyum yang biasanya bertugas sebagai frontliner, telah digantikan pria sepuh ramah yang memiliki gurat sisa
ketampanan di masa lalu.
Setelah
sekian menit kami berbincang, rupanya tersimpan kisah mengharukan yang
tersembunyi di balik etalase kemeja dan jas yang menunggu diambil. Terkuak, pria
ramah (PR) tampil untuk sebuah tugas yang dilatarbelakangi permintaan seluruh
penjahit yang bekerja di situ.
Jadi,
pemilik tempat jahit sebenarnya telah putuskan untuk menutup usaha yang ia mulai per medio 1970-an itu. Saat ini, pemilik berdomisili di luar Jawa dan
ingin berfokus pada usaha yang sedang ditekuni di sana.
Saat
rencana penutupan terdengar, para penjahit beramai-ramai melobi PR untuk
menyelamatkan nasib mereka. Saat PR turun tangan, pemilik bersedia membatalkan
penutupan. Tapi pembatalan tidak gratis.
Pemilik
bersedia meneruskan usaha jahit hanya jika PR mau menjadi pengelola. Sementara,
PR telah memiliki usaha jahit yang mapan. Sebuah syarat yang sangat berat untuk
PR. Di satu sisi ia ingin menolong teman-teman, karena ini terkait hajat hidup
yang tentu bukan urusan receh. Sisi lain hatinya memikirkan nasib usaha yang ia
rintis sejak awal dekade 90-an.
Mundur
ke 1991. Saat itu PR telah satu dasawarsa mengabdi di tempat yang kelak menjadi
jujugan saya. Suatu hari ia undur
diri untuk berwirausaha. Dengan bekal pesangon yang menurutnya besar untuk
ukuran saat itu, ia membuka usaha. Hingga di akhir 2018 ia turuti nurani kembali
ke tempat dimana ia mengawali karier, untuk selamatkan kelangsungan usaha
sekaligus hidup teman-temannya.
***
Saat
ini, usaha masih berlangsung dan pelanggan setia senantiasa mempercayakan
kain-kain terbaiknya. Meski tampak baik-baik saja, sejatinya mereka sedang
memeram persoalan.
Usaha
jahit masih ingin terus bernafas. Perihal pesanan pun tidak menjadi soal. Potensi
masalah yang menjadi ancaman hanya penjahit, semua penjahit yang telah berusia
kepala enam. Secara matematis, mereka tak akan lama lagi tergerus waktu. Agar
bisnis berjalan dan terus imbangi volume jahitan, diinisiasilah perekrutan
penjahit baru yang hanya bersyarat pengalaman.
Sabtu
kemarin, saya berkunjung ke sana untuk kembali menjahitkan batik. Semua masih
sama. PR masih siap sedia menerima tamu dengan senyum tersungging di bawah
kumisnya. Ia pun tetap mengenakan polo
shirt yang dimasukkan ke blue jeans.
Sticker merah berbunyi: “Dicari Penjahit Berpengalaman” juga
masih terpampang di muka.
Bermodal
sticker dan ingatan tentang jawaban
PR dua bulan lalu, saya bertanya apakah telah ada penjahit baru yang diterima.
Dengan wajah pasrah, PR menjawab belum. Sebenarnya beberapa hari sebelum saya
datang muncul pelamar dan bisa langsung bekerja. Hanya saja, si pelamar justru memohon
jika diterima ia minta diberi kelonggaran waktu bekerja sesuai keinginan.
Kontan saja permintaan itu ditolak PR. Sekadar info, si pelamar berusia 63
tahun. Jelas, ia masuk grup bocah tua nakal.
Di
sela mengukur kemeja yang saya bawa sebagai contoh, ia mengulangi cerita dua
bulan lalu. Ia masih bertutur, saat ini adalah hal yang sangat sulit mencari
penjahit. Jika pun ditemui, seringkali sudah lanjut usia. Sekalinya ada, eh menjengkelkan.
Ia
melanjutkan, penjahit muda zaman sekarang lebih memilih bekerja di pabrik garmen.
Mereka malas menjahit full dari bahan
sampai jadi seratus persen, karena memang lebih praktis dan tidak ribet menjahit
per bagian seperti kerah, itik-itik, dan saku. Toh hanya dengan menjahit per bagian tetap saja dapatkan
penghasilan.
Nampaknya
kecenderungan seperti itu sedang terjadi di industri jahit. Penjahit kesukaan
Bu Ryan juga menceritakan hal yang sama. Saat ditanya mengapa sampai sekarang memilih
one man show, ia mengaku pernah
mempekerjakan satu asisten. Tapi tak sampai hitungan bulan memilih hengkang ke
pabrik tak jauh dari kampungnya.
***
Penjahit
sebenarnya seniman. Mereka bekerja untuk hasilkan karya kriya. Selembar kain
mampu diubah menjadi busana yang diharapkan mencerminkan jati diri pemakainya.
Penjahit
adalah pelaku kustomisasi yang andal. Mereka mampu membuat sandang sesuai lekuk
tubuh masing-masing pelanggan. Satu karya akan berbeda dengan karya lainnya. Mereka
bekerja untuk sebuah wujud yang spesifik dan unik.
Saat
era berubah, orientasi apapun bisa ikut berubah. Salah satunya yang tampak
terkonfirmasi, setidaknya dari kasus yang secara empirik saya alami, ialah para
penjahit muda yang berubah haluan ke industri yang mereka anggap lebih menjanjikan
secara finansial. Karya busana utuh bukan menjadi orientasi utama mereka.
Ada
yang berkata generasi milenial merupakan generasi yang menggemari apapun yang
gegas dan instan. Proses merepotkan dan hal melelahkan lainnya bukanlah urusan
yang harus dipusingkan. Untuk perkara penjahit muda, rasanya itu tidak keliru.
dadi penasaran tempat jahitnya hehehe...
BalasHapusbiarlah menjadi misteri huhu..
Hapus