sumber gambar: kaskus.co.id |
Belum lama ini, saya menghadiri forum yang diisi oleh
pembicara yang -jika ditilik
dari latar belakang studinya- dapat dikatakan sangat berkompeten. Beliau seorang pria paruh baya
lulusan program magister sebuah universitas di Amerika Serikat. Dengan profil seperti
itu, sudah sewajarnya tidak ada keraguan yang muncul atas kapasitas kemampuan
beliau dalam mengisi acara sore itu.
Beliau seorang pembicara yang
memiliki jam terbang tinggi. Sudah sejak awal dekade 90-an sering membagikan
ilmunya di berbagai tempat. Setidaknya itulah impresi yang saya dapatkan dari
bapak pembicara, sebut saja Pak Falcao. Sebuah
kesan awal nan positif dan meyakinkan.
Setelah introduksi, Pak Falcao membuka pembicaraan dengan
membahas hal-hal umum sebagai ice
breaking. Semua berjalan baik dan lancar-lancar saja. Sampai pada terkuaknya
rahasia bahwa apa yang akan disampaikan Pak Falcao merupakan pokok bahasan yang
sama sekali baru bagi beliau. Mulai dari sanalah cerita berawal..
***
Pak Falcao setelah itu terlihat tak nyaman. Beliau seperti
mengalami kegelisahan dan tampak ekspresi kegamangan. Tidak pede, itulah pesan non-verbal yang
tertangkap dari gestur Pak Falcao. Kemudian beliau berkata, penguasaan tentang pokok
bahasan itu belumlah matang. Yang terjadi berikutnya, beliau gamblang mengakui sempat
mengalami stress sebelum tampil di
depan kami.
Pak Falcao lalu mengambil langkah yang apabila kita tinjau
dari segi etika norma Jawa (lokasi peristiwa di Yogya) sangat bisa diterima. Dengan
rendah hati dan ksatria beliau berterus terang memohon pemakluman kepada kami,
bahwa beliau memang belum cukup cakap memberikan konten materi. Namun, jika memohon
pemakluman kita pandang dari sudut lain, yaitu profesionalisme komunikator,
maka apa yang dilakukan Pak Falcao sebenarnya suatu hal yang sebaiknya
dihindari.
Memohon pemakluman seperti yang Pak Falcao praktikkan sangat disarankan untuk tidak
pernah dilakukan saat kita menjadi pembicara. Karena itu sama saja sedang
menelanjangi kekurangan dan kelemahan kita sendiri. Padahal, pendengar datang untuk
mendengar dan menyaksikan kita berbicara, yang berarti pendengar melakukan
upaya tertentu untuk mencapai tempat dimana kita berbicara dan pembicara telah dipersepsikan sebagai
sosok yang capable untuk diserap ilmu dan pengalamannya. Maka,
yang harus kita lakukan sebagai pembicara adalah memantaskan diri semaksimal
mungkin demi memenuhi harapan pendengar. Jika tidak, maka yang pertama terjadi
ialah pembicara akan kehilangan perhatian dari pendengar. Pendengar pun akan dengan senang
hati membuat forum di dalam forum, entah arisan atau
menghelat sesi curhat terselubung.
***
Bagaimanapun, pendengar sebaiknya diperlakukan sebagai
konsumen yang harus dipenuhi keinginannya. Maka pembicara seharusnya sedapat
mungkin memposisikan diri sebagai penjual yang baik. Kebanyakan pendengar tidak
akan mau tahu tentang kondisi pembicara, apakah dia siap atau tidak, sehat atau
tidak, sedang bermasalah atau tidak, kangen atau tidak, cintanya tersampaikan
atau dipendam. Di benak pendengar pastilah terdapat tuntutan untuk dipuaskan
oleh pembicara. Karena sekali lagi, pendengar telah melakukan upaya tertentu
demi mendengarkan apa yang disampaikan oleh pembicara.
Pendengar hanya peduli tentang ia akan mendapatkan pelayanan
yang prima dari pembicara. Maka pendengar akan tak acuh dengan segala kondisi
yang sedang terjadi pada pembicara. Pembicara sebaiknya tahu betul akan hal
ini, karena jika tidak, pendengar akan meragukan kualitasnya. Yang di kemudian hari
tentu akan membawa konsekuensi pada menurunnya tingkat kepercayaan pendengar. Efek lain yang tak dapat dipungkiri bisa muncul yakni menurunnya
kredibilitas pembicara. Pendengar yang pernah menjadi “korban” pembicara itu
tidak segan-segan bercerita kepada sanak keluarga dan handai taulan, dan
tinggal tunggu saja The Power of Gethok Tular
(word of mouth).
Informasi yang menarik. Salam hangat dari Pembicara Wanita
BalasHapusInformasi yang sangat bermanfaat. Salam kenal dari Pembicara Wanita
BalasHapus