(sumber gambar: stopcyberbullying.org) |
Beberapa
hari ini, pemberitaan media massa terpusat pada pengumuman menteri di Kabinet
Kerja yang dinakhodai Pak Jokowi. Adalah wajar rasanya jika moment penting yang diharap menjadi
titik tolak perbaikan bangsa mendapat perhatian yang begitu besar dari publik.
Tidak selesai di sana, corong baru suara masyarakat bernama media sosial pun
menjadi wahana untuk menyuarakan isi hati dan pikiran. Penggiatnya ramai
bersuara.
Lebih
khusus kita kerucutkan bahasan di media massa dan media sosial, maka dapat
dengan mudah kita akan sepakat bahwa lampu sorot saat ini sedang diarahkan kepada
Ibu Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan. Memang, bukan tanpa
alasan Bu Susi menjadi bahasan khalayak. Beliau seolah menjadi sosok pertama
yang mendobrak pakem yang sudah ada. Sebagaimana mindset yang telah ada di diri kita, jika membicarakan menteri atau
pejabat tinggi pemerintahan, maka otomatis benak kita akan terarah pada tokoh
sopan, alim, serius yang tingkah lakunya serba teratur dan diatur. Namun, Bu
Susi jauh dari kesan itu. Jauh sekali.
Saat
diwawancarai tak lama usai dilantik Pak Jokowi sebagai menteri, Bu Susi duduk ngelesot di rumput halaman istana.
Kemudian, beliau juga melepas sepatunya yang ber-hak tinggi. Klimaksnya, beliau
meminta ijin kepada para pewarta yang merubungnya untuk sejenak mengisap rokok.
Sejak saat itu, Bu Susi ramai diperbincangkan. Ditambah, latar belakang
pendidikannya yang SMA saja tidak rampung, pun di kakinya terukir tattoo. Makin marak saja bahasan tentang
Bu Menteri nyentrik itu.
Guliran
opini terus tertulis. Beragam pendapat wira-wiri.
Ada yang memuji, tapi tidak sedikit yang mencaci Bu Susi karena penampilannya. Tulisan
kali ini sebenarnya akumulasi keheranan dan kegelisahan saya sejak lama tentang
fenomena era internet yaitu makian di media sosial (cyber bullying), yang mendapat momentum untuk dituangkan ketika
caci-maki jamak diarahkan kepada Bu Susi.
***
Bully atau
caci maki bukanlah barang baru di kehidupan manusia. Hal itu sudah ada mungkin
semenjak awal peradaban manusia muncul. Namun, bully mencapai puncak dan menjadi permasalahan baru saat ia
disalurkan melalui ruang baru bernama media sosial. Bully merajalela dengan kecepatan tinggi melalui dunia maya yang
dapat dengan mudah diakses siapapun dimanapun kapanpun dewasa ini.
Tengoklah
ke kolom-kolom komentar portal berita online,
instagram, facebook dan linimasa twitter, maka gampang kita temukan komentar
bernada negatif kepada seseorang atau sekelompok orang yang tertampil. Cercaan
dan pisuhan sangat fasih tertulis.
Kata-kata kotor tak senonoh terutarakan berlarik-larik. Padahal sering teramati,
korban cacian tidak mem-posting
status atau foto yang provokatif dan menyerang pihak tertentu, tapi
sekonyong-konyong beberapa peng-comment
berkata: “Eh lu ya wanita murahan,
sukanya ngerebut suami orang!”, “Elu
itu kok mau sih sama cowok ga berguna kayak dia?” dan banyak lagi cercaan
yang tak jarang menyebut kawan-kawan kita dari suaka margasatwa.
Tak
habis pikir, mengapa sampai terkatakan kata-kata berselera rendah seperti itu. Haqqul yaqin, korban bully di media sosial adalah mereka yang
sebenarnya secara personal tidak dikenal oleh sang pem-bully. Jangankan mengenal, mungkin bertemu secara langsung saja
belum. Jika suatu kali bertemu muka, yang niscaya terjadi, si pem-bully akan malu-malu salim, minta tanda
tangan dan berfoto bersama.
***
Era
internet menghasilkan permasalahan khas yang disebabkan oleh kemudahan akses
dan mengijinkan user-nya untuk
menjadi anonim. Ketika siapapun dengan bebas mengakses dan diberikan privilege untuk menyembunyikan jati
dirinya, maka ia dapat bebas mengeluarkan sisi dirinya yang mustahil berani
diaktualisasikan ketika harus membawa identitas diri asli. Akhirnya, kebencian
demi kebencian tersampaikan tanpa saringan.
Tidak
berlebihan jika harus dikatakan, internet memiliki efek negatif berupa lahirnya
manusia-manusia –jika terlalu berlebihan disebut generasi- pengecut. Mereka tipe
manusia pelempar cercaan sembunyi identitas. Walau internet menghapus
batas-batas geografis dan piawai memperluas cakrawala pengetahuan, oleh mereka
yang picik, tempat semulia internet dijadikan ladang yang hina dan tak berguna.
Internet yang menawarkan fasilitas kebebasan justru disalahgunakan.
Internet
sekadar media. Ia “barang” netral. Ia seperti pisau yang terserah penggunanya
akan digunakan untuk mengupas mangga atau menikam dada tetangga. Perlu kebijaksanaan
untuk menggunakannya.
Internet
adalah produk mutakhir yang sangat besar manfaatnya. Sayang sekali jika harus
digunakan untuk tempat saling menyakiti dan merendahkan. Manfaat tak didapat,
justru dosa yang tercatat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar