(sumber: universalmct.co.uk) |
Bukanlah
pemandangan aneh menyaksikan sepeda motor dikendarai anak-anak usia SD dan SMP.
Meski tidak aneh, tetap saja badan sepeda motor nampak terlalu besar
ditunggangi bocah-bocah ingusan yang bisa jadi belum sunat itu. Mereka terlihat
belum sigap kendalikan motor, karena memang masih lebih pantas membonceng
bapaknya.
Saya
sering melihat anak-anak belum cukup umur berkeliling kampung bersama
teman-temannya. Bahkan ada yang berani memboncengkan teman, ibunya, atau teman
ibunya. Saya sungguh prihatin tapi tak bisa apa-apa, karena anak tetangga. Malas
ribut.
Beberapa
hari lalu, saat bapak saya hendak memasukkan mobil ke halaman depan garasi,
tiba-tiba ngueeeeng anak SMP
berboncengan memotong di depan jalur bapak. Hanya kurang beberapa milimeter menggesek
bemper dan lampu sein. Untung saja beliau masih sempat mengerem, walau kaget
bukan kepalang, mengklakson keras-keras, dan lalu naik pitam.
Dua
anak SMP itu pasti merasa tenang karena bisa melenggang aman. Tapi ternyata ibu
saya yang waktu itu semobil dengan bapak, masih sempat melakukan scanning. Penampilan, baju, dan sepeda
motornya telah mengendap dalam sistem memori ibu. Saat beliau masih di luar
rumah, dua anak kurang ajar itu melintas lagi. Kontan saja ibu mendekati dan
memarahinya tanpa ampun. Rasakan!
***
Bagaimanapun,
anak-anak usia di bawah 17 tahun belum diperkenankan untuk mengendarai sepeda
motor. Di samping menurut regulasi mereka belum dapat memiliki SIM, secara
fisik dan emosional belum saatnya mengendarai kendaraan bermesin, yang tentu
memerlukan keterampilan dan kesiapan tertentu.
Karena
memang belum saatnya, maka konsekuensi yang mungkin timbul adalah terjadinya
kecelakaan. Data 2016 yang dimiliki Polres Sleman mencatat terjadinya 330 kecelakaan lalu lintas
anak di bawah umur dengan rincian luka ringan 314, luka berat 1, dan meninggal
dunia 15 jiwa. Lima belas meninggal itu manusia, Gaes.
Itu baru data di Sleman.
Belum di daerah lain dan angka statistik nasional. Nyawa melayang sia-sia
karena kecerobohan dan tidak taatnya pada aturan.
***
Melihat anak-anak di bawah
umur mengendarai sepeda motor, selalu menimbulkan pertanyaan. Bagaimana bisa
mereka mengakses kendaraan yang sebenarnya belum sah mereka gunakan? Apakah sepengetahuan
orang tua? Jika memang sepengetahuan, apa yang melatarbelakangi mereka
mengijinkan?
Pada praktiknya, kebanyakan
anak-anak mengendarai sepeda motor sebenarnya telah mendapat ijin dari orang
tua. Bahkan, ada yang memang karena melaksanakan perintah ayah ibu. Alasannya
macam-macam, mulai dari terpepet kebutuhan, misal karena tidak ada yang
mengantar, sampai sang orang tua justru merasa bangga dan diuntungkan karena
dapat diberdayakan ke sana ke mari.
Jadi, alur sepeda motor
sampai dapat diakses oleh anak di bawah umur, sebenarnya tidak sesederhana yang
kita duga. Terdapat kompleksitas yang melingkupinya. Di sana ada relasi kondisi
yang dihadapi sampai konsep kebanggaan yang keliru.
Khusus masalah kebanggaan,
saya rasa berangkat dari kurangnya pemahaman atau ketidakacuhan orang tua bahwa
terdapat batasan usia yang harus dipenuhi sebelum anak diperbolehkan
berkendara. Batasan usia tentu terkait dengan aspek fisik dan emosional. Jika
tidak dipenuhi, maka tentu ada risiko yang mungkin muncul. Pada poin inilah,
orang tua tidak tahu atau tidak mau tahu.
Padahal, jika risiko yang
mungkin muncul benar-benar terjadi, maka akan banyak efek yang harus
ditanggung. Mulai luka tubuh yang dapat menyebabkan kecacatan hingga hilangnya
nyawa. Belum lagi jika kecelakaan melibatkan pengguna jalan lain, yang pasti
akan membuat berurusan dengan hukum.
***
Kecelakaan yang terjadi
karena sepeda motor dikendarai anak di bawah umur bukanlah fiksi atau sekadar
data. Belum lama, anak tetangga usia kelas 5 SD, sebut saja Warso, diboncengkan
temannya dan keduanya terjatuh. Tubuh mereka luka-luka di beberapa titik.
Karena sehari-hari Warso ditinggal kedua orang tuanya bekerja, maka sang kakeklah yang mengasuh dan
mengawasi. Tahu cucu satu-satunya terjatuh dan babak bundhas, si kakek terkejut setengah mati. Perlahan ia
mendekati Warso, saya pun membatin: “habis
ini Warso disemprot mbahe..” Ternyata yang terucap dari mulut kakek adalah:
“Sudah ngga papa, besok kakek ajari naik
motor ya” -__-“
Dan Warso sekarang tiap
sore memboncengkan ibunya dengan jarak belasan kilometer saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar