(sumber gambar: fanhuawei.com) |
Minggu-minggu
ini, berita tentang AC Milan berseliweran di media cetak dan portal online. Sebagai Milanisti sejak kelas 5
SD, tentu saya sensitif dan terpanggil untuk menelisiknya. Usut punya usut,
terpampangnya nama Il Diavolo Rosso
di judul dan badan berita disebabkan sosok bernama Carlos Bacca.
Para
peminat dan penikmat sepakbola internasional, niscaya tidak asing dengan nama
di atas. Saya pribadi, sekilas pernah mendengar nama itu. Tapi belum
mengkhususkan untuk mencari informasi lebih lanjut tentang dirinya.
Nama
Bacca melambung saat membawa Sevilla menjadi juara Liga Europa dua kali
berturut-turut. Tempo hari, ia dinobatkan sebagai Man of The Match dalam laga final melawan klub asal Ukraina, Dnipro
Dnipropetrovsk. Sangat beralasan ia dinobatkan sebagai pemain terbaik dalam
partai yang berakhir dengan skor 3-2 itu. Bacca mencetak dua gol dan satu assist.
Dengan
kiprah mentereng bersama Sevilla, AC Milan tertarik untuk merekrutnya. Dikabarkan,
Bacca telah resmi mendarat di klub milik mantan perdana menteri Italia, Silvio
Berlusconi. Bacca dihargai 30 juta Euro dan akan menggunakan nomor punggung 70.
Bacca
akan diproyeksikan sebagai mesin gedor AC Milan yang musim lalu terseok-seok di
Serie A. Ia akan disandingkan dengan pemain anyar Milan yang baru didatangkan
dari Shaktar Donetsk, Luiz Adriano. Dua bomber
berbahaya yang semoga membawa perubahan bagi tim kesayangan.
***
Berbicara
mengenai pemain yang direkrut AC Milan, sempat menjadi Man Of The Match dan pernah menjuarai trofi, akan dengan mudah
ditemukan. Tetapi Bacca adalah anomali. Bacca menjadi pengecualian.
Saya
terperangah membaca profil dirinya. Terutama saat mencapai baris yang membahas
di usia berapa ia mengawali karier sebagai pemain sepakbola. Tak seperti pemain
bola profesional lain yang dapat dipastikan minimal sejak usia belasan, bahkan
balita sudah masuk di akademi sepakbola. Bacca hanya pesepakbola jalanan dan baru
mengikuti audisi pemain di klub lokal Kolombia pada usia 20 tahun!
Usia
20 tahun memang usia yang masih sangat muda sebagai manusia. Tetapi, kategori
usia sepuh sebagai pintu awal memasuki dunia sepakbola. Bandingkan misalnya
dengan Messi dan Cristiano Ronaldo. Di usia itu, seluruh dunia sudah mengelukan
namanya.
Bacca,
sampai usia 20 tahun, masih pemuda kampung, dekil lagi miskin. Ia berasal dari
kalangan keluarga tak berpunya. Untuk menyambung hidup, ia bekerja sebagai
nelayan dan kernet bus. Sungguh sebuah bidang usaha yang jika tak dihubung-hubungkan
misalnya sebagai sumber protein dan angkutan pemain sepakbola, maka sama sekali
bukan lingkup yang berkaitan dengan olahraga paling tenar sedunia.
Entah
memungut ilham darimana, Bacca berinisiatif untuk mengikuti seleksi di klub
liga setempat, Atletico Junior. Rupanya klub itu ditunjuk Tuhan sebagai jalaran
awal kariernya. Singkat cerita, ia lolos dan diterima menjadi pemain. Rupanya,
nasib masih menggoda. Tuntas terpilih menjadi pemain di Atletico Junior, tidak
serta merta ia masuk menjadi pemain inti. Ia dipinjamkan ke tim divisi dua
Kolombia, Baranquilla dan Minerven, selama hampir tiga musim.
Setelah
berpetualang ke tim divisi bawah, Bacca dipanggil kembali ke Junior untuk
menjadi punggawa dalam kompetisi teratas Kolombia. Pemanggilan berdasar kiprah
Bacca yang mencetak 38 gol dari 65 penampilan. Musim pertama di Junior,
kegemilangan berpihak padanya. Ia menjadi top
scorer di Piala Kolombia. Selama tiga musim di Junior, ia dua kali menjadi
pencetak gol teratas sekaligus mengantar Junior menjadi juara liga.
Rejeki
tak kemana. Radar klub-klub Eropa mampu menangkap sinyal performa apik Bacca.
Diawali Lokomotif Moscow terus memepet untuk membelinya. Tetapi, Bacca lebih
berjodoh dengan klub besar Belgia, Club Brugge.
Pada
musim kedua di Belgia, ia menjadi pemain terbaik dan top scorer liga utama Belgia. Bacca tak cukup puas dengan prestasi
itu. Bagaimanapun Belgia bukan kiblat sepakbola Eropa dan dunia. Ia lalu
menjatuhkan pilihan pada Sevilla di Spanyol, negeri dengan salah satu liga
terbaik dunia.
Di
Sevilla, ia mengukir prestasi prestisius. Klub besar Eropa berebut. Liverpool
dan AC Milan serius bersaing untuk mendapatkan tanda tangannya. Akhirnya, walau
harus memendam rasa karena musim depan tak berkiprah di Liga Champions, Bacca
bermuara di Rossoneri.
***
Dari
coretan di atas, rasanya tentu dapat ditarik garis nilai luhur yang patut
diperhatikan. Bacca pantas dijadikan role
model sekaligus sumber decak kagum. Ia contoh teladan yang tuntas untuk
ditiru. Ia pemeran terbaik dari sinetron berjudul kehidupan. Bacca menjadi
lakon kemenangan dari berbagai kemungkinan yang ditawarkan Tuhan.
Bacca
ditunjuk menjadi sumber inspirasi dunia. Bacca bukti nyata bahwa entitas
bernama kehidupan selalu penuh dengan cerita nyaris musykil namun ada. Di awal
usia kepala dua, ia bukan siapa-siapa. Gadis dusun di Puerto Colombia, bahkan enggan
hanya sekadar untuk meliriknya. Penumpang bus yang dikernetinya pasti terpuruk dalam
penyesalan mendalam, mengapa dulu tak berkarib dengannya. Kompatriot seperahu setempat
pelelangan ikan tak mengira begini naskah takdirnya.
Sekarang,
belum sampai satu dasawarsa dari awal kariernya, seluruh dunia menyebut
namanya. Ribuan artikel terketik demi tampilkan ceritanya. Bertumpuk uang
ditukar untuk mendapatkan jasanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar