(sumber gambar: danielmiessler.com) |
Maafkan
saya harus menyinggung soal pilkada DKI dan isu kebhinnekaan yang belakangan
mengiringi. Permintaan maaf dalam konteks ini sangat relevan, tidak
mengada-ada, dan bukan diarahkan untuk mencari simpati pembaca, agar timbul
persepsi bahwa saya adalah orang yang berperasaan lembut lagi soleh. Maaf harus
tertulis karena saya lancang mengangkat tema itu lagi, padahal di media mainstream dan media sosial, tema itu
sudah mengakuisisi semua kolom dan celah. Kelancangan ini saya sadari akan semakin
memunculkan kejengahan yang bahkan saat ini sudah menyentuh ranah kemuakan
massal.
Tetapi,
kejengahan yang berkembang menjadi kemuakan tidak elok jika harus digiring
menjadi pembenaran bahwa kita menjadi tak acuh terhadap bahasan berbulan-bulan
belakangan ini. Bukan apa-apa, karena hal itu bersinggungan dengan NKRI, tanah tumpah
darah, pun lahan melestarikan kehidupan mulai buaian ayunan sampai liang
kematian. Pilkada DKI dan kebhinnekaan bukanlah masalah remeh yang dengan mudah
kita kesampingkan, karena pada kenyataannya bermuara pada gentingnya persatuan
dan kesatuan di antara kita.
Pilkada
DKI sebenarnya event berskala
provinsi, namun menjadi perhatian nasional karena kedudukan Jakarta sebagai ibu
kota negara. Yang harusnya hanya menjadi gunjingan di warkop Cililitan, tetapi
dari warteg di Dlingo mBantul terdengar juga nama Ahok dan Anies disebut.
Sungguh suatu fenomena politik yang menimbulkan gonjang-ganjing sekaligus polarisasi masyarakat.
***
Saya
termasuk orang yang tergiring atau terkadang sengaja menenggelamkan diri dalam
perbincangan tentang pilkada DKI dan pernik di dalamnya. Sering juga
ikut-ikutan bicara padahal tak tahu apa yang sebenarnya terjadi di sana. Namun,
jauh di dalam hati muncul kecemasan, bahwa apabila gontok-gontokkan yang dilatarbelakangi hasrat menang kalah ini
diterus-teruskan, maka akan sangat berbahaya bagi kelangsungan kehidupan
berbangsa. Sebab, pilkada DKI dalam perkembangannya menyentuh ke isu sensitif
SARA.
Nah,
karena masih dalam rangka ulang tahun Emha Ainun Nadjib --jamak disapa Cak Nun—
yang ke 64 tahun pada Sabtu 27 Mei kemarin, kiranya solusi yang ditawarkan Cak
Nun dalam menghadapi isu-isu terkait pilkada DKI dapat saya haturkan kepada
forum pembaca sekalian.
Sebagai
orang yang mendaku sebagai bocahe Cak
Nun (CN), saya merasa memiliki kewajiban moral untuk menghantarkan konsep
berpikir beliau yang saya jamin sungguh ciamik. Begini, CN memiliki konsep
berpikir yang dilambangkan dengan gelembung. Gelembung sebenarnya merupakan
simbolisasi wilayah berpikir yang lingkupnya terbagi dengan kelas-kelas.
CN
menjelaskan, gelembung berpikir dimulai dari kelas terendah yaitu gelembung
kalah menang antara kami dan mereka. Kemudian berlanjut dengan
gelembung kalah menang dalam diri kita masing-masing, gelembung kalah menang bersama
sebagai bangsa, lalu berkembang ke gelembung dunia dan alam semesta.
Saat
pilkada DKI tempo hari, kita terjebak dalam gelembung paling rendah, kalah
menang antara kami dan mereka. Yang ada dalam ceruk ini hanya
kengototan masing-masing pihak, dan jauh dari rasa kebersamaan sebagai warga
sebangsa. Dalam wilayah ini, kemenangan kami
segala-galanya dan kekalahan mereka
adalah suatu keharusan. Tak ada kedewasaan apalagi kebijaksanaan.
Pihak
kami merasa sebagai malaikat yang
berhak memvonis mereka sebagai iblis
terlaknat. Demikian juga sebaliknya, mereka
menunjuk dirinya sebagai sosok paling benar dan kami berada di pihak yang paling hina. Jadi, antara kami dan mereka sama saja terjebak dalam egoisme. Suatu keadaan menyedihkan
yang sulit diluruskan.
CN
menyarankan, agar semua pihak mengubah cara berpikir. Karena apabila masih
mempertahankan cara berpikir yang demikian, kita tidak akan pernah mereguk
kemenangan bersama-sama.
CN
meneruskan, apabila menggapai gelembung kalah menang bersama sebagai suatu
bangsa masih terlalu jauh, mbok ya
diusahakan agar kita berada di gelembung kalah menang dalam diri kita pribadi. Karena
sejatinya, mengalahkan hawa nafsu angkara murka di dalam diri adalah pekerjaan
tersulit nomor satu yang sesungguhnya, --dan bukan menurut On the Spot Trans7.
CN
mengaku, saat ini beliau berada pada gelembung kalah menang dalam diri sendiri.
CN tidak mau ikut dalam kontestasi apapun yang akan bermuara pada kalah menang
secara pribadi, karena sampai sepuh sekarang saja pertarungan di dalam diri
belum juga usai. Berarti para pendukung cagub DKI yang waktu itu memanfaatkan
potongan rekaman CN untuk menggiring pemilih sangat kurang teliti. CN merupakan
pandita yang menempuh jalan sunyi, sehingga tidak akan tergoda pada pertarungan
politik yang kotor dan menegasikan nilai-nilai luhur moralitas.
CN
menyarankan, agar kita tidak mencari siapa yang benar. Mari semua bergandengan
untuk mencari apa yang benar. Karena jika kita pusatkan seluruh energi demi
mencari siapa yang benar untuk kita anut, niscaya yang kemudian terjadi
hanyalah saling klaim. Sedangkan yang ada di dunia dan dikerjakan manusia cuma
tafsir yang kebenarannya relatif. Kebenaran hakiki mutlak hak milik Yang Maha
Benar.
***
Setelah
terkutub, sehabis bercerai, sekarang momentum bangsa Indonesia secara
bersama-sama meluruhkan ambisi pribadi dan golongan. Terlalu lama kita ribut
sendiri tak ada habis-habisnya. Energi bangsa terlalu banyak diarahkan pada
pertarungan yang tidak produktif dan tidak membawa apa-apa kecuali nuansa
perpecahan.
CN
sudah memberikan wisdom-nya,
tergantung kita akan memakainya atau tidak. Yang pasti dan harus ditafakuri, sekarang
ini bangsa lain sudah mengurus IMB di Mars, sedangkan kita masih eker-ekeran rebutan camilan yang belum
tentu bergizi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar