[sumber gambar: independent.ie] |
Karena
adanya MTV Indonesia, pecinta musik Indonesia di dekade 1990an – awal 2000an mendapat
referensi yang luas. Bunyi-bunyian nun jauh di pelosok Eropa dan Amrik mampu
kita gapai gaungnya sampai pelosok Grobogan. Sampai-sampai saat itu saya merasa
akrab banget sama Anthony Kiedis,
Thom Yorke, personel Phantom Planet, Di-rect, Coldplay, KoRn, Limp Bizkit, Audioslave,
dan Linkin Park. Mereka sudah saya anggap kakak-kakak saya sendiri, tanpa
pernah peduli mereka menganggap saya sebagai apa..
Saat
itu, saya yang duduk di bangku SMP mengidolakan Red Hot Chili Peppers, Limp
Bizkit, Audioslave, dan Linkin Park. Soal dimana bagusnya musik yang mereka
bawakan, itu urusan lain. Yang penting mereka terlihat keren saja, lalu saya
idolakan. Sesederhana itu.
Musisi-musisi
itu memiliki kehidupan yang mengasyikkan. Sudah nggantheng, jago musik, kaya raya, keliling dunia, diuber cewek, kostum
panggungnya kece-kece, gear-nya keluaran terbaru hhhhh. Remaja alay
tanggung mana coba yang tidak keimpi-impi..
Lha kok Chris
Cornell (vokalis Soundgarden & Audioslave) tega-teganya tinggalkan kami yang
idolakannya sejak awal akil baligh. Suara Cornell yang bindeng mirip orang
dalam masa inkubasi pilek itu, menghiasi akhir-akhir SMP saya. Saya membeli
kaset album pertama Audioslave karena kesengsem suara machonya, ditambah
uniknya teknik bermain dan sound
gitar Tom Morello.
Selain
karena suaranya, Cornell ini juga ‘kan
orangnya laki banget. Mana jago bikin
lirik puitik bak Eros Djarot pula. Rambutnya gondrong berombak rewo-rewo. Struktur wajahnya tegas,
ditambah tatapan mata yang tajam. Rasanya pingin punya tampilan seperti dia
waktu itu. Apa daya diri ini lebih mirip Ben Affleck..
Kalau
Audioslave hanya diidolai oleh remaja-remaja tertentu dengan kuping berkelas
seperti saya saja (uhuk!), musik Linkin
Park (LP) saat itu masuk ke semua telinga anak muda. Saat itu, LP bisa dibilang
grup paling terkenal. Semua teman-teman saya yang saat itu lebih biasa
nyanyikan Sewu Kutha-nya Didi Kempot, tiba-tiba sok-sokan nyanyiin
Crawling. Padahal tiap Pak Petrus (guru bahasa Inggris) masuk, kelas seketika
hening seperti dimasuki penunggu sekolahan paling seram.
Linkin Park menggebrak melalui album pertama (Hybrid Theory) yang berisi lagu-lagu bagus dan bergaya baru. LP membawakan
genre yang cukup anyar saat itu, nu metal. Sebuah genre baru yang menggabungkan
rap, rock, dan turn table dengan
tokoh-tokoh utama Mike Shinoda, Chester Bennington, dan DJ Hahn. Sebenarnya ngga baru-baru amat sih genre itu, karena sebelumnya ada juga Limp Bizkit. Namun,
LP lebih mereguk kesuksesan di dunia, tak terkecuali di Indonesia. Bahkan
karena saking yakinnya bakal datangkan duit
gede, promotor akhirnya nanggap
LP ke sini.
Belum
rampung euforia kesuksesan Hybrid Theory, LP merilis Meteora yang kemudian
telurkan hits seperti Somewhere I Belong,
Numb, From The Inside, dan Faint.
Saya yang tak mau ketinggalan, tentu punya kasetnya untuk melengkapi Hybrid
Theory yang telah tersimpan rapi di lemari jati. Setelah itu, saya masuk SMA
dan tiba-tiba MTV pergi dari Indonesia.
Karena
MTV yang telah lama menjadi kitab suci referensi musik dunia pergi, maka sejak
itu publik musik Indonesia kesepian. Sampai kemudian muncul Dahsyat, Inbox, dan
format MP3 yang mendominasi. Lalu, musik-musik mendayu dengan produksi yang
seperti seadanya menyerbu tanpa ampun. Tak ada lagi musik-musik bergizi dari
MTV. Anak nongkrong berduka, karena LP dan kawan-kawan semakin jauh dari
jangkauan.
Waktu
itu, sejak kuliah saya masih memantau perkembangan musik melalui majalah
Rolling Stone, walau belinya kalau ada berita dari musisi tertentu yang
menarik. Layar musik dunia bagi saya masih tetap semarak, walau terlihat lamat-lamat. Kemudian waktu meloncat
sampai di 2017 dan terdengar kabar LP keluarkan album lagi, One More Light.
Sebetulnya,
setelah Meteora masih sesekali terdengar kiprah LP melalui album Minutes to Midnight dengan single What I’ve Done. Namun, LP bagi saya semakin
membosankan. Musiknya menurut saya mengalami stagnasi, begitu-begitu saja, rap Shinoda
ditingkahi teriakan Chester, dan gesekan vinyl DJ Hahn. Begitu terus sampai
album-album berikutnya yang sama sekali saya tak tertarik. Ternyata, di tahun
2017 One More Light melalui Heavy dan Battle Symphony mampu kembali membuat saya menoleh ke LP. Chester
di sini tampak lebih semeleh, ia tak
lagi teriak-teriak seperti dulu sampai urat lehernya pathing pecothot. Lagu-lagu di One More Light terdengar lebih
ngepop dan kental nuansa elektroniknya. LP seperti lahir kembali dan siap
menghiasi hari-hari pendengarnya. Mereka pun kembali mendominasi puncak tangga
lagu dunia.
Sampai
di tengah malam Kamis kemarin, saya membaca selarik tweet dari media asing yang mengabarkan Chester tewas bunuh diri
dengan nggantung di rumahnya. Sebuah
kabar yang sangat mengejutkan di tengah kiprah LP yang akhir-akhir ini sedang
moncer-moncernya. Apalagi, belum lama Cornell memilih cara yang sama untuk
mengakhiri hidup.
Belakangan
diketahui, Cornell dan Chester memiliki hubungan sangat dekat. Bahkan karena
demikian dekatnya, Cornell memilih Chester menjadi ayah baptis salah satu
anaknya. Usai kematian Cornell, Chester menuliskan ungkapan hatinya yang
sungguh kehilangan seorang sahabat sekaligus sosok yang ia kagumi. Ia pun
menyanyikan lagu perpisahan di pemakaman Cornell.
Hipotesis-hipotesis
pun muncul bahwa kematian Chester berhubungan erat dengan kematian Cornell. Disebutkan
dalam sebuah laporan, tekanan hidup yang dirasakan Chester usai Cornell
meninggal semakin mendalam. Ia tak kuasa menghadapi lalu memilih untuk
menyerah.
***
Apabila
kita melihat kehidupan Cornell, Chester, dan musisi-musisi lain yang memilih
bunuh diri, maka kita tak habis pikir. Mereka terkenal, dikagumi banyak orang,
kaya raya, pokoknya semua apa yang diimpikan orang telah mereka miliki. Nyatanya,
mereka memilih akhiri hidup dan meninggalkan semuanya. Tentu, semua ada
alasannya.
Kurt
Cobain bunuh diri diduga karena telah mengalami kehampaan dalam hidup di tengah
popularitasnya yang mendunia, hingga bertekuk lutut pada obat-obatan penenang
yang adiktif. Ada pula yang mengabarkan ia lelah dengan penyakit bronkhitis dan
laryngitis sebelum putuskan menembak kepalanya sendiri.
Cornell
ternyata kecanduan obat terlarang dan sulit lepas darinya. Chester sejak kecil
sudah erat dengan cobaan hidup yang berat. Ia mengaku pernah dilecehkan oleh
seseorang yang lebih tua darinya, belum lagi ia tumbuh dari orang tua yang
memilih berpisah. Chester juga sering dirundung karena fisiknya yang kurus
ceking menyedihkan. Ketika dewasa, pernikahan Chester pun berantakan. Karena
itu semua, Chester memilih alkohol dan obat terlarang untuk menjadi pelarian
dari berbagai masalah hingga menjadi ketergantungan. Kematian Cornell rasanya
menjadi klimaks dari seluruh kepahitan hidupnya.
Cara
yang dipilih Cornell, Chester, dan kawan-kawannya untuk mati memang salah,
namun kita tak pernah tahu seberapa berat tekanan hidup yang mereka alami. Kasus
bunuh diri para musisi dan pesohor setidaknya menjadi bukti bahwa hidup mereka mempunyai
permasalahan juga, seperti kita-kita ini.
Jika
kita mau sedikit berpikir jernih, para musisi dunia dan para pesohor itu
sejatinya memiliki kehidupan yang berat sekaligus sunyi. Berat karena para
penggemar selalu menuntut untuk tampil prima dan menampilkan karya sesuai
harapan. Padahal musisi juga manusia yang memiliki rasa jenuh dan sering pula
mengalami stuck saat berkarya. Belum
pula adanya rasa ingin membahagiakan seluruh penggemar, padahal kehancuran
lebih dekat ketika kita ingin membahagiakan semua orang.
Hidup
musisi dunia dan pesohor sebenarnya sunyi. Karena penggemar hanya ada ketika
mereka sedang di atas dan terkenal, lalu melupakan kemudian berpindah
menggemari orang lain. Kecintaan yang mereka dapatkan semu, kasih sayang yang
mereka rasakan sangat mudah luntur ketika masa jaya telah hilang.
Selain
itu, musisi atau seniman tentu memiliki standar yang mereka tentukan sendiri
terkait karya yang mereka lahirkan. Karena memiliki standar sendiri, secara
otomatis mereka sosok-sosok yang perfeksionis. Sifat selalu ingin sempurna
memang melelahkan, dan pada tataran tertentu akan menyebabkan pemiliknya tertekan.
***
Cerita
di atas meyakinkan kita bahwa hidup ini sawang-sinawang,
hidup ini tidak seperti yang terlihat. Kita di sini ingin menjadi Cornell dan
Chester yang namanya dipanggil-panggil oleh ratusan ribu orang saat konser. Kita
ingin menjadi Cornell yang cool tapi
tetap mengundang hysteria penonton.
Kita ingin menjadi Chester yang terlihat sangar saat berteriak sambil
menggenggam microphone dengan kedua
tangannya sambil majukan satu kaki ke sound
system di tepi panggung. Kita ingin menjadi mereka karena bisa dapatkan
semua yang diinginkan. Tapi nyatanya, mungkin Cornell dan Chester ingin menjadi
kita. Mereka mungkin akan sangat iri dengan kita yang bisa bebas kemana-mana
tanpa dimintai foto. Mereka akan sangat iri jika melihat kita bisa nongkrong di
burjo sambil jegang dan ngrasani tetangga kanan kiri. Mereka
akan sangat iri melihat kita makan di gudeg
pinggir jalan sambil udud kedhal-kedhul~
Masalah
hidup muncul ketika kita mulai membanding-bandingkan hidup kita dengan orang
lain. Maka, sekarang jalani saja hidup ini seperti apa yang ada. Percayalah,
Tuhan beserta birokrasinya tidak akan pernah tertukar dalam membagi-bagi..
Asyik banget yan bacanya...lanjutkeun...
BalasHapusMatur nuwun, Mbak Heny. Keep blogging.. :)
HapusKeren mas ryan..."wang sinawang" hehe
BalasHapusSi chester and cornel klo kenal jengan pasti pingin jd seperti mas ryan,soalnya bisa makan gorengan mak jan sepuasnya hehe...oya tp soundgardennya juga dengerinkan mas "black hole sun" lebih garang dari audio slave mas hehe...
Wah Mas Kris, bener Mas di Soundgarden sound-nya lebih Seattle hehe. Lebih macho dan klasik.
HapusHahaha diceritain Mbak Heny soal gorengan Bu Djan yang tak tergantikan itu ya Mas.
Matur nuwun komennya.. :)
What a stuff of un-ambiguity and preserveness of precious experience regarding unpredicted feelings. google mail sign in
BalasHapus
BalasHapusAttractive component to content. I simply stumbled upon your website and in accession capital to assert that I get actually loved account your blog posts. Anyway I'll be subscribing for your feeds or even I fulfillment you get right of entry to persistently fast. facebook login in
Both of the strategies can assist you reduce your mortgage payment. canada mortgage calculator Figuring out whether you'll be able to afford to acquire a home requires a lot greater than finding a home in the certain budget. mortgage calculator
BalasHapus