(sumber gambar: boombastis.com) |
Di
tengah ingar-bingar kasus E-KTP, rusuh di Freeport, penipuan First Travel, dan
ulang tahun Rafathar yang disiarkan langsung oleh tivi, publik Indonesia
dikejutkan oleh insiden terbaliknya bendera Indonesia di buku panduan resmi Sea
Games yang dirilis Malaysia sebagai penyelenggara. Sontak saja, warganet geger
dan mengecam habis-habisan keteledoran fatal Malaysia tersebut.
Tidak
hanya warganet biasa yang memang ceriwis terhadap apapun, Menteri Pemuda dan
Olahraga Imam Nahrawi juga menyatakan kekecewaan sampai-sampai terucap astaghfirullah dalam tweet-nya. Presiden Jokowi juga
memberikan pernyataan bahwa terbaliknya bendera merupakan suatu hal yang
menyangkut sebuah kebanggaan dan nasionalisme, oleh sebab itu permintaan maaf
resmi sangat ditunggu. Namun, Pak Jokowi menekankan agar kasus ini tidak usah
dibesar-besarkan.
Belum
mendingin suasana, muncul kabar salah satu koran Malaysia juga memasang
terbalik bendera merah putih kebanggaan kita. Dikira kita ini Polandia atau
bagaimana. Kesalahan lain muncul dalam penempatan bendera Thailand sebagai juara umum Sea Games 2011 yang seharusnya diduduki Indonesia. Benar-benar sembarangan..
Menyusul
berita selanjutnya, timnas sepakbola U-22 mengalami kehabisan makanan di hotel
tempatnya menginap. Hingga Bima Sakti sang asisten pelatih mencari-cari makanan
sedapatnya dan akhirnya temukan roti untuk mengganjal perut, sementara para
pemain menunggu koki hotel memasak selama sekitar setengah jam. Semalam, tim
sepak takraw putri memilih walk-out
karena merasa dicurangi wasit saat menjalani partai final melawan Malaysia.
Sungguh-sungguh kelewatan.
***
Meminjam
istilah yang ramai digunakan saat pilpres 2014, insiden-insiden di atas rasanya
sukar untuk tidak diprasangkai sebagai suatu skenario yang masif, terstruktur,
dan sistematis. Sepertinya Malaysia lebih memperlakukan kita sebagai seteru
daripada sebagai tetangga tunggal pager.
Lumrah jika akhirnya kita semua marah dan tersinggung.
Kasus
bendera terbalik di buku panduan misalnya, apakah mungkin sebuah buku resmi
yang diterbitkan dalam perhelatan resmi sekelas event regional antar negara tidak mengalami kontrol secara bertahap
dan berjenjang. Kita berpikir sederhana dan sewajarnya saja, kecuali memang event organizer Sea Games bekerja tidak profesional
sehingga bisa silap untuk hal sesubstantif lambang negara.
Akhirnya
kemarin, setelah ramai respon kekecewaan dan kecaman dari Indonesia, Menteri Pemuda
dan Olahraga Malaysia Khairy Jamaluddin menemui Imam Nahrawi untuk meminta maaf
secara resmi kepada rakyat Indonesia atas kasus terbaliknya bendera di buku
panduan Sea Games. Baiklah kita maafkan, tapi tak’kan kita lupakan. Enak aja..
***
Saat
Pak Jokowi menyatakan agar kasus ini tidak usah dibesar-besarkan, sebenarnya
secara pribadi saya cukup kecewa. Sisi gelap diri saya menginginkan kasus ini
dibikin ramai saja. Bukan, bukan karena saya gemar bermusuhan atau berkelahi. Dibikin ramai dalam konteks ini
sebenarnya lebih kepada kebutuhan kita untuk mendapatkan musuh bersama.
Lha kok tiba-tiba
Malaysia seperti menawarkan diri agar kita menunaikan gegeran besar-besaran. Maka momentum itu sebenarnya telah tiba.
Sebagaimana
diketahui, sejak pilpres 2014 kemudian ditambah pilkada DKI tempo hari, potensi
terpolarisasinya rakyat Indonesia dapat dikatakan cukup tinggi. Kubu-kubuan memprihatinkan
akhir-akhir ini. Apalagi belakangan sudah masuk pada sentimen agama dan ras
yang sangat sensitif.
Terpolarisasinya
rakyat Indonesia sangatlah berbahaya dan akan menjauhkan bangsa dari
produktivitas. Karena yang diendapkan di kepala dan hati hanya permusuhan
dengan saudara sebangsa dan sekelurahan sendiri. Yang dijadikan semangat
bukanlah berkarya untuk kemajuan bersama tetapi justru ingin saling mengalahkan
di antara elemen yang seharusnya saling bersinergi. Kalau sudah demikian, kapan
kita dapat bersaing dengan bangsa lain?
Maksud
saya, dengan munculnya insiden bendera terbalik, sebenarnya kita sedang
dihadapkan pada “orang lain” yang dengan sukarela datang untuk kita musuhi bareng-bareng. Dengan adanya musuh
bersama, potensi permusuhan di antara saudara sebangsa akan menipis, lalu
konsentrasi dan energi akan disalurkan untuk memenangkan “perang” dengan negara
lain. Dengan adanya musuh bersama, kita menjadi lupa bermusuhan dengan
orang-orang yang seharusnya kita gandeng untuk bekerja bersama sesuai tagline tujuh belasan kemarin.
Tetapi
pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apakah rasa cinta dan sayang kita sudah
sedemikian rendahnya sampai-sampai kita tetap saja ingin saling menghancurkan
di antara saudara sendiri? Apakah rasa persatuan dan kesatuan kita sebagai
bangsa sudah sedemikian lunturnya sehingga kita membutuhkan orang lain untuk
kita hancurkan bersama?
Maka,
perlukah Malaysia kita jadikan musuh bersama?
keren tulisannya mas =(
BalasHapusMakasih, Mas. Ditunggu kritik sarannnya.. :)
Hapus