(sumber gambar digitalbrandinginstitute.com) |
Saya
punya teman bernama Kasemiro yang berprofesi sebagai pengusaha. Sekitar Mei
2017, tiba-tiba ia menghampiri dan mengeluh perihal Waldi, rekanannya yang
ingkar janji. Begini alurnya..
Kasemiro
jengkel bukan buatan. Waldi berjanji membayar utang namun saat jatuh tempo
justru menghilang. Ditelepon tidak diangkat, di-WA cuma dibaca tanpa balasan. Dan
itu terjadi berkali-kali, berbulan-bulan lamanya.
Saking
jengkelnya, Kasemiro menyusun strategi untuk melakukan penagihan dengan sedikit
ekstrim. Ringkasnya, eksekusi mendatangkan hasil, walau hanya setengah utang
yang dibayar. Lumayan daripada blas,
begitu kata Kasemiro.
Seingat
saya, sejak bertahun lamanya menekuni usaha, baru sekali ini Kasemiro jengkel
sampai gethem-gethem. Ia bercerita,
Waldi dan istri saat bertemu selalu berpenampilan sopan. Tutur kata halus
tertata, pun tingkahnya mundhuk-mundhuk.
Tapi saat utang harus dibayar, mereka tega menjelma dua tokoh antagonis yang
memancing emosi.
***
Berbulan
setelahnya, pada suatu malam saya berkesempatan berbincang dengan Muslih,
seorang peternak ribuan ayam, pemilik berhektar-hektar kebun sawit, dan
baru-baru ini melebarkan sayap ke bidang property.
Secara penampilan, Muslih tidak nampak sebagai pengusaha dengan aset
bermilyar-milyar. Ia seorang sederhana dalam arti sebenarnya.
Kemana-mana
Muslih bersepeda motor bebek, yang dari penampakannya jelas jarang dicium buih
sabun. Mobil hanya satu, itu pun dari segmen low MPV yang dimiliki jutaan orang lainnya. Rumahnya biasa saja.
Tidak terletak di cluster mewah, tapi
di sudut kampung.
Muslih
bertutur, beragam usaha yang dimilikinya diawali dari usaha bengkel motor. Ia
memang mempunyai keterampilan montir motor. Tapi karena suatu hal, bengkel
harus ia suntik mati. Bergeserlah ia ke peternakan.
Peternakan
ayam tidak berawal dari modal besar. Muslih memulai dari puluhan ekor saja.
Sampai kemudian ayam-ayam itu saling cinta, memutuskan berkeluarga, dan
beranak-pinak mencapai ribuan ekor karena tidak ikut KB. Yang patut diingat, gerombolan
ayam itu tidak sekadar berkeluarga, namun ikut pula memakmurkan Muslih.
Saat
asyik-asyiknya beternak, seorang teman menghampiri dan menawarkan bisnis yang
saat itu masih sangat jarang ditekuni orang. Ditambah, usaha itu benar-benar
baru bagi Muslih. Ia bimbang. Lalu entah ilham apa yang mendatangi, dengan
sedikit nekat ia memutuskan join
dengan usaha yang ditawarkan temannya. Mulai saat itu, Muslih terjun dalam
usaha perkebunan sawit.
Usaha
kebun sawit cukup lama dirintis. Untuk diketahui, Muslih harus lillahi ta’ala dalam menjalankannya.
Karena ia hanya bisa memantau secara rutin melalui telepon. Muslih di Yogya,
usaha kebun sawit dipercayakan kepada teman yang bermukim di Sumatra. Usaha
kebun sawit Muslih jalankan murni berlandaskan asas kepercayaan.
Untung
saja, sepanjang perjalanan merintis kebun, teman yang dipercaya sangatlah
amanah. Catatan sejak awal mula dulu sampai tahun sekarang, tertulis rapi dalam
lembaran laporan-laporan yang akuntabel. Empat-lima tahun lalu, Muslih mulai
mengecap kesuksesan kebunnya. Tiap bulan ia menerima transfer dengan jumlah
yang cukup untuk menebalkan rasa percaya diri.
Dari
hasil kebun sawitnya, Muslih sudah berhaji dengan sang istri. Pun, ia sisihkan
hasilnya untuk terjun ke bidang property.
Saat ini ia sudah memiliki beberapa ruko yang ia sewakan. Uang bukan lagi masalah
untuknya. Setidaknya begitulah yang dapat terlihat dan terkalkulasi.
Saat
saya singgung bahwa hidupnya tinggal menikmati dan bepergian berfoto-foto like there’s no tomorrow, Muslih
mensyukuri sambil sedikit membantah. Ia berkata, apa yang terlihat tidak selalu
demikian pula yang ia rasa. Ia berkata, saat rejeki datang seperti digerojokkan, di sisi lain selalu saja
ada kebutuhan yang harus dicukupi. Bahasa mudahnya, yang masuk banyak, yang
keluar juga.
***
Di
malam yang sama, saya bertemu dengan pengusaha muda, sebut saja Heri. Ia
menekuni usaha persewaan kamera DSLR. Sebuah usaha yang akhir-akhir ini mulai
banyak bermunculan.
Tiap
bertemu pengusaha, selalu saya tanyakan bagaimana awal mula mereka berusaha dan
mengapa memilih usaha itu untuk ditekuni. Kepada Heri, saya juga bertanya demikian.
Saya penasaran, karena walau sudah banyak yang terjun ke sana, bagi saya
menyewakan kamera tetap saja jenis usaha yang unik. Heri bercerita, awal ia
usaha sebenarnya bukanlah menyewakan kamera tapi modem internet. Saya pun
ternganga. Dari mana pula tercetus ide menyewakan modem.
Saya
telisik terus. Rupanya, di tahun 2009 persewaan modem adalah hal biasa di
kalangan mahasiswa. Tolong maklumi keheranan saya, di tahun itu saya tidak
pernah menyewa modem, karena sudah dibeliin sama papah.. #horangkayah
Usaha
persewaan modem Heri didasari keinginan membantu orang tua. Saat itu, ia
mengalami kecelakaan yang menghabiskan banyak biaya. Ia tak sampai hati melihat
orang tuanya susah payah membiayai kuliah sambil mengusahakan kesembuhannya. Berinisiatiflah
ia menyewakan satu-satunya modem yang ia miliki, dan ternyata sangat laris.
Modem tidak pernah pulang, ia terus digilir pelanggan.
Di
saat usahanya lancar berjalan, datanglah seseorang yang menanyakan, selain
menyewakan modem, apakah ia juga menyewakan kamera DSLR. Dari situlah awal bisnis
persewaan kameranya. Sekarang, Heri sudah memiliki lima orang karyawan dengan
jumlah kamera yang tidak terhitung.
***
Saat
sedang berbincang panjang lebar dengan Heri, datanglah seorang pengusaha yang
sebelumnya tidak saya kenal. Ia mengaku bernama Darno. Langsung saja saya
hampiri dan saya tanya-tanyai. Sesuai SOP yang saya anut di atas, saya tanyai
mengapa menekuni usaha itu dan bagaimana awalnya.
Darno
bercerita, sebenarnya ia dulu seorang karyawan. Lalu setelah bekerja sekian
tahun, ia merasakan bukan di situlah passion-nya.
Ia keluar dan membuka usaha yang sekarang ia tekuni. Dengan modal keberanian,
ia mulai usahanya tanpa banyak berpikir. Yang penting dijalani sambil terus
menjaga spirit. Ia juga berkata,
untuk menjadi pengusaha harus selalu menunaikan apa yang dituntun agama. Oleh
karena itu, ia selalu menjalin relasi dengan banyak orang, sebagai manifestasi
silaturahim yang dijanjikan akan menambah rejeki dan memanjangkan usia.
Karena
saya tahu Darno bergerak di bidang usaha yang sama dengan Kasemiro, maka saya
tanyai apakah ia mengenalnya. Darno mengaku tidak mengenal namanya dan bertanya
apa nama usaha Kasemiro. Setelah saya sebut nama usaha Kasemiro, ia
manggut-manggut saja. Di saat itulah, makbedunduk
Kasemiro muncul di belakang saya. Lalu saya bilang, “Lha ini Kasemiro, Mas!”
Setelah
menyalami saya, Kasemiro mendekati Darno untuk berbincang berdua saja. Karena
saya merasa mereka terlibat pembicaraan penting yang tidak ingin saya dengar, saya
pun menjauh.
***
Saya
menyimpan keinginan suatu saat bisa memulai usaha sendiri. Tetapi sampai
sekarang belum tentukan sektor usaha apa yang akan saya pilih. Saya masih
berpikir dan menimbang-nimbang segala risikonya.
Sementara,
dari sekian banyak pengusaha yang saya temui, selalu saja usaha mereka awali
dari bergerak dan tidak banyak berpikir. Yang saya simpulkan, mereka langsung
saja memulai usaha sambil terus lakukan proses perbaikan. Bukan menunggu
apa-apa telah baik baru memulai.
Pengusaha
sukses selalu mengawali usahanya dengan satu usaha kecil. Dari satu usaha itu,
lambat laun akan terbaca peluang untuk dimasuki. Lalu dari sanalah usahanya
menggurita menyentuh beragam sektor, yang bahkan sebelumnya terpikir saja tidak.
***
Usai
berbincang cukup lama dengan Darno, Kasemiro mendekati saya.
Saya
tanya, “Sudah selesai bicara sama Darno?”
Kasemiro
bingung, “Darno siapa?”
Saya
tak kalah bingung, “Lho, itu sing mbok
ajak ngobrol tadi ‘kan Darno to?”
Kasemiro
menjelaskan, “Bukan Darno, tapi Waldi!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar