sumber gambar: popsugar.com |
Pada suatu siang, masuk sebuah pesan pendek ke ponsel
kesayangan. Saat itu, saya sedang di luar kantor untuk suatu keperluan. Pesan
itu mengabarkan, beberapa teman kantor usai menjenguk putri salah seorang
sejawat yang juga bertugas di ruangan yang sama dengan kami. Saya penasaran,
sakit apakah ia sampai dirawat di rumah sakit provinsi.
Setelah bertanya
ke teman yang mengirim pesan, saya pun mendapat jawaban “Itu Mas, dirawat gara-gara darah putihnya kenapa gitu.” Walau belum
mendapatkan kepastian, dari kata kunci “darah putih” saya menduga bahwa telah
terjadi suatu penyakit yang serius padanya. Hipotesis awal saya mengacu ke
penyakit berbahaya bernama Leukimia atau kanker darah. Tapi saya berharap
keawaman saya salah.
Beberapa waktu kemudian setelah di kantor, segera saya bertanya
untuk mendapat kejelasan. Pendek kata, apa yang saya takutkan terjadi, putri teman
kami benar menderita Leukimia stadium awal. Betapa sedih dan ngganjel-nya hati pikiran teman kami..
Beberapa hari kemudian, sang ayah sudah kembali bertugas
setelah disibukkan dengan masalah kesehatan putrinya dan mengurus administrasi
ini itu di rumah sakit demi mendapat pelayanan terbaik. Saya melihat beliau
tidak seperti biasanya. Terlihat jelas kerutan di dahinya yang menyiratkan beratnya
ujian yang sedang menimpa. Tak lagi ada keceriaan dan canda seperti biasanya. Senyum
tersungging, namun dalam
keterpaksaan untuk keperluan keramahan dalam pergaulan.
Sebagai manusia normal berperasaan, wajar jika kemudian saya
berempati dengan membayangkan jika seolah ujian itu menimpa saya. Alangkah
beratnya. Masuk angin saja sudah sangat mengganggu kenyamanan badan dan membuat
aktivitas terbengkalai. Bagaimana dengan kanker yang walau selalu ada
kemungkinan sembuh, tapi identik dengan penyakit sangat berbahaya dengan
persentase kesembuhan yang entah.
Kalau masih batuk, pilek, nggregesi atau canthengan
dengan optimis sore nanti setelah tidur siang akan segera sembuh. Lha ini kanker yang membutuhkan usaha
tak ringan untuk merasakan sehat seperti sedia kala. Putri teman kami sudah
diprogramkan untuk mengikuti kemoterapi sebanyak seratus kali lebih. Kemoterapi
dilakukan sekali seminggu. Jika dalam satu tahun 52 minggu, maka seratus kali
lebih kemoterapi akan berjalan selama dua tahun. Belum lagi berbagai terapi
lain dan rawat inap yang termasuk dalam program penyembuhan berkepanjangan itu.
Tak terbayangkan betapa repot dan melelahkan..
Terpikirkan juga bagaimana kejiwaan anak usia sepuluh tahun
yang harus menderita sakit berat seperti itu. Di usia yang seharusnya sedang riang-riangnya bermain, ia harus
menghabiskan waktu wira-wiri ke rumah
sakit. Harus berpaket-paket obat ia masukkan ke mulut mungilnya. Masih harus
merasakan ketidaknyamanan tubuh yang tidak prima.
Menurut penuturan sang ayah, putrinya berangsur bisa menerima apa yang sedang
terjadi padanya. Awal tahu ia menderita Leukimia, ia langsung berujar “sakitku kayak yang ada di sinetron itu ya,
Pak”. Jika sedang dalam mood yang
tidak baik, ia sering merajuk dan rewel. Tapi secara keseluruhan ia baik-baik
saja, tentu baik-baik saja dalam keadaan bukan seperti anak pada umumnya. Ia tenang
dan dapat mengerti, tapi tidak setrengginas biasanya. Tubuhnya mudah lelah dan
lemas.
***
Apa yang sedang menimpa teman kami memang ujian yang
menuntut fighting spirit dan
kesabaran yang tidak sembarangan. Meski muncul lelah dan pesimis, hidup harus
diteruskan. Lambat laun, setelah berjalan satu dua bulan ini, kawan kami kembali
seperti semula. Mulai hadir tawa yang tergelak dan senyum yang lepas seperti
sebelumnya.
Saat ujian datang pertama kali siapa pun orangnya akan
terkejut dan tak rela. Lalu muncul gugatan kepada Tuhan, mengapa harus ia yang
diberikan ujian. Lalu muncul pertanyaan apa salah dan dosanya, sampai Tuhan
tega menghukum. Memang sudah sifat dan kodrat manusia yang tidak pernah siap
menerima ujian. Sampai tiba masanya ia “dipaksa” untuk merasakan.
Tapi di dalam itu semua, jangan pernah lupa bahwa Tuhan
adalah sebaik-baik penakar dan pengukur. Ia tidak akan keliru dan dzolim dalam memberikan ujian ke
umatNya. Tuhan tidak akan memberikan
ujian melebihi batas kemampuan hambaNya, kalimat yang tidak akan pernah usang
dan terhapus nilai kebaruannya. Kalimat yang selalu kontekstual dengan kondisi
kapanpun, sepedih apapun. Walau berat, tetaplah berprasangka baik kepadaNya.
Yakinlah Ia sedang membelai dengan kasih sayang dan mengurangi dosa-dosa kita.
Semoga yang sedang sakit disembuhkan. Yang sedang diuji
diberikan kesabaran. Yang doa-doanya masih tertahan segera dikabulkan. Ada aamiin?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar