(sumber gambar: stevewhitlock.com) |
Seingatku, beberapa tulisan terakhirku selalu menyentuh tema
hard news yang kaku dan serius. Tema
seperti itu lebih berkemungkinan membuat pembaca jenuh dan mengernyitkan dahi,
karena di media massa mainstream sudah
banyak termuat. Si penulis rupanya juga ingin melompat ke tema personal yang lebih cair. Ya, kali ini aku
akan menceritakan diriku sendiri. Boleh lah ya..
Jadi gini, awal
Bulan November 2014 ini, aku sejenak menepikan diri dari hiruk-pikuk kesibukan
sehari-hari di Yogyakarta. Aku mengambil cuti tahunan selama lima hari. Lima
hari yang tertulis, tapi karena menabrak hari Sabtu dan Minggu, jadi total
cutiku tujuh hari wkwkwk..
Aku terakhir mengambil cuti di Bulan
Juni 2013 saat bulan madu dulu (uhuk!
sorry mblo). Sebenarnya, Bulan Juli 2014 lalu sudah libur lebaran sekitar
seminggu juga. Tapi yang namanya cuti yang bukan cuti bersama lebih mantap
terasa.
Sejatinya, cuti kali ini kuambil dengan alasan bukan
karena sudah mengalami kejenuhan karena rutinitas. Namun lebih disebabkan ada
keperluan terkait urus-mengurus berkas kelengkapan sebagai warna negara yang
baik bla bla bla something lah. Aku harus mengurus ATM yang
kadaluarsa dan SIM yang minta diperpanjang, yang
semua itu wajib kulakukan di Purwodadi Grobogan, kota
berjuluk The City of Heaven (ga usah protes!).
Harus begitu karena saya masih ber-KTP-kan sana. Belum sempat mengurus dan
masih terasa berat untuk melepaskan identitas asli kota tumpah darah.
Dengan cuti dan menikmati waktu senggang di Purwodadi, berarti
saya bisa berjumpa dengan orang-orang terkasih yang sudah sekitar tiga bulan
tidak kujumpai. Walaupun secara rutin bertelepon dan berkirim pesan, rasanya
tidak cukup. Perjumpaan tidak bisa menggantikan upaya lain untuk mengobati
kerinduan.
***
Selama seminggu di Purwodadi, kunikmati dengan menjalin
kebersamaan bersama orang tua dan saudara. Berwisata dan menapaktilasi
tempat-tempat yang menyimpan banyak kenangan. Salah satu yang kutelusuri adalah
jalan menuju ke SMP-ku.
Aku juga berkeliling ke lingkungan sekitar SMP bersama Bu
Ryan. Kudapati, gerbang samping yang masih menggunakan pintu besi karatan yang sama. Di dekat gerbang itulah dulu aku memarkir sepeda onthel kebanggaanku. Bergeser ke halaman depan, terlihat gedung
sudah banyak berubah. Ruang kelas tiga sudah ditinggikan dan itu berarti segala
lantai dan temboknya tidak lagi sama dengan yang sekian
tahun lalu kutempati. Eh, tiba-tiba tak
sengaja kulihat Ibu penjual makanan yang ternyata masih berjualan di kantin SMP berdiri tak jauh dariku. Untuk
diketahui, aku lulus SMP pada tahun 2003, sudah lebih dari satu dekade yang lalu. Banyak yang
berubah tetapi ada yang tetap sama seperti dulu. Apa kabar kawan-kawanku di
sana? Mantan-mantanku, kalian baik-baik saja bukan? #tsah..~
Di hari yang berbeda, untuk suatu keperluan aku berada di
depan SMA-ku, SMAN 1 Purwodadi. Kuamati dari dalam kendaraan, sekolah yang buanyak sekali menyimpan memori indah
itu sudah berbeda. Yang paling kentara terlihat, bangunan sudah berdiri dua
lantai dan berpendingin udara. Jamanku mana ada begitu, kalau panas ya buka
kancing baju, buka jendela sambil kipasan.
Halaman yang dulu luas sekarang habis untuk parkir sepeda
motor. Padahal selama aku di sana antara 2003 – 2006, parkir motor hanya di dua
titik, itu pun masih banyak menyisakan rongga sisa. Sekarang, masya Allah, halaman depan dan halaman
samping kanan kiri yang mengeliling lokal kelas tiga dikurung gerombolan sepeda motor siswa.
Sempat kutanyakan ke teman yang bekerja di sana, penambahan
jumlah sepeda motor yang sangat besar dimulai sekitar tahun 2008. Mungkin
berbarengan dengan fenomena mudahnya syarat untuk membawa pulang motor dari dealer. Dulu, di jamanku, sepeda motor
masih belum sebanyak sekarang dipakai siswa.
Aku mulai diperbolehkan Bapak memakai sepeda motor di kelas
dua SMA sejak memiliki SIM C. Dalam seminggu aku hanya tiga kali menggunakan
motor. Itu pun terpaksa karena ada kegiatan penting setelah jam sekolah seperti
les bimbingan belajar, mboncengin
pacar dan lain-lain. Tiga hari sisanya, bus umum ukuran medium kupilih sebagai
kakiku menuju dan pulang sekolah. Lebih
nyaman dan bisa ongap-angop sambil lirak-lirik
cewek dari SMA lain.. (--,)
Sekian menit ada di depan gerbang sekolah, dengan segera
terlintas wajah teman-teman, guru-guru dan gebetan. Tiba-tiba juga berseliweran citra diri yang dulu
sempat bertahun ada di tempat itu. Lalu aku sadar, moment itu adalah moment
terjauh yang mustahil untuk didatangi kembali.. :”)
***
Sebagai orang yang ditakdirkan menjadi perantau, pulang dan
perjumpaan menjadi kemewahan yang selalu kutunggu. Dimulai saat berkuliah di
Bogor, aku mulai berurusan dengan jarak. Dengan rumah yang berjarak kurang
lebih 500km dari kampus, bagaimana bisa aku tidak bersinggungan dengan
kenangan-kenangan yang jauh aku tinggalkan di sana?
Mulai saat itu, aku harus berpisah
dengan Bapak Ibu dan orang-orang terdekat. Disambung dengan harus tinggal di Yogya
untuk berkarya setelah lulus. Walau jarak lebih pendek, namun tetap saja
perjumpaan langsung dengan mereka menjadi perhelatan langka. Intensitas dan
frekuensi pertemuan tentu tak bisa disamakan dengan dulu tatkala masih
berdekatan.
Tulus di dalam hati, selalu ada
kerinduan yang terasa. Namun aku sadar, itu konsekuensi yang harus kuambil
untuk menggapai capaian-capaian yang akan lebih sukar terwujud jika aku memilih
tinggal Purwodadi. Karena sebagaimana kau tahu, Purwodadi adalah megapolitan
yang menuntut kompetensi tertentu untuk memenangkan persaingan dalam mendapatkan
kehidupan yang layak. Hihihi..
Pasti banyak perantau yang di palung hatinya merasakan hal
sama dengan yang kurasakan. I feel you,
Bro. I feel you. Begitulah, kami sangat akrab dengan kosakata pulang,
perjumpaan dan kenangan. Bersyukurlah yang dari lahir sampai sekarang bisa selalu
berdekatan dengan orang tua dan orang tercinta. Bisa setiap saat bersenda gurau
dan berbincang tentang apa saja yang dialami di hari itu. Tidak melalui
telepon, BBM, WhatsApp, Line atau telegram. Perjumpaan menang telak dibanding
itu semua.
Di dalam perjumpaan terkandung nuansa hangat dan keakraban. Langsung
dapat terasa dan tersentuh apa-apa yang ditemui. Berbeda dengan media
komunikasi jarak jauh yang maksimal hanya dapat mengakomodasi suara dan gambar
semata. Tak terakses aroma, kedipan mata, dan ekspresi air muka lawan bicara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar