(sumber: medicaldaily)
Musik
ialah perkara yang tidak akan pernah dapat dijauhkan dari hidup kita. Lagu-lagu
selalu menghiasi setiap aktivitas sehari-hari, baik yang sengaja dimainkan atau
terdengar sepintas dari segenap sudut sekitar.
Bahkan,
jika definisi musik diperluas sampai ke wilayah apapun bunyi-bunyian, maka
derap kaki, desau angin, dan ketukan di pintu akan termasuk di dalamnya.
Semakin susahlah kita menghindar.
Musik
memang tidak untuk dihindari. Musik ada untuk dinikmati, dihayati, dan dikaji.
Baru-baru ini terdapat artikel di tirto.id yang mengkaji hasil survei yang
dilakukan oleh penyedia layanan streaming
musik, Deezer. Survei tersebut mendapatkan kesimpulan bahwa pendengar musik
berhenti mencari musik baru rata-rata di usia 30 tahun.
Berhentinya
pencarian terhadap musik baru disebut sebagai paralisis musikal, atau dalam
istilah awam disebut kelumpuhan musikal. Fenomena itu disebabkan
oleh beberapa hal.
***
Saya penikmat musik yang sudah sampai pada taraf “can’t live without”. Saya bekerja harus diiringi musik. Tulisan ini
pun saya ketik dengan latar lagu Rendy Pandugo, Bryan Adams, dan Voodoo.
Seperti
terbahas di tulisan sebelumnya (Perjalanan Karierku sebagai Gitaris), saya
dibesarkan oleh orang tua penikmat musik. Maka saya pun tumbuh sebagai sosok
yang sangat tertarik pada musik dan terus berusaha mengikuti kebaruan musik
yang beredar.
Balita
bernama ryan akan langsung bangun makjenggirat
saat menangkap lagu Untukmu milik Tito Sumarsono di telinganya. Pun, Cintamu T’lah
Berlalu-nya Koes Plus yang di-recycle
Chrisye sampai sekarang masih terkenang sebagai penanda kenangan saat Bapak
lari-lari menuju mobil pertamanya yang terparkir di pusat perbelanjaan
di Semarang yang terbakar pada awal 90-an.
Yang
ingin saya katakan, sejak kecil, selain diberi bubur Promina dan Sun, saya juga
dijejali beragam jenis musik. Alhasil, tingkat kepentingan musik bagi saya
sudah setingkat di bawah udara, air, dan mendoan.
Mulai
SMP sampai awal kuliah, saya rutin membeli kaset, baik dengan menabung atau
mengharap belas kasihan Bapak. Setelah era mp3 mulai merajalela di sekitar
2007, kegiatan memperbarui referensi musik berubah menjadi beli mp3 bajakan,
meng-copy dari teman, dan mengunduh
dari internet secara ilegal.
Saat
era internet semakin menelusup ke tiap titik terkecil hidup kita, musik dapat
terus terbarukan melalui aplikasi streaming
seperti Joox, Spotify, Deezer, dan sebagainya. Di ponsel pintar saya terpasang
Joox dan Spotify.
Selain
itu, YouTube telah menjadi kanal tanpa batas untuk terus mencari musik baru
yang kita sukai. Ia saat ini termasuk dalam tiga besar aplikasi yang
menghabiskan kuota internet saya di setiap harinya.
***
Dengan
profil era internet yang tanpa batas seperti saat ini, sebenarnya mencari
musik-musik terbaru bukanlah menjadi pekerjaan yang sukar. Genre apapun, dari
manapun, solo, duo atau grup dapat kita cari dengan satu ketukan jari. Tetapi
rupanya, paralisis musikal tetap melanda sebagian manusia.
Hasil
survei Deezer tidak benar-benar salah tetapi juga tidak 100% benar bagi saya. Sampai
hari ini, saya masih penasaran jenis musik apa yang sedang tren dan siapa saja
artis yang sedang hype. Tetapi, jika
dibandingkan dengan saat masih SMP, SMA, dan kuliah, saya sudah tidak
sebergairah jaman itu dalam mencari musik baru.
Saya
masih tahu nama-nama seperti Brisia Jodi, HiVi, Marion Jola, Rendy Pandugo,
Barasuara, Silampukau, Pusakata, FourTwnty, pun lagu-lagunya juga masih masuk
ke telinga. Artinya, saya belum terlampau usang untuk mencerna musik-musik dari
musisi yang terhitung gres itu.
Untuk
musisi asing, saya masih kenal Ed Sheeran, Anne Marie, Dua Lipa, Khalid, dan
Calum Scott. Lagu-lagunya pun tak jarang masuk ke dalam daftar putar di aplikasi
streaming.
Meskipun
saya seolah paham lalu pamer soal nama dan lagu musisi-musisi baru, tetap saja
mereka tidak dapat membuat saya menggilai dan lalu mengerahkan serangkaian
usaha untuk “mendekat” ke mereka. Misal, semacam mencari profil kehidupannya,
mendatangi konsernya, lalu membeli karya-karya mereka.
Mereka
tetap belum bisa mengalahkan kelas Sheila on 7, PadI, Slank, Dewa 19, Gigi, Red
Hot Chili Peppers, Coldplay, Santana, Queen, dan sebangsanya di hati saya. Mungkin saya telah memasuki masa-masa awal kelumpuhan musikal.
Saya
terkategori dalam tetap mencari musik-musik baru. Tapi, setelah ketemu dan
didengarkan, ya sudah begitu saja. Belum bisa menancap erat seperti musik di
masa-masa dulu saat masih sekolah, kuliah, dan mengecap indahnya kasmaran.
Saya
sudah di tahap cukup dengan musik-musik yang telah lama saya kenal. Justru,
saat ini saya tertarik pada musik-musik lawas era 50an-70an. Jadi susah ini
pengkategoriannya, karena saya mencari musik baru tetapi lawas. Saya tetap
mencari musik-musik yang belum pernah saya dengarkan, tapi bukan dari musisi
yang muncul baru-baru ini. Mungkin begitu deskripsi gamblangnya.
***
Deezer,
dalam surveinya, sebenarnya ingin menyatakan bahwa orang-orang berhenti mencari
musik baru bukan disebabkan sudah tak lagi menggemari musik, tapi karena sudah
kehabisan waktu. Habisnya waktu ini muara dari beragam alasan. Mulai dari
kesibukan kerja, merawat anak, sampai kewalahan mengikuti banyaknya pilihan
musik sekarang ini.
Artikel
juga menuliskan, hasil riset menunjukkan lagu-lagu favorit di masa remaja mampu
merangsang respons kesenangan di otak. Dari sana, otak melepaskan dopamine,
serotonin, oksitosin, dan unsur kimia lain yang dapat membuat kita bahagia.
Maka, lagu-lagu yang kita sukai akan lebih lama melekat dalam diri kita.
Itulah
jawaban mengapa orang tua kita berhenti di lagu-lagu jaman mudanya. Lagu-lagu Koes
Plus, Panbers, D’Lloyd, dan Rinto Harahap selalu dibawakan di forum-forum
reuni. Lagu-lagu Obbie Messakh yang melankolis masih sering dibawakan pakdhe dan budhe dalam karaoke dengan penuh penghayatan sambil terbayang masa lalu. Lagu Ratih Purwasih dan Endang S. Taurina pun selalu mendapat
tempat dalam bus pariwisata yang membawa bapak ibu kita ke tempat dimana mereka
pernah merenda janji..
Yang~ hujan~ tuuurun~ lhaagiii~
|
Minggu, 20 Januari 2019
Orang Tua Kita dan Lagu-Lagu Favoritnya
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar