(sumber gambar: bosmanajemen.wordpress.com)
Ada
remah-remah yang tersisa dari perhelatan besar Pemilu beberapa waktu lalu.
Paling tidak itulah yang tertangkap oleh mata pantau saya. Sebenarnya, hal tersebut
terkategori dalam kelas sepele, namun
rasanya perlu secuil pembahasan, setidaknya untuk melegakan hati saya.
Pada
suatu saat di dalam masa kampanye, ada seseorang sebut saja dengan Wakidi yang melontarkan
pernyataan di salah satu media sosial. Pernyataan tersebut kurang lebih
berbunyi: “Ah kalau cuma masalah pinter
bicara sih tukang obat di pinggir jalan aja pinter banget.” Pernyataan Wakidi
tersebut dalam rangka menanggapi pernyataan Sardimin yang menyatakan capres
jagoannya memiliki kemampuan berbicara yang baik.
Pernyataan
bernada sinis dan meremehkan tersebut membuat saya kurang berkenan. Menurut
saya, kalimat tersebut perlu dibedah dan dipertanyakan kadar kebenarannya. Apa
benar bicara memang hal yang mudah, dan apakah tepat jika tolok ukur parameter
pintar bicara adalah apa yang sehari-hari dilakukan oleh tukang obat tepi
jalan?
Inti
dari kalimat itu adalah menekankan bahwa bicara merupakan hal biasa dan siapa
saja sambil merem bisa melakukannya. Memang
benar bahwa bicara adalah keterampilan yang Tuhan anugerahkan kepada insan
ciptaanNya secara built-in dari sononya. Namun, tentang apakah bicara
adalah suatu hal yang mudah dan setiap orang akan dengan baik melakukannya
adalah lain soal. Bicara yang seperti apa dan dengan syarat apa dulu yang
dimaksudkan.
Saya
pribadi beropini, bicara adalah suatu hal yang relatif sulit untuk dilakukan.
Tentu, bicara dalam konteks kemampuan komunikasi verbal semua orang akan tanpa
berpikir dapat mengerjakannya. Namun, berbicara dalam format yang sesuai dengan
harapan pendengar adalah bukan hal yang ringan untuk dilunaskan.
Ijinkanlah
saya untuk mengatakan bahwa bicara adalah keterampilan khusus yang sebenarnya
bisa dilatih. Namun, dengan berlatih dan melakukannya berulang-ulang pun tidak
memberikan jaminan akan membuat seseorang dengan serta merta akan menjadi
pembicara yang baik. Mengapa demikian, karena di dalamnya terdapat unsur yang
tidak setiap orang diberikan, yaitu bakat.
Itulah
jawaban mengapa banyak orang yang setiap hari berbicara -karena memang itulah
pekerjaannya-, tidak lantas secara otomatis menjadi pembicara yang baik. Berapa
banyak guru yang mengajar harus menenteng buku dan hanya membacakannya? Berapa
banyak dosen yang ingin mengungkapkan maksudnya harus memutar kalimat, yang justru
membuat mahasiswanya mengernyitkan dahi? Berapa banyak tenaga pemasaran yang
tidak berhasil menjual dagangannya karena tidak berhasil mempesona calon
konsumennya melalui untaian kata hafalannya? Berapa banyak penyaji presentasi yang
hanya membacakan power point yang
dibuatnya, dan power point itu pun sekadar
hasil menyalin utuh berkas aslinya? Berapa Pak RT, Pak Lurah, Pak Bupati, Pak
Gubernur dan Presiden yang cuma berhasil meninabobokan pemirsanya ketika
berbicara?
***
Satu
syarat yang harus dipenuhi oleh pembicara jika ingin mendapatkan perhatian
pendengarnya adalah harus dapat berbicara dengan menarik. Sepertinya sebuah
syarat yang sederhana yaitu menarik, namun jangan salah, di dalam “menarik”
terdapat sederet poin yang harus dikuasai. Di dalam “menarik” terdapat isi
pembicaraan yang bernas, fokus pada pokok permasalahan, sesuai dengan karakter
audien, selingan yang baik, perbendaharaan kosa kata, gaya bahasa, penampilan
fisik, bahasa tubuh, intonasi, air muka dan berbagai unsur lain.
Yang
tidak jarang terjadi, seorang pembicara mungkin sangat ahli di bidangnya. Ia barangkali
seorang profesor doktor atau praktisi profesional, tapi ternyata ia kurang terampil
menyampaikan permasalahan yang sudah puluhan tahun digeluti. Segala teori dan
hasil telaahan sebenarnya sudah memenuhi sampai mruntel di lipatan-lipatan benak, namun apa daya mulut tidak kooperatif
dalam sinkronisasi dan susah diajak bersinergi. Ia kurang piawai dalam
mengartikulasikan apa yang diniatkan untuk disampaikan. Maka yang keluar adalah
idiolek eee.. eee… eee.. ngggg.. nggg
anu.. nganu dan teman-temannya.
Selain
itu, mungkin seorang pembicara dapat lancar menyuarakan wacananya tanpa jeda,
namun ia kurang pandai meletakkan tanda baca titik, koma, tanda seru dan tanda
tanya. Ia berbicara datar tanpa ekspresi, sekaligus deretan tanda baca ditabrak.
Alhasil di sana tidak terdapat penekanan dimana kata atau kalimat yang harus
dijadikan fokus perhatian pemirsa. Maka jangan salahkan jika mereka lebih
memilih mengelus layar sentuh atau memilih menuju smoking room.
Ada
juga kasus, seorang pembicara dengan lanyah
berbicara dan mampu menarik perhatian pemirsa, namun kabur dalam penyampaian
substansi permasalahan. Ia menyenangkan untuk disaksikan, nyaman untuk
didengarkan, namun tujuan pertemuan untuk membahas suatu topik kurang tercapai.
Pembicara tersebut hanya berhasil dalam “menghibur” pendengar. Ia pandai
beretorika, namun kurang berkomitmen dalam menyampaikan konten permasalahan
yang harus disampaikan.
***
Tujuan
dari tulisan ini sebenarnya sederhana saja, yaitu ingin mengkonfirmasi bahwa
berbicara bukanlah pekerjaan remeh. Diperlukan kapabilitas dan kapasitas
tertentu hingga seseorang dapat disemati gelar pembicara yang baik. Dan
ingatlah, berbicara adalah perwakilan dari alur jalan pikiran. Kata yang
meluncur dari lisan merupakan gambaran apa yang ada di dalam tempurung kepala.
Berbicara merupakan salah satu indikator sahih untuk menakar kemampuan pikir
seseorang –walau tidak mutlak dapat selalu menghadirkan keakuratan.
Tentang
adanya ungkapan “kata-kata bukanlah
patokan, pintar berbicara bukanlah ukuran, yang terpenting adalah realisasi
dari kata-kata”, bukan berarti itu mendelegitimasi ungkapan saya bahwa
berbicara bukanlah pekerjaan mudah. Karena kalimat itu berada dalam ranah
moralitas yang terkait dengan salah satu variabelnya yaitu pemenuhan janji.
Sedangkan bahasan kali ini ingin menyentuh ruang pembahasan teknis terkait
“bicara”.
Saya
hanya ingin menyatakan bahwa berbicara juga membutuhkan keseriusan dalam menekuninya,
diperlukan waktu dan tenaga untuk mencapai maqam
pembicara hebat, dan juga bakat yang merupakan given. Jika memang berbicara adalah pekerjaan remeh, mengapa sejak Mbah
Kakung masih kasmaran sudah ada perkuliahan jurusan komunikasi, kursus public speaking dan les MC? Jika memang
berbicara adalah pekerjaan enteng, mengapa ada dosen yang diidolakan, ada yang
masuk kelasnya saja sudah terbayang suasana yang menjemukan; ada tokoh yang
sanggup mengumpulkan ribuan orang hanya untuk mendengarkannya berbicara, ada
jenis orang yang mengajak ngobrol
saja kita sudah ogah duluan, ya ga? Lalu dengan menulis ini dan
menggugat pernyataan yang meremehkan “berbicara”, apakah saya sudah pandai
dalam berbicara? Ah saya ini ‘kan
hanya butiran rontokan rengginang..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar