sumber gambar: rumahinspirasi.com |
“Pengamat politik bisanya cuma ngomong saja.
Coba dong kasih bukti nyata!” Tak jarang kita menemukan kalimat seperti itu
sebagai gugatan terhadap orang yang dianggap hanya bisa berbicara,
mengkomentari, dan mengkritik tanpa diikuti dengan pemberian solusi terhadap
permasalahan yang ia soroti.
Memang
sudah sewajarnya, kita menginginkan adanya kesatuan antara apa yang dikatakan
dan dilakukan. Kita menuntut agar omongan dilanjutkan dengan aksi nyata dan
tidak berhenti pada buih busa suara yang tak berarti apa-apa. Sah-sah saja ada
tuntutan seperti itu jika kita membahas pada tataran ideal, bahwa seharusnya
seseorang selain mengkritik dan mengkomentari juga harus memberikan solusi dan
aksi.
Namun
mungkin kita lupa, manusia yang berjumlah milyaran mempunyai jatah lakon dan maqom yang berbeda satu sama lain. Tuhan
sebagai Maha Sutradara sudah menyusun skenario sebaik mungkin, agar
keseimbangan hidup terjadi. Perbedaan peran mutlak ada agar naskah berjalan
sesuai rencana.
***
Secara
sangat sederhana, peran manusia di dunia ini dapat dibagi menjadi dua yaitu
kritikus dan praktisi. Praktisi adalah orang yang berperan sebagai pelaku. Di
kutub seberangnya, kritikus muncul sebagai wasit yang bertugas mengingatkan. Kritikus
muncul sebagai mekanisme kontrol terhadap praktisi. Apabila praktisi bebas
kontrol, maka beragam kekeliruan, penyalahgunaan, dan penyelewengan akan mudah
terjadi. Maka di antara keduanya sudah tercipta simbiosis yang tak terpisahkan.
Pembagian
peran antara kritikus dan praktisi adalah pembagian yang seimbang, tidak ada
yang tersubordinasi. Kritikus dan praktisi merupakan kelas peran yang setara.
Tak ada yang di atas dan di bawah.
Bila
kita contohkan, maka akan ada kritikus sastra dan sastrawan, komentator
olahraga dan olahragawan, analis politik dan politikus. Kritikus sastra,
komentator olahraga, dan analis politik berada dalam genus kritikus. Sastrawan,
olahragawan, dan politikus berada dalam lingkup praktisi.
***
Secara
konsep, kritikus dan praktisi berbeda, tetapi dalam dunia yang memiliki kompleksitas
tiada tara, kritikus dan praktisi terkadang tumpang tindih dalam realitasnya. Ada
satu orang yang terkadang jadi praktisi terkadang berposisi sebagai kritikus. Ada
pula, usai jadi kritikus kemudian seseorang menjadi praktisi atau sebaliknya.
Dahulu,
Indra J. Piliang adalah kritikus atau pengamat politik, namun dalam
perkembangannya terjun ke politik praktis dengan memasuki Partai Golkar. Pun
dengan Bima Arya Sugiarto, dahulu adalah pengamat yang kemudian memasuki Partai
Amanat Nasional dan berhasil memenangkan pilkada Kota Bogor.
Berkebalikan
dengan Danurwindo, Gary Lineker, dan Paul Scholes. Mereka bertiga sebelumnya
adalah praktisi sepakbola sebagai pelatih dan pemain. Namun sekarang menjadi
kritikus sepakbola.
Ada
contoh lain?
Bagaimana dengan kita sebagai penikmat, praktisi bukan, pengamat pun bukan? bagaimana cara menyikapi hal tersebut?
BalasHapusthanks