sumber: 123rf.com
Patah
hati sekali lagi. Tim nasional (timnas) sepakbola Indonesia U-19 yang sangat
saya cintai dan banggakan, harus merelakan impian yang lepas bersama kekalahan
melawan Malaysia. Sungguh sedih dan menyesakkan. Harapan yang membumbung tinggi
timnas akan merengkuh juara, pupus.
Jika
harus meratap, maka yang patut diratapi tahun ini sebenarnya momentum yang pas untuk
juara. Timnas kita hari ini diisi pemain yang tidak kurang suatu apa. Teknik
individu pemain sungguh memukau. Juru taktik pun diisi Indra Sjafri, sosok
berpengalaman dalam merintis pembangunan tim muda. Ditambah, saat ini kita
berposisi sebagai tuan rumah. Pemain kita tak lagi sebelas, tapi plus satu,
ditambah dukungan suporter yang menaikkan gairah kemenangan.
Walau
memang mengecewakan, paling tidak pemain timnas telah menampilkan permainan
yang indah. Mereka tidak pernah menyerah dalam menggempur pertahanan lawan. Fighting spirit istiqamah terjaga di
grafik tertinggi dari awal hingga peluit akhir ditiup.
Permainan
menghibur. Bola mengalir pendek dari kaki ke kaki, dan sesekali dilambungkan ke
jarak di depan untuk memperbesar kemungkinan. Gaya main kita tak kalah cantik
dari tiki taka ala Barcelona. Namun,
apabila harus dicari kesalahan, maka sebenarnya tetap ada celah yang
menyebabkan timnas kita belum berhasil lolos ke final.
***
Di
awal babak kedua, Rivaldo Todd Ferre masuk menggantikan M. Rafli. Di situlah
awal kecemasan saya muncul. Seharusnya, Rafli dipertahankan. Karena dia lebih
cocok untuk ditempatkan sebagai target-man.
Fisiknya cukup tinggi untuk menjemput umpan lambung melalui tandukan. Rafli
juga lebih kuat berduel dengan bek Malaysia jika dibandingkan dengan Egy
Maulana yang berfisik mungil.
Dengan
masuknya Todd Ferre menggantikan Rafli, praktis Indonesia bermain dengan Egy
sebagai ujung tombak. Dari sana nampak Indra Sjafri ingin memperkuat lini
tengah. Todd Ferre diplot menjadi perusak pertahanan lawan berpadu dengan
Saddil Ramdani. Argumentatif memang, karena Todd Ferre dan Saddil sama-sama
memiliki dribbling yang mantap.
Pasca
Todd Ferre masuk, memang lini tengah kita mampu menguasai permainan. Hanya saja
mentok terus di depan kotak penalti lawan. Mereka hanya berkutat di tengah
lapangan karena Malaysia disiplin menjaga zona mereka. Malaysia dominan
menggunakan taktik zonal marking, dan
karenanya kita sulit mencari celah lengahnya bek. Kelengahan akan lebih mungkin
muncul jika Malaysia memainkan man-to-man
marking.
Egy
yang sendirian di depan sulit untuk mencari ruang tembak, sekalipun ia memiliki
gocekan maut tiada dua. Egy yang berpostur mungil, seringkali mandheg ditebas bek lawan.
Egy,
dengan kemampuan gocekan yang sangat baik, seharusnya lebih cocok diperankan
sebagai pemain di belakang striker
yang bebas bergerak kemana pun. Ia lebih pas diposisikan sebagai false nine, striker palsu. Sebagai false nine, Egy akan merusak konsentrasi
lawan sekaligus membuka ruang, bahkan memberi assist untuk pemain lain, yang dalam hal ini Rafli yang terlanjur
disubstitusi.
Dengan
Egy sebagai penyerang tunggal, justru membuat Indonesia tumpul. Sedangkan, lini
tengah yang kuat kesulitan mengacaukan lini tengah dan lini belakang Malaysia
yang sangat determinatif.
Sebagai
variasi, timnas berupaya melakukan tendangan spekulasi dari luar kotak penalti.
Tapi beberapa kali berhasil diblok lawan. Selain itu, timnas juga beberapa kali
melambungkan umpan silang melalui Firza, Saddil, maupun Witan. Karena postur
Egy kalah jangkung dari bek lawan, umpan lambung terasa mubazir. Lagi-lagi,
andai Rafli masih di lapangan, cerita mungkin akan berbeda.
Todd
Ferre yang di partai melawan Filipina dan Vietnam tampil gemilang, di partai
melawan Malaysia justru anti-klimaks. Kelincahan hilang, liukannya nir-hasil.
Malaysia terlihat paham dengan tingkat bahaya yang diberikan Todd Ferre.
Alhasil, ia selalu berada dalam radar perhatian lawan.
Saddil
sebenarnya tetap bermain baik. Tapi karena pertahanan lawan bak gerendel, ia
pun kesulitan lepas tembakan geledeknya. Giringan bolanya kerap kandas.
Egy
yang menjadi tumpuan harapan, di samping memang kurang sesuai dengan taktik
yang dimainkan, ia baru saja tiba dari perjalanan panjang dari Polandia. Kondisinya
tentu belum prima dan pasti berpengaruh besar pada performa. Hal tersebut terbukti
ketika menjelang akhir pertandingan, ia meringis kesakitan, diberikan
perawatan, sebelum akhirnya digantikan Hanis Saghara. Masuknya Hanis pun tak
mampu mengubah keadaan.
Pertandingan
langsung dilanjutkan ke babak tendangan penalti. Tiga pemain kita gagal
mengeksekusi. Malaysia menang 3 – 2. Untuk kegagalan adu penalti, tentu itu
masalah mental. Ke depan, harus ada evaluasi mendasar agar pemain kita semakin
kuat menghadapi tekanan sekaligus harapan besar seluruh bangsa Indonesia.
***
Timnas
kita telah kalah. Kecewa, sangat kecewa. Tapi bukan berarti akan melunturkan
kecintaan terhadap timnas kita. Di depan masih banyak pertandingan dan turnamen
yang akan diikuti. Evaluasi-evaluasi akan terus dilakukan demi perbaikan
berkelanjutan.
Kami
siap selalu mendukung timnas, bahkan andai terus sedih atau dikecewakan. Karena
cinta akan selalu memaafkan.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar