Secara
tema, tulisan ini akan membahas sesuatu yang terlihat sebagai sesuatu yang
remeh dan tidak esensial. Namun, mohon tuan dan puan pembaca berkenan untuk
sejenak menjernihkan sanubari. Apabila membicarakan persoalan makan, maka
sebenarnya kita membahas suatu hal paling inti, mendasar, dan primer dari
kehidupan kita sebagai manusia.
Makan
dalam hal ini akan langsung menukik pada bubur ayam, telur goreng, ayam tepung,
soto, dan bakso pangsit. Bahasan akan dihadapkan pada langgam pilihan atau madzab cara makan.
Bubur
ayam adalah tentang diaduk atau tidak. Telur goreng dalam memakan putih atau
kuningnya terlebih dahulu. Ayam tepung selalu tentang kapan kulitnya dimakan.
Soto, soal nasinya dipisah atau dicampur. Bakso pangsit memunculkan masalah
soal kapan momentum dikremusnya pangsit nan crunchy,
atau saat sudah kepleh-kepleh terkena
kuah.
***
Bubur
Ayam
Dalam
soal diaduk atau tidak, akan melibatkan sudut pandang estetis sekaligus
paradigma yang dianut dalam soal rasa. Saya penganut radikal paham bubur ayam
tidak diaduk. Secara tampilan, yang dapat secara terang benderang diterawang,
bubur ayam tidak diaduk akan mengijinkan kita untuk secara rinci menelisik ke
seluruh komposisi yang menyusun sang bubur.
Tidak
diaduk berarti ekuivalen dengan masih nyatanya suwiran ayam, cakwe, seledri,
kuah kuning kecoklatan yang mengkilat, bubur putih menggoda, kerupuk, dan
emping yang pasrah menunggu. Berkebalikan, diaduk akan membuat seluruh bahan
penyusun bubur menjadi luruh menyatu, hilang menyaru, lalu pada gilirannya akan
menampilkan pemandangan yang sungguh sangat hyekjis.
Bubur
ayam tidak diaduk sangat berhubungan dengan jiwa penikmat yang memiliki rasa
seni adiluhung. Ia tidak rela semua bahan hilang tak menampilkan orisinalitas. Pun
demikian, bubur tidak diaduk akan memunculkan gaya makan pelan-pelan dari
pinggir. Sang penikmat akan secara sabar mulai dari tepian, lalu perlahan ke
tengah secara telaten. Ia adalah sosok yang mementingkan penampilan dan
keaslian rasa dari setiap unsur bubur. Perlambang seorang pribadi yang bercita
rasa dan berperadaban tinggi.
Kontras
berbeda dengan penikmat bubur diaduk. Niscaya ia adalah sosok yang tidak peduli
penampilan, dan sangat mungkin ia adalah jamaah dari sebuah tarikat kuliner
yang taqlid kepada sesuatu yang bernuansa
hakikat. Walau bubur akan terlihat klintrek-klintrek
cenderung nggilani, ia akan tetap
secara tuma’ninah menikmatinya.
Secara personal, patut diduga ia menjunjung tinggi substansi daripada bungkus.
Ia lebih percaya kepada kesejatian daripada hanya sekadar kepada kulit ari yang
piawai penipu. Tetapi yang jelas, ia pasti sosok berpaham “mangan ra mangan sing penting mangan.”
Telur
Goreng
Telur
goreng dalam hal ini adalah yang diceplok utuh, bukan dibuat scrambled (orak-arik) atau omelette
(endhog dadar). Dengan diceplok atau
dimodel telur mata sapi, maka antara putih dan kuning telur akan berpisah
secara baik-baik. Putih dan kuning telur manis terlihat.
Walau
di-bai’at Ibu melalui teknis suapan
dengan tanpa mempedulikan putih atau kuningnya duluan, sejak bisa makan sendiri, saya selalu meletakkan kuning
telur sebagai bagian terakhir untuk dimakan. Secara normatif, itu bisa disebut
sebagai paham save the best for the last.
Tetapi, saya lebih memilih menyebut kuning telur sebagai bagian telur yang
patut untuk dibela, karena ia seringkali dinistakan sebagai bagian
berkolesterol tinggi. Sedangkan, putih telur selalu disebut-sebut lebih
bersahabat dan berguna bagi tubuh. Lihat saja Ade Rai setiap hari makan berapa
kilo putih telur demi agar terjaga otot-ototnya yang methekel.
Bagi
kaum cerdik pandai, tentu akan berpikir, dikemanakan si kuning telur kalau
sudah begitu. Daripada berpanjang-panjang berprasangka bahwa kuning telur
dimarginalkan lagi dicampakkan, maka saya bermurah hati untuk menikmatinya,
sekalipun di bagian terakhir.
Ayam
Tepung
Ayam
tepung sejenis KFC atau McD menjanjikan kenikmatan melalui tepung yang
melapisinya hingga ke lekuk tubuh ayam terdalam. Tepungnya digoreng mencapai taraf
renyah, sampai-sampai jika kita terburu nafsu dalam menggigit, maka akan
membuat repihannya pathing pencolot.
Tepung
secara mikroskopis akan berkolaborasi dengan kulit ayam yang sudah mengering.
Maka, antara tepung dan kulit sebenarnya sudah berfusi tak mau saling mengkhianati.
Jika kita mencoba mengambil tepung, maka dengan ikhlas kulit akan menyertai.
Ringkas
kisah, saya termasuk dalam arus utama penikmat kulit ayam bertepung di bagian
akhir. Selama menghabiskan daging dan nasi, maka di sepanjang momen makan,
kulit ayam akan saya amankan secara sangat posesif.
Soto
Indonesia
sungguh negara yang bhinneka. Tak
hanya bahasa, ras, dan agama, soto pun satu dari sekian banyak penunjang
keberagaman Indonesia. Mulai dari Soto Padang, Banjar, Bogor, Kudus, Lamongan,
Madura, Gunungkidul, sampai kepada perbedaan penyebutan, baik sauto, coto,
tauto, dan sroto.
Karena
saya lahir dan besar di Purwodadi Grobogan, maka sejak kecil saya akrab dengan
Soto Kudus. Format Soto Kudus yang saya nikmati, selalu dicampur antara nasi
dan sotonya. Tak pernah terpikirkan tipe lain.
Sampai
tiada terduga, saya dihadapkan pada kenyataan harus kuliah di Bogor dan
menjumpai Soto Mie Bogor. Pertama memesan, saya cuek saja sampai kemudian soto dihidangkan dengan memisah antara
soto dan nasi. Seketika itu saya mengalami gegar budaya, karena betul-betul baru
pertama kali mengetahuinya. Saya mencoba berkompromi dan berdamai dengan
keadaan, bahwa nyatanya selain asal dan penyebutan, rupanya soto juga mempunyai
perbedaan cara penyajian.
Akhirnya,
saya terbiasa dengan dipisahnya nasi dan soto, bahkan sampai tak pernah lagi
mempermasalahkan. Tetapi apabila harus memilih, maka saya cenderung kepada
pilihan nasi yang dicampur dengan soto. Bukan karena persoalan penampilan,
tetapi lebih kepada kebiasaan dan rasa. Menurut teori saya sendiri, soto yang
dicampur dengan nasi akan membuat lebih mrasa.
Bumbu-bumbu yang larut dalam kuah akan lebih dalam merasuknya ke nasi, sehingga
linier dengan rasa yang semakin enak. Karena konon, enaknya makanan disebabkan
oleh bersatunya seluruh komponen unsur bumbu, tanpa ada salah satu di antara
mereka yang dominan, sehingga yang lain merasa dikalahkan.
Bakso
pangsit
Tentang
bakso, khususnya yang berpangsit, saya pertama kali mengenal dari Bakso Malang.
Saat TK atau SD, setiap sore ada pedagang yang berkeliling dengan pikulan dan
saya hampir dipastikan membujuk untuk dibelikan. Tentang pangsit, di hati saya,
memiliki kedudukan yang sama agungnya dengan kerupuk, siomay, batagor, dan
berbagai makanan lain yang berbahan dasar tepung.
Kembali
ke bakso, karena pangsit memiliki tempat khusus di hati, maka otomatis ia akan
mendapat kehormatan sebagai bagian yang paling akhir dinikmati. Pangsit saya
konsumsi dalam kondisi kepleh-kepleh.
Pangsit adalah lakon yang munculnya belakangan, maka ia harus ditunggu dengan
takzim. Pangsit ibarat partai final dalam pertarungan antara mie kuning, soun,
seledri, tetelan, dan glindingan.
***
Perbedaan
cara makan atau penyajian memang suatu hal yang menyertai khazanah kuliner. Perdebatan
kerap kali menyertainya. Satu pihak merasa pilihannya yang terbaik, sementara
yang lain disebut berkualitas rendahan. Saling berebutan klaim akan terus
menjadi tema hangat bahkan sampai Israfil naik panggung. Klaim bahwa pilihannya
ialah yang paling baik dan paling benar boleh-boleh saja, asal tanpa
menegasikan kebaikan dan kebenaran pihak lain.
Aku jadi merasa lebih mengenal diri sendiri lewat postingan ini, Yan. Hehehehe.
BalasHapusSebagai makhluk pemamah biak, aku termasuk jamaah tarekat aliran makan bubur ayam tanpa diaduk, soalnya kalau diaduk jadi eneg duluan.
Aku juga tidak pernah mempersalahkan akan makan putih duluan atau kuning duluan saat menyantap tellur ceplok, karena prinsipnya aku makan dari bagian tepi ke tengan lalu menepi lagi.
Oiya, soal yang ayam tepung, aku sudah tahu kapan akan menghibahkan bagian kulitnya :D
Sama seperti saat makan bubur ayam, aku termasuk sekte yang makan soto dengan nasi terpisah. Kalau cara makannya begini, aku bisa habis nasi banyak. Hihihihihi