(sumber gambar: Voa Indonesia) |
Seminggu kemarin, saya bersama kawan-kawan mendapat
kesempatan untuk berkunjung ke Jakarta. Tak seperti kunjungan-kunjungan
sebelumnya, kami berkesempatan untuk lebih merasakan dan mengamati Jakarta
secara langsung. Kami menyentuhnya tanpa perantara.
Bahasan tentang Jakarta tentu sudah ribuan tumpuk banyaknya.
Sehingga apapun tentangnya, pastilah jauh dari kabar yang benar-benar
mengandung kebaruan. Maka, tulisan ini tak lebih dari sekadar deskripsi pandangan
mata penulis.
***
Jakarta minggu lalu terbuat dari keleluasaan kami untuk
bersentuhan dengan banyak orang. Beberapa kali kami makan dari penjual kaki
lima yang terserak di dan dari segenap penjuru. Dari sekian kali bersantap, tak
sekali pun kami temukan penjual yang asli penduduk Jakarta. Mereka perantau
tangguh dari daerah yang jauh.
Ayam goreng nasi uduk dijual oleh seorang berbadan makmur asli
Cirebon, tapi tercatat sebagai anggota perkumpulan pedagang Solo. Mie ayam
disajikan oleh ibu dari Wonogiri, yang berangkat tiap pagi buta untuk berjualan.
Nasi goreng dibuat bapak dengan gaya rambut belah tengah dari Pekalongan. Sop
Buah dengan irisan buah tanpa hitungan, diracik oleh ibu beranjak sepuh dari
Pemalang. Sopir taksi yang mengantar dari bandara ialah Pak Sudarijadi yang
bertutur kata lembut asal Surabaya. Pecel untuk sarapan dijajakan oleh bapak
dengan kumis yang entah lupa dirapikan atau sengaja untuk nggaya, dari nDanyang Purwodadi.
Sebagai seorang perantau juga, bertemu dengan seperjuangan
sedaerah rasanya aduh, ada sensasi berbeda. Kalau tak ingat bakal jadi
perhatian semua orang di tempat makan, sebenarnya Pak Slamet penjual pecel
ingin kuajak selfie. Rupanya belum
sampai hati ini. Bukan apa-apa, saya ngeri tergesek kumisnya.
Di mana pun pedagang makanan, terutama yang berkeliling,
pasti tak akan terlewat oleh pertanyaanku tentang dari mana asalnya. Apalagi
ketika tahu Jakarta yang penuh dengan perantau, maka siap-siap saja, mereka
dengan nrithik akan kutanyai. Tak
tahu, begitulah kebiasaanku. Selalu saja ingin tahu tentang mereka yang rela
jauh dari keluarga dan tempat kelahiran untuk menjemput peruntungan nasib.
***
Jakarta minggu lalu tampil dengan semakin hijaunya jalanan.
Bukan. Bukan karena Ahok telah berhasil menghadirkan semakin banyak kawasan
hutan kota. Warna hijau yang mendominasi jangkauan penglihatan berasal dari
kostum kerja pengemudi layanan ojek aplikasi ponsel cerdas, Go-Jek dan
GrabBike.
Di tiap perhentian traffic
light, di tepi-tepi jalanan, di sela-sela kepadatan kendaraan, helm dan
jaket hijau selalu eksis. Mereka telah menjadi fenomena ibu kota. Tentu telah
sampai ke telinga kita, kehadiran ojek berkonsep baru itu menimbulkan beragam
polemik. Konflik dengan ojek pangkalan pun tak terelakkan. Perebutan lahan rezeki
adalah problem klasik dan lintas zaman.
Yang mengherankan, saya terjebak ambivalensi dalam memandang
masalah Go-Jek dan GrabBike ini. Ketika dihadapkan pada bahasan Alfamart dan
Indomaret, tanpa berpikir saya berpendapat tak seharusnya dua toko kelontong
modern itu dengan mudah berdiri tanpa kajian mendalam. Mereka saingan tak imbang
bagi para pedagang bermodal kecil. Maka, wajib hukumnya pemerintah melakukan
proteksi.
Namun, ketika Go-Jek dan GrabBike muncul dan membuat ojek
konvensional murka, saya dengan spontan menulis tweet berseri, yang berinti
“itulah persaingan, siapa yang tidak adaptif, siap-siap tergusur.” Ketika
kemudian itu saya renungkan, ternyata saya bersikap mendua. Sikap tentang
Alfamart dan Indomaret begini, Go-Jek dan GrabBike begitu.
***
Jakarta dengan beragam cerita selalu ada untuk diutarakan. Segenap
permasalahan menunggu untuk diurai. Terlepas dari itu, Jakarta masih saja
menjadi magnet. Triliunan uang berputar dan di bawahnya jutaan orang
menunggu tetesan.
Salut kepada para pejuang di Jakarta. Dengan keadaan yang demikian,
mereka tetap bertahan. Kemacetan yang membuatku singunen, sanggup dihadapi setiap hari. Sampai jumpa dengan kisah
lainnya, Jakarta..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar