(sumber: newmansociety.org) |
Jika
tidak ingat harus selalu memperbarui informasi dan tuntutan kebutuhan pergaulan,
sebenarnya sudah cukup melelahkan terjun ke gelanggang media sosial. Walau
sekadar dunia virtual, permusuhan dan kebencian terasa riil di sana.
Ditambah,
panasnya dunia politik yang sebentar lagi akan mencapai titik didih
tertingginya. Gaung keriuhanya sudah terdengar mulai sekarang, dan akan semakin
bising dari hari ke hari. Perdebatan dan saling caci antar basis massa
pendukung kubu satu dengan lain terpampang tanpa tedheng aling-aling.
Sampai
saya bingung, apa sebenarnya yang melatarbelakangi semua ini. Apa-apa bertengkar.
Sedikit-sedikit marah. Semua jadi mudah tersinggung. Perasaan dulu kita tidak
begitu.
***
Dalam
beberapa kesempatan, baik yang saya hadiri secara langsung, melalui tulisan,
atau rekaman, Cak Nun akhir-akhir ini sering sekali menyampaikan filosofi
benar, baik, dan indah. Sebagai sosok yang dikenal kerap mendekonstruksi konsep
yang telah dianggap mapan, bangunan sekuat konsep benar, baik, dan indah yang
telah melembaga sekian lama, Cak Nun pugar menjadi puing-puing narasi yang
mencerahkan.
Sejatinya,
masyarakat era sekarang ini, belum khatam
mendalami konsep benar, baik, dan indah. Padahal, kurangnya pemahaman terhadap
ketiganya berpotensi menyebabkan hal-hal yang belakangan ini marak, yakni
perdebatan, kebencian, permusuhan, pertengkaran, dan istilah lain sejenisnya.
Menurut
Cak Nun, kebenaran adalah input,
kebaikan berposisi output, dan
keindahan menjadi outcome-nya. Rumusnya
sangat sederhana. Kebenaran diolah menjadi kebaikan, yang pada gilirannya akan
mendapatkan hasil turunan paling puncak berupa keindahan.
Perdebatan
di media sosial, Cak Nun menyebutkan, semuanya tentang kebenaran. Bukan
kebaikan, apalagi keindahan. Di jaman ini, orang-orang merasa paling benar dan itu
langsung menjadi ekspresi dirinya, tanpa tahu bahwa sebenarnya kebenaran hanyalah
bekal. Dan seharusnya, kebaikanlah yang menjadi ekspresi dalam komunikasi
sosial.
Cak
Nun meneruskan, mempertengkarkan kebenaran sama artinya dengan mempertengkarkan
dapur. Sementara, sebagaimana maqom-nya,
dapur terletak di belakang dan tidak untuk dipertunjukkan. Yang harus disajikan
adalah masakan, biarlah dapur tetap tersembunyi di ruang tersendiri. Cak Nun
memungkasi, Allah berfirman di Al Baqarah 148, bahwa yang diperlombakan ialah
kebaikan (fastabiqul khairat), bukan
kebenaran.
***
Jika
yang ditampilkan kebenaran, maka yang muncul menyusul adalah pertikaian. Karena,
sampai kapan pun, kebenaran yang kita miliki merupakan sesuatu yang sifatnya relatif,
dan kebenaran hakiki hanyalah milikNya. Imam Syafi’i bertutur: “kebenaran dalam pandanganku mengandung satu
kesalahan dalam pandangan orang lain, dan kebenaran dalam pandangan orang lain
mengandung satu kesalahan dalam pandanganku.”
Jelas
sudah, kebenaran versi si A akan berbeda dengan si B. Sedangkan kita di dunia
tidak cukup disimbolkan dengan seluruh huruf alfabet. Tinggal dibayangkan saja,
berapa versi kebenaran yang ada dan bagaimana jika saja itu semua
dipertentangkan. Remuk.
Bila
direnungkan, rasanya memang betul, bahwa semua pertikaian yang ada tak pernah
lepas dari pemaksaan kehendak atas kebenaran kepada pihak lain. Taruh saja,
perdebatan antar ormas agama, permusuhan antar parpol, sampai yang paling
aktual, terorisme.
Teroris
yang meledakkan gereja di Surabaya bertindak dengan dasar dirinya yang paling benar,
dan orang lain salah. Sampai mereka yang salah halal darahnya, jadi mari
dibunuh saja. Bayangkan, tafsir yang salah atas kebenaran, kebaikan, dan
keindahan sampai memproduksi hal semengerikan itu.
Allah
dalam An Nahl 125 berfirman ud'u ila
sabili robbika bil hikmah wal mau'idhotil hasanah, serulah (manusia) kepada
jalan Tuhanmu dengan Al Hikmah dan pelajaran yang baik. Sekali lagi, yang didahulukan adalah “yang baik.”
Jangan
lupa pula, agama berintisari pada ajaran tentang akhlaq. Dan, akhlaq selalu tentang baik dan buruk, bukan benar dan
salah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar