Pantai Sadeng (foto koleksi pribadi) |
Saat membicarakan Indonesia, maka saat itu
pula tidak akan bisa dilepaskan dari bahasan tentang Yogyakarta. Selain karena
memang Yogyakarta merupakan bagian integral dari Indonesia, secara historis,
Yogyakarta sejak awal masa kemerdekaan selalu menyertai dan mengiringi
perjuangan berdirinya Indonesia.
Yogyakarta yang saat itu dipimpin Sri
Sultan Hamengku Buwono IX tercatat dalam tinta emas perjalanan lahirnya Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Semua bermula saat Sultan mengirim ucapan selamat
melalui telegram kepada Ir. Soekarno tak lama usai Republik Indonesia (RI) terbebas dari belenggu
penjajahan. Isi telegram tersebut sejatinya bukanlah sekadar ucapan selamat
belaka, namun bukti permulaan kebesaran jiwa Sultan yang ingin menyatukan Kasultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat ke dalam RI. Tidak hanya selesai dengan ucapan
selamat, Ngarsa Dalem Kaping IX melanjutkan komitmen peleburan
Yogyakarta ke dalam RI dengan mengeluarkan amanat pada tanggal 5 September 1945.
Perjuangan meraih kemerdekaan nyatanya
harus diteruskan dengan perjuangan untuk mempertahankan, karena penjajah tidak
mau melepaskan RI begitu mudahnya. Hal tersebut terbukti saat Belanda menduduki
Jakarta pada tahun 1946. Secara otomatis, Jakarta lumpuh dan mendesak untuk
dilakukan pemindahan ibu kota. Sultan mendengar dan sigap menawarkan agar ibu
kota dipindahkan ke Yogyakarta. Maka, mulai tanggal 4 Januari 1946 sampai
dengan 27 Desember 1949, ibu kota RI berpindah ke Yogyakarta.
Sewajarnya negara yang baru lahir dan
terjadinya berbagai dinamika pasca proklamasi, RI saat itu mengalami kesulitan
keuangan untuk menjalankan operasional pemerintahan. Mengetahui hal itu, Sultan
tidak tinggal diam. Selain telah menyediakan Yogyakarta sebagai ibu kota RI,
beliau dengan sangat murah hati memberikan kekayaannya sebesar enam juta gulden
kepada pemerintah RI untuk membiayai jalannya roda pemerintahan. Kemudian,
Sultan ikut berperan secara aktif dalam pertempuran terakhir untuk mengusir
Belanda. Dalam pertempuran itu, Sultan berkoordinasi dengan Letkol Soeharto.
Pertempuran fenomenal itu di kemudian hari dikenal secara luas dengan Serangan
Umum 1 Maret 1949.
Sungguh banyak jasa-jasa Sultan dalam
perjuangan awal lahirnya RI. Apabila kita sebutkan satu per satu, niscaya akan
dibutuhkan tempat dan waktu yang tidak sedikit untuk menuliskannya.
***
Embung Nglanggeran (foto koleksi pribadi) |
Di era modern, Yogyakarta menjelma menjadi
kota yang menyimpan banyak daya tarik. Yogyakarta yang mendapatkan sebutan
Daerah Istimewa sejak ditetapkannya UU No. 3 tahun 1950 tentang Pembentukan
Daerah Istimewa Yogyakarta, saat ini dikenal dengan beragam julukan yang sulit
ditemukan pada kota lain. Sebut saja kota pelajar, kota budaya, kota gudeg,
kota batik, dan kota pendidikan. Tidak heran dengan penyematan julukan-julukan
tersebut, karena memang Yogyakarta merupakan kota yang komplit dan sukar dicari
tandingannya.
Yogyakarta memiliki landscape yang
unik dan obyek wisata yang variatif. Dimulai dari utara, kita dapat menghirup
kesejukan Gunung Merapi. Melompat ke timur, kita akan disuguhi wisata cagar
budaya berupa Candi Prambanan dan Ratu Boko beserta candi-candi kecil lain yang
mengelilinginya. Jauh ke ujung barat, akan tiba di Kulon Progo dengan Waduk
Sermo, Kalibiru, Air Terjun Kedung Pedhut, dan Kebun Teh Nglinggo.
Jika ingin berpanas-panas sekaligus bermain
kecipak air, barisan pantai tersedia mulai dari Gunung Kidul, Bantul, sampai
Kulon Progo. Kalau ingin mengenang masa pra-sejarah, kawasan Gunung Api Purba
Nglanggeran beserta embungnya juga ada. Apabila ingin berbelanja, Malioboro dan
Kotagede siap menyambut. Keraton Yogya yang masih lestari, tersaji pula untuk
dinapaktilasi.
Karena dikenal sebagai kota pendidikan,
maka beragam universitas dengan beraneka jurusan dan spesialisasi, tersedia
untuk didalami. Di Yogya, dapat dijumpai restoran mewah kelas satu sampai
dengan angkringan sederhana dan warung tenda dengan harga yang ramah. Mudah
ditemui pula menu masakan Eropa, China, Arab, dan Amerika, tetapi lupis,
gethuk, mie lethek, gathot, dan thiwul tetap mendapat
tempat dimana-mana. Bagi wisatawan yang ingin berlama-lama, hotel bintang lima
dengan President Suite sampai penginapan untuk backpacker, siap
dipesan untuk bermalam. Yogya sangat welcome kepada siapapun, dari
kalangan manapun.
Jika harus menunjuk kota yang paling
mencerminkan Indonesia, maka Yogyakarta-lah tempatnya. Yogyakarta merupakan
Indonesia dalam lingkup geografis yang lebih mungil. Di Yogya, warga yang
plural hidup berdampingan tanpa masalah. Walau berbeda agama, bahasa, latar
belakang suku budaya, bahkan negara, warga dapat hidup dengan guyub rukun, damai, dan sentosa. Warga yang mendiami Yogyakarta dikenal sangat dewasa dalam
menyikapi perbedaan. Segala perbedaan lebur dalam keindonesiaan, maka
Yogyakarta aman-aman saja dan relatif tidak tersentuh konflik yang meresahkan.
Yogyakarta adalah kota yang matang dan
dewasa, yang apabila dirunut, kematangan dan kedewasaan tersebut berhubungan
langsung dengan falsafah hidup yang diletakkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono
I. Sejak awal berdirinya Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, beliau telah
menetapkan suatu sistem nilai yang harus dianut oleh segenap unsur elemen
keraton. Sistem nilai tersebut adalah Watak Ksatriya yang termanifestasikan
melalui konsep sawiji, greget, sengguh, dan ora mingkuh.
Sawiji, greget, sengguh, dan ora
mingkuh apabila diterjemahkan secara mudah berarti suatu sikap yang
mensintesiskan unsur-unsur yang terdiri dari konsentrasi
yang baik, semangat yang tinggi, kepercayaan diri yang dilandasi jiwa rendah
hati, dan selalu bertanggung jawab dalam melaksanakan apapun. Watak
Ksatriya tersebut sampai saat ini masih terjaga dan tertampil nyata dalam
panggung kehidupan keseharian Yogyakarta.
***
Merapi dari Tebing Breksi (foto koleksi pribadi) |
Yogyakarta memiliki
warisan budaya yang sangat majemuk dan mempesona, baik budaya intangible
maupun tangible. Seluruh pendahulu telah nguri-uri dan menjaganya.
Saat ini giliran kita untuk melestarikan dan dikembangkan untuk segenap
komponen Yogya, agar Yogya selalu istimewa dan awet keasliannya.
Jangan dilupakan pula,
sejak awal mula Yogyakarta telah setia dan seiring sejalan mendampingi lahirnya
Indonesia. Melalui kebijaksanaan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Yogyakarta
menyediakan diri menjadi sejawat dan keluarga terdekat. Indonesia membutuhkan
Yogya, Yogya membutuhkan Indonesia.
Saat ini, Keistimewaan
Yogyakarta juga telah terlegitimasi melalui UU No. 13 tahun 2012 tentang
Keistimewaan DIY. Undang-undang tersebut mengatur 5 (lima) aspek keistimewaan
DIY yang terdiri dari mekanisme pengisian jabatan kepala daerah DIY dengan
penetapan di DPRD, kelembagaan pemerintah DIY, bidang pertanahan, kebudayaan, dan
tata ruang. Undang-undang tersebut menjadi bukti yuridis formal bahwa
Yogyakarta memang istimewa, dan diupayakan sedapat mungkin agar keistimewaan menjadi aspek
nilai produktif demi terciptanya masyarakat DIY yang aman dan sejahtera untuk
Indonesia.
Yogyakarta dan Indonesia adalah dua sisi mata uang yang tidak
dapat dipisahkan. Tatkala di Yogya, kita akan melihat, mendengar, dan merasa
Indonesia. Maka, menjadi Jogja, menjadi Indonesia.
P.S.
Referensi peran Sri Sultan Hamengku Buwono dalam lahirnya RI:
Alwi, Akhmad. 2010. “Peranan Hamengku Buwono IX Dalam Perjuangan Awal Kemerdekaan Republik Indonesia.” (online), (http://digilib.uin-suka.ac.id/3287/, diakses tanggal 27 Agustus 2017.
Semoga kenyamanan Jogja tidak hilang tergerus kuasa modal. Melihat mal-mal baru bermunculan. Hotel-hotel menjamur. Harga tanah membumbung. Masihkah ada ruang untuk kawula alit Jogja?
BalasHapus