(sumber gambar: triptrus) |
Tahun 2018 sudah diberi judul sebagai tahun
politik. Tahun ini, sebanyak 171 daerah akan menggelar pemilihan kepala daerah
(pilkada) secara serentak pada 27 Juni. Di tahun ini pula, persiapan pemilu legislatif
(pileg) dan pemilihan presiden (pilpres) 2019 telah dimulai.
Di
dunia nyata dan maya, kita mulai disuguhi beraneka sajian beraroma politik. Di
jalan protokol, baliho besar tampilkan tokoh nasional yang tersenyum manis
menawarkan pesonanya. Di portal berita on-line,
kasak-kusuk pemberitaan tak jauh dari
anjangsana antar tokoh, penyebutan nama-nama yang akan bertarung, dan analisis-analisis
pengamat dengan opini versi masing-masing.
Pileg
tentu menarik. Pilkada lebih menarik. Tetapi, pilpres adalah satu hal. Pilpres
memiliki nilai jual paling tinggi dan semua orang tertarik membahasnya. Saat
membahas pilpres, hal yang menarik untuk dibahas ialah siapa lawan Jokowi dan
siapa calon wakil presiden (cawapres) yang akan mendampingi.
Untuk
calon lawan Jokowi, sejauh ini, nama yang disebut tak jauh dari Prabowo lagi.
Sedangkan, cawapres yang akan mendampingi Jokowi dan Prabowo sampai sekarang
belum mengerucut pada satu nama. Masih banyak tokoh yang disebut-sebut. Mulai
Jenderal Gatot, AHY, Mahfud M.D., Sri Mulyani, Anies Baswedan sampai dengan Bos
Go-Jek, Nadiem Makarim. Namun, satu nama yang mencuri perhatian adalah Prof.
Mahfud --yang pada pilpres 2014 disebut akan mendampingi Jokowi namun tak jadi,
dan di tikungan terakhir memutuskan untuk menjadi ketua tim sukses Prabowo –
Hatta.
***
Mahfud
MD bukan nama asing di kancah perpolitikan nasional. Ia tokoh kawakan yang mempunyai
beragam pengalaman di berbagai organisasi. Ia pernah dan masih memiliki posisi
penting di organisasi kemahasiswaan, perguruan tinggi, partai politik sampai
lembaga negara.
Beberapa
waktu belakangan, nama Mahfud disebut akan mendampingi Jokowi pada 2019. Saat
diklarifikasi, Mahfud memilih menjawab diplomatis. Ia tidak akan secara aktif mencalonkan
diri dan membiarkan semua mengalir. Tidak ngotot,
tapi juga tak menolak jika rakyat menginginkan.
Sebelum
jauh, saya ingin menyatakan, tulisan ini tidak dalam rangka apapun kecuali
membagikan perspektif dan analisis elek-elekan
perihal pilpres 2019. Tidak ada maksud dukung-mendukung atau niat politis
lainnya, Secara pribadi, saya tidak masuk dan tersangkut pada anasir politik
manapun.
Kembali
ke Mahfud MD, andai saja benar Jokowi menunjuk Mahfud sebagai cawapresnya, maka
akan menjadi perpaduan yang oke. Pasangan
Jokowi – Mahfud dapat mengambil positioning
sebagai perpaduan tokoh nasionalis dan religius. Selain itu, apabila Madura
dilihat sebagai pulau terpisah dari Jawa, dengan sedikit maksa dapat pula disebut pasangan yang mewakili Jawa dan Luar Jawa.
Pada lingkup lainnya, Jokowi – Mahfud adalah pasangan businessman dan teknokrat, yang dengan kelebihan dan kekurangan
masing-masing akan dapat saling mengisi.
Sedangkan,
apabila Mahfud memilih untuk mendampingi Prabowo, mereka bakal menjadi pasangan
yang tak kalah keren. Pasangan Prabowo – Mahfud akan jadi perwakilan militer
dan sipil. Sebuah perjodohan yang konon jadi idaman rakyat.
Dari
padu padan di atas, Mahfud tampak cocok disandingkan dengan siapa pun. Ini
bukan tanpa alasan. Mahfud adalah sosok yang lengkap dan tak berlebihan bila
dikatakan sulit dicari padanannya di Indonesia. Koreksi jika saya salah, ia
adalah satu-satunya tokoh nasional yang pernah memiliki posisi di lembaga
eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Mahfud pernah menjadi Menteri Pertahanan
dan Menteri Kehakiman di masa Gus Dur. Ia pernah menjadi anggota DPR-RI.
Terakhir, menjadi pucuk pimpinan di Mahkamah Konstitusi.
Deretan
kelengkapan Mahfud yang disebutkan di atas belumlah usai. Mahfud berangkat dari
dunia akademisi dan ia bukanlah seorang akademisi semenjana. Mahfud adalah Guru
Besar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. Ia pernah duduk di kursi rektor
Universitas Islam Kadiri, sekaligus seorang penulis banyak buku dan publikasi
ilmiah. Posisi-posisi tersebut telah berbicara jelas tentang sosok Mahfud MD
sebagai akademisi.
Di
samping jabatan “duniawi”, Mahfud juga memiliki background keagamaan yang tak bisa diragukan. Tilik saja
asal-usulnya yang berasal dari Madura, sebuah pulau yang lekat dengan nuansa
keislaman yang kental. Awal pendidikan Mahfud berangkat dari Madrasah
Ibtidaiyah di sebuah pondok pesantren di Pamekasan. Saat usia remaja, ia memilih
pendidikan di Sekolah Pendidikan Guru Agama. Ia juga lulusan Sastra Arab UGM, dimana
pembaca pasti paham untuk apa jurusan itu diambil.
Mahfud
seorang organisator yang telah teruji. Jejak organisasinya tercium mulai dari
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Sampai sekarang, Mahfud masih diamanahi sebagai
Ketua Presidium Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) dan Ketua Ikatan
Keluarga Alumni Universitas Islam Indonesia. Selain itu, ia duduk sebagai Dewan
Pengasuh Forum Keluarga
Madura Yogyakarta. Di politik praktis, Mahfud pernah berposisi Wakil
Ketua Umum Dewan Tanfidz DPP Partai Kebangkitan Bangsa.
***
Dalam
ilmu tata negara, Mahfud pakarnya. Secara pengalaman berpartai, pernah duduk sebagai
pimpinan. Secara kultur keagamaan, ia nahdliyin
tulen. Dalam dunia birokrasi, mendapatkan banyak jabatan penting.
Satu
lagi variabel penting, pria yang tinggal di Sleman itu tak pernah sekalipun
tersangkut dalam kasus hukum. Secara moral, ia telah teruji. Dilihat dari jalan
yang dipilih, ia sangat lurus.
Dengan
rentetan pengalaman Mahfud yang demikian panjang, pantas bila ia disebut
sebagai cawapres unggulan yang akan bertarung di 2019. Secara kalkulasi
politik, nama Mahfud MD sangat pantas diperhitungkan.
***
Bicara
politik sebenarnya membahas sesuatu yang sangat cair. Sulit ditakar kesejatiannya,
sukar diukur kepastiannya. Mahfud MD mungkin sosok yang pepak lagi jangkep,
tetapi kaca mata politik tidak sesederhana itu.
Pilpres
tidak hanya berbicara tentang baik atau tidaknya dan hebat atau tidak seorang
tokoh. Pilpres merupakan event
multidimensi. Di dalamnya terdapat silang sengkarut kepentingan yang banyaknya ndak karu-karuan. Skenario yang diwarnai
intrik pastilah tidak terhindar. Keputusan politis yang telah sampai tahap
ketok palu pastilah keputusan yang telah melalui adu argumen, pertarungan
intelektualitas, sampai tawar menawar harga pas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar