(sumber gambar: childrencafe.com) |
Mendengar
kabar tenggelamnya Kapal Motor (KM) Sinar Bangun di Danau Toba yang diduga
karena kelebihan muatan, seketika saya terkenang situasi saat menaiki sebuah
kapal kecil. Peristiwa tersebut terjadi saat saya berkunjung ke sebuah pulau di
lepas pantai Sulawesi.
Saya
gembira menyambut perjalanan ke Sulawesi, karena itulah kali pertama saya ke
pulau yang berbentuk mirip huruf K itu. Saya beberapa hari di sana untuk
berkunjung ke sekian titik lokasi. Hingga di satu hari menjelang pulang, saya
dan rekan-rekan harus menyeberang lautan yang gelombangnya menggoyahkan
keberanian.
***
KM
Sinar Bangun, sampai tulisan ini dibuat, masih dalam pencarian. Kemarin malam
(25/6), Kepala Basarnas M. Syaugi memberikan keterangan sudah terdapat benda
yang dicurigai sebagai KM Sinar Bangun di kedalaman sekitar 450 meter. Untuk memastikannya, hari ini pencarian
dilanjutkan kembali.
Ratusan
jenazah penumpang belum pula ditemukan rimbanya. Tim pencari sudah mencari
dengan beragam cara. Mulai mengerahkan helikopter, mengelilingi dan menyelami
danau, menelusuri tepiannya, sampai bertanya ke penduduk setempat.
Tenggelamnya
KM Sinar Bangun membuat masyarakat terhenyak. Dalam pemberitaan dinyatakan, kapal
tidak disertai pelampung yang sesuai dengan jumlah penumpang. Sementara, jumlah
penumpang sesungguhnya masih dicari dengan mencocokkan data laporan masyarakat
yang kehilangan anggota keluarga.
Manifes
tidak ada, pun dengan surat ijin berlayar. Penumpang tidak membeli karcis, karena
membayar saat berada di atas kapal. Konon, menurut penuturan beberapa orang
yang paham tentang situasi di tempat, seperti itulah lazimnya yang terjadi
sehari-hari.
Perdebatan
tentang kapasitas total kapal masih terjadi. Dikabarkan, kapal hanya ideal
untuk menampung 40-an penumpang. Sedangkan, diduga, kapal berlayar memuat
sekitar 200-an penumpang. Masih pula ditambah puluhan sepeda motor. Sungguh mencengangkan.
***
Beberapa
saat jelang menyeberang, saya masih tenang-tenang saja. Dalam bayangan, kapal
yang akan kami naiki sekelas kapal feri yang pernah membawa saya menyeberang ke
Bali. “Ah tak masalah!” begitu batin
saya. Karena berdasar pengalaman, kapal feri di Ketapang – Gilimanuk berlayar
dengan tenang dan berwibawa. Bahkan, saya tak merasa kapal sudah jauh
meninggalkan dermaga.
Sampai
kemudian, saya turun dari mobil dan berjalan menuju tempat dimana kapal
ditambatkan. Saat itulah, nyali saya drastis menciut sampai ke ukuran mikron.
Yang tampak di depan mata adalah kapal kayu yang tak seberapa besar. Mesin
penggeraknya pun diesel yang berisiknya melebihi rasan-rasan tetangga. Suaranya lebih dekat ke suara pesawat
Hercules daripada suara mesin kapal kecil.
Selain
kecil dan berisik, kapal secara kasat mata berfisik tidak layak. Kusam dan
menyedihkan. Jangankan dicat ulang, terciprat air tawar saja nampaknya belum. Apa?
Manifes? Tiket? Jangan terlalu muluk-muluk. Karena kami bayar ongkos seperti bayar
seusai naik becak.
Saya
tak menduga nasib akan membawa saya ke penyeberangan itu. Lha wong saya ini muter-muter naik
kapal wisata Kedung Ombo saja memilih no
way, kok ini tiba-tiba dihadapkan
pada realita harus berlayar di laut yang sebenar-benarnya. Ingat ya, laut,
bukan waduk.
Karena
transportasi yang dapat membawa ke tujuan hanyalah itu, maka apa boleh buat.
Tak berapa lama, saya telah duduk manis di atasnya. Semoga tidak ada yang
mengambil foto saya secara diam-diam. Karena, yang akan tertampil hanyalah
wajah yang tidak terlalu tampan ini memucat. Tidak tampan, pucat pula. Yaa Rabb..
Kapal
perlahan menjauhi daratan. Suara bising kapal membuat kami harus berteriak
sekuatnya untuk menyambung silaturahmi. Kami sebagai manusia bukan menjadi
satu-satunya jenis penumpang. Kami ditemani sepeda motor, berkarung-karung
kelapa, beras, dan berjenis-jenis muatan yang sama sekali tak pernah masuk
dalam dugaan.
Saya ndremimil berdoa sepanjang perjalanan.
Walau sudah lama mengarungi biduk rumah tangga, itulah biduk yang
sesungguh-sungguhnya. Risiko terpahit menari-nari di depan mata.
Pikiran
yang tidak-tidak melintas-lintas di kepala. Saya ngeri sekaligus terngiang
perkataan teman-teman yang berbunyi: “Matine
wong numpak kapal ki rekasa, nganggo nglangi klagepan. Mending matine wong
numpak montor mabur, langsung thek sek mati.” (Meninggalnya penumpang kapal
itu kesusahan, pakai berenang gelagapan.
Lebih enak meninggalnya penumpang pesawat, jatuh langsung mati).
Saat
itu, tiba-tiba gerimis turun. Semakin ke tengah laut, bukan reda justru semakin
deras. Saya semakin sulit berpikiran positif. Semua perkataan motivator lenyap
tak ada gunanya. Pikiran dan raut muka bertambah buram, saat tersadar di atas
kami tidak ada tergantung sebutir pun pelampung.
***
Singkat
kata, kami selamat sampai seberang, meski dengan kapal yang berderit-derit
menahan berlebih beban. Karena tidak ada kapal yang sama untuk kembali,
akhirnya kami mencarter sebuah kapal yang lebih besar, lebih bagus, dan
menenteramkan. Ya walaupun kami kehilangan nyali, setidaknya kami masih punya
uang.
Itu
kisah empat tahun lalu, saat bulan puasa, Juli 2014.
Semoga sarana transportasi di seluruh Indonesia terus membaik, sistem makin tertata,
dan SDM yang mengelola memiliki kompetensi yang mumpuni.
Tenggelamnya
KM Sinar Bangun semoga menjadi yang terakhir. Semoga menjadi momentum perbaikan
seluruh sistem transportasi, baik darat, laut, dan udara.
***
September
2014, saya berkunjung ke Bandung. Di sebuah hotel, saya bertemu seorang teman
yang berasal dari Sulawesi, dan saya bercerita kisah penyeberangan saya. Ia
dengan kalem menanggapi: “Oh iya, itu
sebulan sebelum kamu ke situ, ada pejabat tenggelam.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar