(sumber: nytimes.com) |
Di tengah zaman yang menggunakan materi
sebagai standar utama ukuran kemuliaan, tidak heran rasanya apabila semua orang
berlomba-lomba mencari dan menumpuknya. Perlombaan itu berjalan brutal tanpa
aturan. Marka-marka ditabrak, rambu-rambu digasak.
Karena materi digunakan sebagai ukuran,
maka yang dianut adalah yang terlihat, yang digugu hanya yang tampak. Firman
Tuhan dan sabda nabi hanya sepintas lalu menghiasi pandangan dan pendengaran.
Gairah yang menghegemoni saat ini adalah harta yang dimaknai sebagai sarana
utama menuju kebahagiaan.
Jika memang harta merupakan satu-satunya
sumber daya menuju kebahagiaan, seharusnya para hartawan akan hidup tanpa
masalah. Tapi nyatanya, masih saja ada orang yang menurut prasangka umum
seharusnya tidak memiliki masalah, justru wajahnya nyureng, justru
nir-senyum, malah bunuh diri, justru korupsi, dan sederet pertanda lain yang
memvalidasi bahwa mereka bukanlah orang bahagia.
***
Sebenarnya, bukanlah hal yang keliru bila
posisikan harta sebagai sumber kebahagiaan. Yang salah, harta digunakan sebagai
satu-satunya sumber. Apabila diposisikan sebagai lantaran tunggal, siap-siap
saja kita akan diperhambanya. Sadar akan fenomena ini, Emha Ainun Nadjib (Cak
Nun) menyinggungnya dalam beberapa forum di berbagai tempat yang selalu
dihadiri oleh ribuan – puluhan ribu pemirsa.
Cak Nun berkata, apa yang terjadi sekarang
ini sebetulnya adalah hilangnya parameter manusia untuk memaknai dan menjalani
kehidupan. Karena telah kehilangan alat ukur, maka apa-apa yang terjadi
berikutnya adalah ketidaktepatan koordinat pengambilan keputusan. Cak Nun
secara sederhana ingin bantu menyicil meluruskan hal-hal yang berbelok dari
fitrah kesejatiannya.
Menurut Cak Nun, hal pertama yang harus
dilakukan agar kita bisa menyicip kebahagiaan ialah menerima dengan senang hati
apa yang ada di depan mata. Cak Nun mengumpamakan, kalau yang ada tempe goreng,
dinikmati saja tempe itu dengan sebaik-baiknya. Bukan mengangankan dan
menginginkan sop buntut. Jika yang terpikir hanya sop buntut, maka kita sedang
mendapat kerugian dua kali. Pertama, tempe menjadi tidak enak, dan kedua, sop
buntut tetap tidak kita dapatkan. Nelangsa ‘kan?
Hal sederhana seperti yang diungkapkan Cak
Nun seringkali kita lupakan atau bahkan sama sekali belum kita pahami. Cak Nun
sedang mengajarkan bahwa segala hal yang terbaik ialah yang saat ini kita
miliki. Sebab, hanya Tuhan yang paling tahu apa yang terbaik untuk hambaNya.
Percaya saja, jangan-jangan sop buntut yang kita impi-impi itu
mengandung anthrax, membuat keloloden, atau terselip di gigi
sampai tusuk gigi model apapun tak mampu mencungkilnya..
Kedua, Cak Nun menyatakan bahwa hal yang
harus diubah dari sebagian besar manusia jaman ini ialah tujuan hidupnya.
Mayoritas, sekarang ini menjadikan uang sebagai tujuan utama. Padahal, setelah
uang dijadikan tujuan utama, maka apapun dan cara apapun akan dipilih. Setelah
itu yang terjadi hanya kedekatan dengan malapetaka.
Cak Nun menyarankan agar kita mengubah
tujuan hidup. Tujuan hidup yang seharusnya adalah mencapai kebahagiaan. Setelah
paham bahwa tujuan hidup adalah bahagia, maka segala pikiran, ucapan, tindakan,
dan kebiasaan akan diarahkan menuju ke sana.
Kebahagiaan sebenarnya searah dengan apapun
yang baik-baik dan sesuai tuntunan. Perilaku baik dan lurus akan membuat jiwa
menjadi tenang. Berlawanan dengan itu, tindak tanduk yang salah akan tercatat
dosa, kemudian dosa akan membuat jiwa menjadi resah, dan hidup tidak jenak.
Secara akumulasi, dosa-dosa membuat nurani ternoda dan akan membuatnya lemah
sebagai mekanisme kontrol kejernihan lahir batin.
Apa yang dikatakan Cak Nun memang benar dan
saya telah membuktikan, setidaknya dari apa yang saya tahu dari seorang teman.
Begini, sebut saja ada orang bernama Darno. Darno ini terkenal sebagai orang
yang seenaknya sendiri dan relatif banyak konsekuensi yang lahir dari sikapnya
itu.
Darno ini jenis orang yang menjadikan uang
sebagai tujuan utama. Suatu saat, ia disuruh memasang spanduk yang
mengumumkan akan diselenggarakan sebuah acara. Darno pun berangkat memasang
spanduk. Usai spanduk terpasang, Darno pun mendapat upah. Tahu apa yang
diucapkan setelah menerima upah? Ia mengomel: “Upah kok mung semene. Dienggo
pijet wae ra sedeng.” (Upah kok cuma segini, dibuat bayar pijet saja tidak
cukup). Apes baginya, ternyata perkataan itu sampai ke telinga pemberi upah.
Mulai saat itu, rekam jejak Darno tersebar ke seantero tempat Darno berada.
Darno pun di-blacklist dan tidak ada lagi yang berminat menggunakan
jasanya.
Di seberangnya, terdapat rekan Darno
bernama Ratman. Ratman adalah tipe pekerja yang prigel,
tipe yang apa saja mau mengerjakan, dan tidak peduli berapa yang akan
didapatkannya. Ia pernah mengatakan kepada saya: “Saya yang terpenting
menjalani apa saja yang halal, Mas. Nanti rejeki ‘kan ada.”
Dan lihat apa yang terjadi sekarang. Ratman
terus saja terpakai jasanya. Lalu Darno? Darno sama sekali tak ada yang melirik
dan terus saja nyinyir terhadap rejeki yang didapat Ratman. Ini nyata. Kisah
Darno dan Ratman menuliskan fakta tentang perbedaan tujuan akan berbeda pula
pada hasil dan produk turunannya.
Pada scope yang lebih general, Cak
Nun pernah berpesan: “Tuhan tidak menuntut kita untuk sukses, Tuhan hanya
menyuruh kita berjuang tanpa henti”. Perkataan Cak Nun tersebut
memantapkan kita untuk melakukan apapun secara sungguh-sungguh sampai batas
maksimal, karena memang hanya sampai di situlah privilege yang kita
miliki. Lalu, setelah itu yang kita lakukan tinggal tawakal dan berdoa,
menunggu realisasi prerogatif Tuhan terhadap apa yang telah kita usahakan.
Perkataan Cak Nun di atas dapat kita
gunakan sebagai pegangan bahwa kita harus terus berupaya, namun jangan dulu
memikirkan hasil. Karena hasil telah ada di ranah kuasa Tuhan. Tidak dapat
dimungkiri, seringkali kita berusaha sambil terus memikirkan bagaimana hasilnya
kelak. Lha padahal itu mubadzir, membebani pikiran, dan menjauhkan dari
kebahagiaan.
***
Memang, memang bergelimang harta sungguhlah
manis sekali. Segala keinginan terpenuhi tanpa perlu menahan-nahan. Tetapi yang
perlu diingat, default setting manusia adalah makhluk yang tiada pernah
merasa puas. Bila terus memperturutkan, yang kita dapatkan hanya kelelahan jiwa
raga yang terus-menerus mendera. Walhasil, bahagia semakin jauh dari jangkauan.
Kita seringkali melupakan apa yang telah
dimiliki karena yang ada di pikiran hanyalah keinginan yang belum tercapai.
Terus saja, sampai hal-hal di depan mata terlewati tanpa ternikmati, dan
tahu-tahu kita sudah tua, lalu tersadar sebentar lagi harta sudah tiada berguna.
Belum ternikmati Avanza, tiba-tiba Rush
tipe terbaru meluncur, terus panik, terus menyesal. Belum merasakan sensasi adrenaline
menggeber Toyota 86, sudah kepingin Ferrari 458, terus lupa
enaknya 86. Belum memaksimalkan kekecean Lamborghini Aventador,
sudah kepincut Pagani Huayra. Kesengsem Bentley Continental
sebentar, lalu baper saat Rolls-Royce rilis seri Phantom
terbaru, padahal praktiknya itu odometer Bentley baru jalan berapa kilo. Begitu
terus sampai Dilan berkeluarga.
Ada variabel lain yang terkadang terlupa
dan pada batasan tertentu sama sekali tidak dapat kita lawan, selain nrima
ing pandum dan mensyukuri karuniaNya. Variabel itu tiada lain jatah rejeki
yang sudah tertulis. Maka, jangan heran kalau ada yang bisanya cuma beli Porsche
Carrera dalam bentuk Hot Wheels dan menyetirnya di Need For Speed.
Tapi ada pula yang beli Huracan cuma buat nongki-nongki di Kopi
Joni.
Horas, Bang Hotman!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar