(sumber gambar: linkedin.com) |
Pada
suatu sore yang redup, saya melewati proyek konstruksi sebuah kampus swasta. Di
lahan yang sebelumnya ditanami tebu yang rimbun itu, terpasang centang-perenang
besi-besi beton yang kokoh tapi gersang. Tembok dan tiang-tiang di beberapa sisi
sudah berdiri angkuh tak peduli. Sementara, para pekerja masih memeras peluh
walau hari perlahan menua. Tuntutan tenggat telah membuat mereka tak acuh pada
penantian anak istri dan Dangdut D’Academy yang sebentar lagi akan dimulai~
Karena
berkendara pada kecepatan yang lambat, maka cukup banyak situasi yang dapat
teramati pada lingkup pekerjaan konstruksi tersebut. Sampai akhirnya, picingan
mata menangkap suatu pemandangan yang tidak lazim tapi nyata. Adalah beberapa
di antara puluhan tukang bangunan itu ternyata wanita yang berusia tak lagi
muda. Mereka tampak tersamar karena menggunakan kostum yang seragam dengan
pekerja lainnya --celana training
kusam dan berlubang, kaos oblong aus dan mangkak,
caping atau topi, beberapa memakai balaclava
yang sebenarnya adalah gombal sedapatnya, dan beralaskan kaki sandal jepit atau
sepatu boat butut.
Para
pekerja wanita yang memilih bekerja di proyek bangunan mungkin di daerah lain
telah wajar dan menjadi pemandangan yang biasa. Namun, di daerah kami --Jateng
dan DIY-- akhir-akhir ini baru mulai marak, setidaknya menurut pengamatan saya.
Sebelumnya, tukang bangunan adalah pekerjaan yang dimonopoli kaum lelaki yang
bukan sembarang lelaki, namun lelaki jelmaan Hulk yang terpelecat jauh ke
pelosok sisa-sisa peradaban Atlantis..
***
Di
jaman dimana makanan impor terlihat lebih keren dan mahal untuk difoto,
ternyata masih terdapat bapak-bapak yang mau-maunya berjalan kaki menawarkan
krupuk sermier dengan pikulan. Camilan tradisional berbahan baku singkong
tersebut dijual berkeliling dari kampung-kampung. Celakanya, saya sering
memergoki mereka memikul plastik berisi sermier yang berjejal dengan susunan
yang masih rapi, seperti saat baru berangkat tadi, belum berkurang barang
sebiji.
Di
sudut lain kota, di sela lalu-lalang mobil dan motor kreditan baru,
terlihat simbah menuntun sepeda dekil bermuatan guci tanah liat yang dapat
difungsikan sebagai hiasan, tempat payung, atau pot. Di suatu jam, saya
memergokinya di titik A. Di jam lain, saya kembali menjumpainya di titik A+10km
masih menuntun sepeda dan muatan yang sama. Simbah yang lebih layak
bercengkerama bersama cucu atau bersiul menghibur perkututnya itu, justru harus
berjibaku menghidupi hidupnya yang secara matematis tinggal tak seberapa lama.
***
Semoga
ibu pekerja bangunan menjalaninya bukan karena ditinggal pergi suami yang
meninggalkan utang untuknya. Semoga ibu melakukannya bukan karena suami yang
tak menafkahinya, bukan karena suami main gila, atau ketagihan vodka.
Semoga
simbah penjaja guci menjalaninya hanya karena daripada diam menunggui beribu
pohon sengonnya. Semoga simbah berkeliling dari komplek ke komplek karena bosan
membelanjakan kiriman anaknya yang belum habis-habis sudah ditransfer lagi.
Semoga simbah berjualan bukan untuk makan hari itu saja, entah untuk makan
besoknya.
Semoga
bapak pemikul sermier menjalani pekerjaannya hanya karena sedang menunggu hasil
sawahnya. Semoga bapak rela berjualan makanan udik bukan karena digujer anaknya untuk belikan Satria FU,
karena kalau engga Satria cabe-cabean
engga mau dibonceng lah ya. Semoga bapak memikul sermier dan
berkeliling dari kampung ke kampung karena memang sudah passi0n-nya berpetualang di labirin-labirin kehidupan.
Doa
saya untuk ibu pekerja bangunan, simbah penjaja guci, dan bapak pemikul
sermier, semoga pemandangan yang tampak
oleh saya sebagai suatu keadaan yang sangat nggrantes
itu, tidak demikian nyatanya di diri dan batin beliau-beliau. Semoga tulisan
ini hanya bentuk lemahnya perasaan, pun gembeng-nya
saya dalam memandang kehidupan. Semoga yang senyatanya, beliau-beliau dengan
senang hati menjalani.
Semoga
apa yang terlihat bukanlah karena keterbatasan peluang kerja. Semoga yang
tertangkap mata bukan cerminan ketidakpedulian pihak berwenang. Semoga yang
sedang terjadi bukanlah imbas dari ketidakadilan. Semoga apa yang harus dialami
bukan karena ketidaktepatan koordinat jatuhnya tetesan pembangunan. Semoga apa
yang terlihat bukan akibat dari ketidakmampuan untuk ikut serta dalam
persaingan. Semoga beliau-beliau menjalani pekerjaannya bukan karena tidak
adanya pilihan.
***
Walau
telah sekuat-kuat hati menabah-nabahkan diri untuk tak mengasihani, entah
mengapa di benak yang selalu muncul ialah, beliau-beliau sampai bekerja seperti
itu semata karena keadaan. Keadaan yang lebih dekat pada keterpaksaan.
Keterpaksaan yang menggiriskan..
Mantap mas Ryan
BalasHapusMatur suwun, Mas Bima
Hapus