(sumber: 98five.com) |
Beragam
media beberapa hari ini menurunkan berita tentang pamitnya Is dari Payung Teduh.
Pendengar dan peminat Payung Teduh pun tersentak dengan berita yang tanpa basa-basi
muncul begitu saja. Wajar saja publik musik tak menduga, karena Payung Teduh
memang sedang mereguk manisnya puncak popularitas di tahun 2017 ini.
Sebelum
2017, atau tepatnya sebelum munculnya lagu “Akad”, tidak banyak yang sadar akan
keberadaan Payung Teduh. Grup band yang besar di Universitas Indonesia ini
sebelumnya hanya wira-wiri di event-event
semenjana dan hanya masuk ke telinga kalangan tertentu. Namun, sejak “Akad”
mendapat view yang sangat besar di
YouTube, sekejap Payung Teduh menjadi band “mainstream.”
***
Saya
pribadi tahu dan langsung suka dengan lagu-lagu Payung Teduh di tahun 2012.
Kala itu, entah darimana datangnya tiba-tiba nama itu melintas di linimasa
twitter dan saya penasaran. Saya dengarkan “Resah”, “Angin Pujaan Hujan”, dan “Berdua
Saja” setelahnya. Tak perlu berkali mendengar, tiga lagu itu langsung paten
menjadi lagu-lagu yang terus-menerus menduduki daftar putar saya. Kemudian
menyusul ada “Untuk Perempuan yang Sedang Dalam Pelukan”, “Kisah Gunung dan
Laut, dan “Masa Kecilku” yang juga demikian saya gemari.
Saat
itu, baru saya sendiri yang mendengarkan Payung Teduh di antara teman
sepermainan. Karena saya pemurah, maka saya perdengarkan tiga lagu tadi ke
beberapa orang sekeliling. Saya antusias, tapi mereka dingin tidak merespons. Saya
memaklumi, entah karena masalah selera atau karena Payung Teduh memang nama yang
masih sangat asing. Tentu, saat itu nama mereka kalah telak dari Armada, D’Masiv,
Noah, O.M. Sera, dan Monata. Juga jangan lupa, dengan Via Vallen yang saat itu
belum menasional pun, Payung Teduh tetap kalah ngetop, terutama di lingkup
Yogya dan sekitarnya.
Lebih
menyakitkan lagi, ada pula teman yang pertama mendengar lagu-lagu Payung Teduh,
langsung berucap: “lagune marai ngantuk,
Mz!”. Tidak heran juga, sekali lagi selera tidak bisa dipaksakan atau
mungkin karena teman saya itu lebih suka lagu-lagu yang nge-beat. Belakangan diketahui, teman tersebut di saat saya membuat
tulisan ini, sering tertangkap basah memainkan lagu Jaran Goyang-nya Nella
Kharisma.
***
Bagi
saya, lagu-lagu Payung Teduh itu senada dengan namanya, meneduhkan. Lagunya
membuai. Tidak sekadar notasi dan aransemen, --yang dibawakan dengan sound akustik yang clean-- lirik-lirik yang ditulis Is dapat tertangkap indera
pendengar sebagai lirik yang dibuat dengan sangat serius, ora waton dadi. Liriknya sangat dipikirkan. Maka, Payung Teduh
menjadi band yang lengkap menurut saya.
Suara
rendah Is dipadu dengan aransemen yang mengalir lambat dan diisi dengan
lirik-lirik puitik, maka jadilah perpaduan indah yang melenakan. Payung Teduh
memang berbeda. Payung Teduh membawa sesuatu yang baru. Maka, nama mereka
perlahan tertancap kuat dalam scene musik
nasional. Undangan manggung sangat padat, lagunya seliweran di keramaian, belum
lagi meledaknya single “Akad” tadi.
Bagi
yang menyaksikannya dari jauh, sepertinya semua terlihat menyenangkan bagi
Payung Teduh. Undangan manggung padat, bahkan sampai belasan kali di tiap
bulannya. Pastilah itu ekuivalen dengan pemasukan yang semakin menumpuk. Belum
pula menggetarkannya dielukan-elukan penggemar di setiap pementasan. Namun,
ternyata apa yang dirasakan Payung Teduh, khususnya Is tidak demikian adanya.
Is tidak bahagia di sana.
***
Per
31 Desember 2017, Is resmi tidak lagi memperkuat Payung Teduh sebagai vokalis.
Ia ingin lebih banyak waktu tersedia untuk keluarga, komunitas teaternya, dan
kegemarannya bersatu dengan alam. Bagi Is, Payung Teduh sudah terlalu
melelahkan. "Nggak sehat, tiap akhir pekan kecapekan terus. Kurang tidur. Gig sudah dikurangin.
Rezeki juga cobaan… Sudah tiga-empat tahun hidup di jalan." Sahut Is dalam wawancara dengan Rolling Stone
Indonesia.
Padatnya
jadwal manggung rupanya membawa konsekuensi yang sangat pelik. Tubuh dan
pikiran lelah, akhirnya juga mempengaruhi kesehatan hubungan internal di antara
mereka. Band sudah tidak sehangat dulu. Hubungan di antara anggota sekarang
lebih kepada hubungan profesional pekerjaan. Padahal band dibangun dari
pertemanan dan kesamaan visi. Jika semua itu sudah sulit dipertahankan, maka
perpisahan yang paling baik. Begitu itu mungkin yang ada di pikiran Is.
“Bye
bye. I think it’s a good time. Mantaplah
untuk saya keluar. Dua orang masih mau jalan. Yang satu nggak tahu. Mereka
labil banget. Silakan kalau mereka mau jalan.” Kalimat Is sangat terang-benderang menerangkan
bagaimana yang dirasakan perihal internal Payung Teduh.
Is melanjutkan, “Tapi akhirnya rutinitas ini bikin kami
nggak produktif, karena terlalu nyaman dan terlalu suka dengan yang namanya
manggung. "Lah senang dong?" Demi Allah, naudzubillahminzalik. Saya nggak mau
dibilang kufur nikmat. Justru ini remnya. Biar kami nggak kebablasan untuk
terjebak di situ.”
***
Apapun
memang sangat subyektif. Bagi kita yang penonton ini, terpilih menjadi Payung
Teduh adalah impian. Keliling Indonesia, main musik, dibayar pula. Belum pula merk-merk
alat musik terkemuka berdatangan menawarkan endorsement.
Bila sudah punya nama, apapun akan mudah terasa. Semua yang dulu dikejar,
sekarang berdatangan tanpa diminta.
Tiada
yang lebih menyenangkan dari mengerjakan hal yang disenangi sekaligus dibayar
seperti yang kita duga ada di Payung Teduh. Tapi rupanya, dinamika yang
kemudian muncul justru tidak seindah yang dibayangkan. Dan ternyata, masih ada
orang-orang seperti Is yang memilih menjauhi kerjapan blitz kamera, di saat orang lain berebutan berdesakan mendekati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar