(sumber gambar: whatamimissinghere.com) |
Pada
suatu Jumat, saya bersama seorang kawan kembali dari masjid yang letaknya hanya
sepelemparan batu dari kantor. Tak berapa jauh keluar dari halaman masjid, tibalah
kami di suatu perempatan kecil yang mau tidak mau harus dilewati untuk menuju
ke tempat berkarya sehari-hari. Seketika, saya pun menoleh ke salah satu tepi perempatan
tadi.
Menurut
runutan ingatan yang seketika terpanggil, saya berkesimpulan bahwa ada sesuatu
yang berubah di sana. Benar saja, sebidang sawah siang itu sedang diuruk dengan
gundukan tanah yang diangkut oleh truk-truk ukuran sedang. Beberapa pohon yang
mengelilinginya pun sudah mulai ditumbangkan. Mungkin berlebihan, tapi saat itu
juga suasana hati saya memburuk.
Sebidang
sawah yang subur, dan selalu bisa membuat siapapun yang melewatinya akan merasa
tentram, sedang mendapat sentuhan pembangunan. Usai diuruk, dengan segera akan
dialienasi dari sekitar melalui pemasangan penutup seng yang tinggi. Tak lama
lagi, sawah akan tinggal sejarah. Bangunan baru pun berdiri dengan angkuh dan
gagah.
Saya
selalu terganggu dengan segala hal yang berkaitan dengan konversi lahan. Saya
orang yang tidak ikhlas melihat pepohonan ditebang. Kemudian akan memikirkannya
di sepanjang waktu berikutnya. Rentetan pertanyaan pun menyusul. Bagaimana
keadaan sepuluh tahun yang akan datang? Bagaimana nasib anak cucu kita nanti?
Berapa juta ton lagi beras yang akan diimpor? Masih segarkah udara yang kelak
kita hirup?
***
Pertumbuhan
adalah cita-cita. Pembangunan adalah keniscayaan. Suatu program tentu membawa konsekuensi
logis yang mengikutinya. Pendirian bangunan otomatis akan berakibat pada
berkurangnya lahan. Celakanya, di antara beribu-berjuta lahan yang terkonversi
selama ini, pasti terdapat lahan subur dan produktif.
Alih
fungsi lahan merupakan isu sensitif dalam periode waktu yang sangat panjang dan
telah menjadi polemik yang tak kunjung bermuara pada solusi final. Pembahasan mengenai
konversi atau alih fungsi lahan jika kita perluas, akan dengan mudah menyentuh
pada dimensi-dimensi yang tak bisa dalam sehari dua hari dapat dirampungkan.
Konversi lahan selalu tentang tumpang tindihnya berbagai masalah yang sukar
diurai. Ia akan menggesek pada tema-tema tentang tata kelola pemerintahan,
demografi, pergeseran budaya dan sub bahasan lain yang demikian rumit dan
dinamis.
***
Di
negara agraris seperti Indonesia, isu sentral yang mendapat perhatian tak
jauh-jauh dari kekhawatiran terjadinya krisis pangan. Di Indonesia, -yang juga
dikenal sebagai tulang punggung paru-paru dunia- isu utama yang pasti mendapat
tempat ialah tentang ekologi manusia, pemanasan global dan keberlangsungan mega
biodiversitas. Isu-isu tersebut tak bisa dilepaskan dari konversi lahan, yang
dianggap sebagai ancaman.
Konversi
lahan sepertinya sebuah frasa yang sederhana dan sangat mudah diucapkan, namun identik
dengan permasalahan besar nan dilematis. Bagaimana tidak, di tengah pertambahan
jumlah penduduk dan luas daratan yang segini-segini
saja, tentu kebutuhan akan lahan menjadi pasti. Sementara, di seberangnya
terdapat lingkungan yang harus dirawat, karena itu pun tentang kehidupan.
***
Uraian
di atas lahir atas dasar pemandangan sehari-hari yang saya saksikan di
Yogyakarta. Kota budaya, kota pelajar dan kota batik sedang terimbas laju
modernitas yang mustahil (?) dibendung. Lahan-lahan hijau, perumahan penduduk,
tanah lapang berubah wujud dan fungsi. Mengarahkan laju roda ke hampir tiap
sudut Yogya maka akan dipertemukan dengan bangunan-bangunan megah baru yang
sudah dan sedang didirikan.
Hotel-hotel
berdiri seolah tanpa kendali, yang katanya untuk menghadapi tingginya okupansi.
Penawaran apartemen menghiasi billboard
di setiap spot strategis. Perumahan-perumahan
baru mulai menjamah ujung dusun yang tadinya dihuni kunang-kunang dan
kawan-kawannya.
Penduduk
terpapar efek sudah mulai bersuara. Sumur-sumur mulai asat disedot tanpa ampun oleh pompa dahsyat dari modal besar sang
pengusaha. Sawah-sawah dari hari ke hari berkurang sehektar demi sehektar.
Pepohonan satu per satu dirobohkan. Berganti dengan besi beton yang kerontang.
Tidak
tahu harus mengeluh dan menyalahkan siapa jika sudah seperti ini. Tetapi yang
saya tahu, apa yang sedang terjadi di Yogyakarta (dan kota lain di seluruh
dunia) adalah perpaduan kompleksitas bermacam faktor. Di balik sawah yang
menjadi apartemen, terdapat anak sang petani yang lebih memilih menjual tanah pertanian
warisan untuk dibelikan Low Cost Green
Car. Ia malas untuk terjun berkotor-kotor menyentuh lumpur bersama kerbau.
Si ayah pun sudah mulai enggan mengolah lahannya karena harga pupuk mahal dan
musim mulai sukar ditebak, belum lagi bertemu dengan tengkulak yang siap
mempermainkan harga hasil panen.
Di
balik sawah yang menjadi hotel, terdapat niat luhur pemerintah untuk tingkatkan
kesempatan kerja. Sektor jasa dan konstruksi merupakan sektor yang dirasa cukup
menjanjikan untuk menyerap angka pengangguran, yang berperan pada penurunan
persentase kemiskinan. Hotel diharap menjadi titik pertumbuhan yang
beranak-pinak. Dari situ akan muncul warteg, tempat cuci mobil, laundry, gerai pulsa dan tempat servis
sepeda motor. Bayangkan, sudah berapa manusia yang dipekerjakan?
Di
balik ladang palawija yang berubah menjadi perumahan terdapat harapan pasangan
pengantin baru yang ingin segera hidup mandiri terbebas dari omelan mertua. Di
sana ada putra pak tukang batu yang harus segera dibelikan sekaleng susu
formula. Di sana digantungkan pula kehidupan perbankan yang kegiatan utamanya melayani
angsuran perumahan dengan sekian persen bunga.
Membahas
alih fungsi lahan sebenarnya sama saja sedang membahas kehidupan. Kehidupan
selalu berkelindan dengan perubahan dan perkembangan yang merupakan ketetapan
alam. Lalu, kalau sudah demikian, tersisakah kegelisahan tentang kelestarian
lingkungan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar