(sumber gambar: wikipedia)
Saat dituangkannya tulisan ini di program Microsoft Word,
puasa Ramadan 1436 Hijriah sudah memasuki tahap sepuluh
hari kedua. Di ibadah yang dilaksanakan berdasar Firman Allah SWT di Al Baqarah
ayat 183 tersebut, kita mendapat beragam keistimewaan yang tidak didapatkan di
bulan lainnya. Pahala dan ampunan diobral. Upah ibadah lebih besar dan banyak dibanding
bulan lainnya.
Bulan Ramadan memang bukan bulan biasa. Makan, minum dan
kegiatan terkandung
nafsu manusiawi lainnya diharamkan di siang
hari. Tak bisa dibantah, untuk menahan segala
kenikmatan duniawi bukanlah suatu hal yang mudah. Segala hal yang rutin bisa
kita rasakan, di bulan ini harus kita tunda sampai matahari tiba di peraduan.
Ibadah puasa adalah sebenar-benar ibadah yang hanya
berurusan dengan Allah. Berbeda dengan ibadah lain yang masih terdapat
kemungkinan untuk mendapat persaksian manusia. Sholat berjamaah, tetangga kita
tahu. Syukuran, satu RW menghadiri. Ibadah
haji, satu kelurahan hadir ke pengajian sebelum dan setelah
dari Mekah. Dengan seperti itu, selalu ada potensi untuk muncul ujub dan riya’. Berbeda dengan puasa. Puasa atau tidaknya kita, hanya Allah
dan diri sendiri yang tahu. Puasa merupakan ibadah yang langsung diukur dan
disaksikanNya.
Sungguh, aslinya kita terpaksa untuk menerima perintah untuk
berpuasa. Bagaimana tidak, fitrah manusia adalah
makhluk yang mudah menyerah pada keindahan nikmat dunia. Ibadah puasa
menegasikan semua kesempatan untuk tunduk pada nafsu yang sudah built-in dengan jiwa manusia. Tentu
bukan perkara sepele untuk melawan default
semenjak lahir.
Dengan keterpaksaan dan keikhlasan yang sedang diperjuangkan,
namun kita takzim patuh melaksanakan perintahNya, maka di situlah letak
keutamaan ibadah. Allah tahu kita terpaksa dan mengaku sulit menjalankan, namun karena ketaatan dan
rasa cinta padaNya kita tetap menunaikan, maka di sanalah Allah akan “terenyuh” dan
memberikan segala keberkahan. Karena, hakikat ibadah adalah segala yang
diperintahkanNya. Sampai muncul perintah
dan diwajibkan, maka sebenarnya Allah mafhum
hal itu tidak enteng untuk dilaksanakan. Jika mudah, enak, nikmat dan murah
mengapa harus diperintah, karena dengan
sendirinya kita akan melakukan penuh gairah.
***
Di Bulan Ramadan, kita sering mendengar kalimat larangan
untuk berbohong dan segala hal buruk
lainnya. “Jangan bohong lho, puasa ‘kan?”,
“Jangan ngomongin orang. Ga dapet pahala nanti!”
dan beragam kalimat saran/larangan lainnya. Puasa identik dengan menahan
tindakan negatif yang di bulan lain biasa kita lakukan.
Memang benar, berbohong, menggunjing dan marah akan
mengurangi nilai puasa kita. Memang betul itu semua sedapat mungkin kita
perjuangkan untuk tidak terjadi selama Ramadan. Pertanyaannya, jika memang terlarang
di Ramadan, apa berarti halal di luar Ramadan?
Kecenderungan fakta saat ini,
kemaksiatan sangat bebas terjadi di luar bulan puasa. Di bulan puasa, semua orang
berlomba-lomba untuk menjadi insan terbaik. Tidak salah bulan puasa dipredikati bulan penuh ampunan dan
pahala, maka dengan dasar itu, kita men-setting
diri kita menjadi sholeh sholehah. Tetapi alangkah
baiknya jika bulan puasa tidak hanya kita posisikan sebagai bulan penebusan
dosa dan perbanyakan amal baik. Rasanya sangat elok
apabila Ramadan juga kita pandang sebagai momentum perbaikan diri tanpa henti.
Dengan menjadikan Ramadan sebagai momentum, maka ia akan
menjadi tonggak perbaikan diri secara kontinyu yang otomatis akan terikuti di bulan lainnya. Semua
kebaikan sebisa mungkin tidak hanya mandheg
di akhir Ramadan. Usainya Ramadan bukan
berarti penghalalan untuk kembali ke karakter asal seperti sebelum Ramadan
tiba. Kebaikan yang terukir saat Ramadan seyogyanya
diteruskan di seluruh alur waktu kehidupan kita
berikutnya.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar