Moment di Path yang Kutulis 21 April 2015 |
Jika sudah berbicara tentang lagu, maka akan terdapat
beragam tema. Mulai cinta, kemanusiaan, ketuhanan, lingkungan dan sebagainya. Sesuka-sesukanya
penggubah. Akan disusun seperti apa notasinya, bagaimana liriknya, seindah apa
aransemennya, terserah dia.
Namun, saat lagu sudah dilempar ke pasaran, prerogatif sudah
ada pada pendengar. Mau didengar atau tidak, sekedar didengarkan atau dimaknai
secara mendalam, silakan saja. Tentang pemaknaan terhadap lagu, antar pendengar
satu dengan yang lain sangat bisa terjadi perbedaan. Meminjam istilah musisi: “Biarkan ruang penafsiran kita serahkan
kepada pendengar.”
Salah satu lagu yang sempat dijadikan bahan diskusi penggiat
sebuah forum internet adalah lagu milik Letto berjudul Sebelum Cahaya. Lagu
yang liriknya ditulis sang vokalis, Sabrang Mawa Damar Panuluh (Noe), menurut
saya merupakan lagu yang sulit dicari arah tema bahasannya. Disimpulkan bertema
cinta antara lelaki perempuan, namun sepertinya lebih mendalam dari itu. Dikira
tentang ungkapan cinta kepada Tuhan tapi belum yakin juga.
Oleh netizen, lagu
Sebelum Cahaya ditafsirkan membicarakan tema yang beraneka macam. Tetapi banyak
yang menyimpulkan, lagu itu sedang berbicara tentang kisah hamba yang mendekatkan
diri kepada Tuhannya melalui doa di sepertiga malam terakhir atau tahajud.
Mungkin penyimpulan itu berdasar dari judul lagu,
karena Tahajud memiliki waktu pelaksanaan saat mayoritas umat sedang terlelap.
Maka jelas waktu dimana Shubuh belum menyingsing, apalagi cahaya matahari.
***
Penafsiran saya pribadi tentang lagu Sebelum Cahaya terkait
dengan ikatan biologis sang penyusun lirik lagu dengan budayawan tersohor yang
sangat saya kagumi, Emha Ainun Nadjib (Cak Nun). Ya, Noe adalah putra kandung
Cak Nun. Penafsiran saya dasarkan atas kausalitas hubungan mereka sebagai
ayah-putra dan perjuangan yang berpuluh tahun dilakukan Cak Nun.
Cak Nun sejak awal dekade 70-an sudah terjun langsung ke
masyarakat untuk berjuang menyelesaikan berbagai permasalahan. Perjuangan diawali
dari Jalan Malioboro tempat beliau menggelandang dan berkesenian. Cak Nun mulai
terjun langsung ke masyarakat akar rumput di Kampung Jogoyudan, tepi Kali Code
Yogyakarta.
Beliau berjuang dari panggung ke panggung sebagai sastrawan,
menulis puluhan buku dan artikel di media massa. Cak Nun adalah inisiator pementasan fenomenal di tahun 1988
berjudul “Lautan Jilbab” bersama Jamaah Sholahuddin UGM yang dihadiri ribuan
massa di beberapa kota. Bahkan saat di Madiun, penonton mencapai angka 30.000 orang.
Pementasan tersebut ialah tonggak “kemudahan” muslimah Indonesia untuk
mengenakan jilbab, dimana sebelumnya terdapat larangan terhadap muslimah untuk
berjilbab, mulai dari sekolah, kampus sampai tempat kerja. Cak Nun juga
menemani para korban pelarangan berjilbab dalam melakukan advokasi di banyak
tempat. Lihat bagaimana sekarang, dimana-mana terlihat wanita berjilbab. Lautan
jilbab benar-benar terwujud.
Cak Nun bersama Romo Sindhu dan Toto Raharjo adalah aktivis
yang mendampingi korban proyek raksasa Kedung Ombo. Pada 1998 Cak Nun bersama
Cak Nurcholish Madjid dan beberapa tokoh nasional lain membujuk Pak Harto untuk
turun dari kursi presiden, yang di kemudian hari perjuangan tersebut tidak diketahui
banyak orang.
Cak Nun bersama Kelompok Gamelan Kiai Kanjeng terjun langsung
mendamaikan konflik besar Kalimantan antara etnis Dayak dan Madura. Beliau juga
berkunjung beberapa kali ke pedalaman Lampung untuk memediasi konflik petani
tambak udang dengan perusahaan besar yang menaunginya. Cak Nun sering diundang ke beberapa negara untuk
menjumpai komunitas warga Indonesia di sana. Baru berapa hari lalu, Cak Nun
usai bertandang ke Amerika Serikat untuk memenuhi undangan perantau asal tanah
air.
Cak Nun sampai sekarang juga terus memenuhi undangan dari
segenap komponen bangsa mulai dari KPK sampai remaja masjid untuk memberikan
input dan silaturahmi. Sampai hari ini, menurut hitungan kasar, pementasan Cak
Nun dan Kiai Kanjeng di berbagai forum sudah menyentuh angka 3000-an kali.
Cak Nun pun memiliki forum Maiyah yang rutin berjalan setiap
bulan di berbagai tempat. Sebut saja Mocopat Syafaat di Yogya, Gambang Syafaat
di Semarang, Padhang Mbulan di Jombang dan Bang Bang Wetan di Surabaya. Selain
itu masih ada Juguran Syafaat di Banyumas, Kenduri Cinta di Jakarta dan banyak
lagi rintisan forum di kota-kota lain yang perlahan tumbuh satu per satu.
Masih banyak kegiatan Cak Nun yang tidak cukup dituangkan
dalam tulisan ini. Namun, satu hal yang perlu diketahui, Cak Nun dalam
melakukan segala kegiatan lebih memilih sembunyi, jauh dari publikasi. Pasca
reformasi 1998 --yang menurut Cak Nun sudah jauh melenceng dari niat seharusnya--,
beliau menjauhkan diri dari segala hingar bingar publikasi media massa mainstream. Beliau juga tidak satu pun
memiliki account media sosial. Jika
di banyak tempat terlihat banyak penampilan beliau, itu karena pengagum dan
orang di sekeliling beliaulah yang ingin menampilkan kepada khalayak luas.
Jika dahulu di jaman Orde Baru Cak Nun sering sekali
terlihat di televisi dan surat kabar, di era reformasi sampai sekarang, Cak Nun
hanya dapat kita jumpai di forum-forum tertentu. Cak Nun menolak tampil di
televisi nasional. Tulisan beliau yang dulu hampir setiap minggu dengan mudah
kita akses, sekarang sungguh sangat jarang muncul.
Penampilan Cak Nun di televisi praktis hanya dapat kita
saksikan di stasiun TV lokal seperti ADiTV Yogya dan TV lokal di Jawa Timur.
Berbahagialah saya yang tinggal di Yogya, tiap Kamis malam selalu bisa
menyaksikan rekaman acara Cak Nun.
Tentang rekaman acara Cak Nun yang rutin ditayangkan di
televisi lokal, itu bukanlah hasil suatu transaksi ekonomi dari pengisi acara
kepada perusahaan televisi. Tampilnya Cak Nun di televisi murni karena
kesediaan tanpa kesepakatan jual beli. Cak Nun dan Kiai Kanjeng tidak sepeser
pun menerima bayaran dari televisi atau pun sponsor. Murni sedekah. Padahal
ditayangkan di slot waktu prime time.
Dari uraian di atas, frasa yang paling pas untuk melukiskan
cara tempuh Cak Nun adalah jalan sunyi. “Segala
hal duniawi sudah kutalak tiga” demikian kata beliau. Berangkat dari
bagaimana Cak Nun berjuang itulah lahir penafsiran saya tentang maksud lirik
lagu Sebelum Cahaya.
Perjalanan sunyi..
Yang kau tempuh sendiri..
Kuatkanlah hati cinta..
Noe seperti sedang membesarkan hati ayahnya, yang tentu ada
waktu dimana naik turunnya gairah juang. Noe ingin menguatkan ayahnya. Noe
ingin ayahnya baik-baik saja.
Ingatkah engkau kepada..
Angin yang berhembus
mesra..
Yang ‘kan membelaimu
cinta..
Noe ingin menggembirakan ayahnya, bahwa perjuangan akan
menghasilkan suatu saat nanti. Ada yang harus dibayar lewat upaya usaha, namun
di belakang hari ada keindahan menanti. Akan ada kesejukan angin yang meniup
lelah peluh. Ada Tuhan yang Maha Menghitung.
Begitulah penafsiran saya terhadap Sebelum Cahaya yang tentu
tidak terkonfirmasi kebenarannya..
***
Semua pertanyaan dan penafsiran saya sejak lama tentang lagu
itu akhirnya mendapat jawaban resmi. Cak Nun pada awal September lalu saat
mengisi acara bersama Gus Mustofa Bisri di Bantul menyinggung tentang latar
belakang Noe menulis Sebelum Cahaya. Cak Nun membuka tabir yang sungguh membuat
saya terkejut dan tak terpikirkan.
Menurut Cak Nun, lagu Sebelum Cahaya, Noe angankan sebagai
penghiburan Allah kepada Nabi Muhammad SAW. Isi lirik Sebelum Cahaya, Noe
khayalkan sebagai upaya Tuhan untuk menghibur kekasihNya yang berjuang demikian
berat dan penuh aral.
Sebuah niat pembuatan lagu yang bahkan terlintas di benak
saja tidak pernah, bukan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar