Terpilihlah
sudah Presiden Negara Kesatuan Republik Indonesia masa bakti 2014-2019. Joko
Widodo ialah orang yang ditunjuk mayoritas rakyat untuk menjadi pemimpin negara
tercinta ini. Sebuah nama yang sederhana, nama orang kebanyakan, tanpa nuansa
ningrat atau kebangsawanan.
Sebelum
bermuara di keputusan resmi KPU tanggal 22 Juli 2014 tentang rekapitulasi final
penghitungan suara pemilihan presiden, Bangsa Indonesia selama beberapa bulan
ke belakang mengalami euforia politik. Segenap rakyat antusias menghadapi
gelaran lima tahunan itu. Debat kusir, analisis, ramalan, puja-puji dan hujatan
lalu lalang di beragam jenis media. Pengamat-pengamat politik betulan dan karbitan
bermunculan membawa opini masing-masing dengan kadar kualitas kebenaran yang
entah.
Pilpres
2014 adalah pilpres yang melelahkan secara emosional. Pendukung kedua kubu
capres berperang di beragam lingkup. Tidak sedikit konflik terjadi karena
merasa capres yang dibelanya adalah sosok terbaik yang harus dipilih. Pendukung
kedua kubu sampai membabi buta membela capres jagoannya, yang faktanya, mereka
bahkan belum pernah berjumpa apalagi mengenal sang capres secara
personal. Banyak sekali harga yang harus dibayar untuk kegiatan
dukung-mendukung itu. Antar saudara congkrah,
sejawat sepergaulan dihapus dari daftar pertemanan, bahkan konon sampai terjadi
perceraian suami istri. Sungguh suatu kesia-siaan yang nyata.
***
Jokowi
adalah anomali. Ia merupakan produk anyar jaman ini yang menghentak peta
perpolitikan dan kepemimpinan nasional. Jati dirinya bahkan sampai sekarang
belum tuntas untuk diselami. Namun, ia secara meyakinkan tampil menjadi kapten
kapal besar bernama Indonesia.
Jika
kita tilik ke belakang, kiprah Jokowi dihitung dari nol tahun di 2005, maka
sampai sekarang ia baru selama sekitar sembilan tahun duduk di dunia politik
praktis pemerintahan. Sebagaimana diketahui, karir politik Jokowi diawali dari
Surakarta, lalu sebentar dan belum purna di Jakarta, tiba-tiba naik ke puncak
tertinggi RI 1. Lancar sekali jalannya dan relatif tanpa gangguan.
Menurut
istilah saya, Jokowi telah mengobrak-abrik “pakem” yang harus ditempuh
seseorang untuk menduduki tampuk kepemimpinan puncak nasional. Bandingkan
dengan panjangnya perjalanan yang harus ditempuh presiden-presiden sebelumnya,
maka kita akan sadar, betapa Jokowi seolah didukung semesta untuk dengan
mudahnya meraih kursi presiden. Tak berlebihan rasanya jika Jokowi disebut
sebagai fenomena.
Ijinkan
saya melakukan komparasi antara Jokowi dan presiden yang sebentar lagi akan
digantikannya, SBY. SBY sebelum menjadi presiden sudah sekian kali menduduki
kursi menteri dan jabatan strategis di TNI. Bahkan ia pun seorang doktor
ekonomi pertanian dari IPB. SBY juga seorang jenderal yang mengawali kiprah
kemiliterannya dari lulusan terbaik Akademi Militer Magelang pada tahun 1973. SBY
juga memiliki prejengan yang
meyakinkan, tinggi besar, gagah dan tampan. Tutur bahasanya runut dan
sistematis. Kemampuan English-nya tak perlu diragukan. Dengan latar belakang
seperti itu, siapapun akan setuju-setuju saja jika SBY menjadi presiden.
Sedangkan,
siapa Jokowi? Ia “hanya” seorang pengusaha meubelair di Surakarta. Ia “cuma”
lulusan S1. Awal karirnya pun dari jabatan sekelas walikota kota kecil selama
dua periode, itu pun tidak rampung. Disusul kemudian, sekejap mencicipi jabatan
DKI 1 selama kurang lebih dua tahun. Walau secara jernih, Jokowi harus kita
akui cukup berprestasi dalam memimpin dua daerah tersebut.
Secara
figur dan penampilan, Jokowi juga bukan seorang pemimpin yang mempesona. Ia
bertubuh ramping, jika tidak boleh disebut kerempeng. Menurut wanita-wanita di
sekitar saya, ia juga bukan lelaki yang tampan, gagah, kharismatis dan
perlente. Cara berpakaiannya biasa saja. Teknik berbicaranya perlahan dan tidak
menggetarkan. Keterampilan Bahasa Inggris-nya pun sedang-sedang saja.
Begitulah
hasil perbandingan Presiden SBY dan tokoh yang akan menggantikannya per Oktober
nanti. Secara logika nalar rasional, tampak sekali bahwa tataran Jokowi jika
dibandingkan head-to-head dengan SBY,
akan tertampil gap yang cukup mencolok.
Tapi, yang perlu ditekankan, perbandingan di atas adalah hal yang tampak oleh
mata manusia biasa, yang samar kebenarannya dan subjektif penetapan standarnya.
Jadi, komparasi dan pengukuran di atas terhadap diri Jokowi, tak bisa dijadikan
acuan valid untuk digunakan sebagai pisau analisis dalam kasus copras-capres ini.
Karena
manusia lemah dalam mengukur, berpihak dalam menilai dan jauh dari kebeningan
hati dalam merasa, maka satu-satunya cara untuk menakar Jokowi adalah dengan “mengira-ngira”
apa maunya Tuhan. Jokowi yang jenjang kariernya sangat singkat, yang secara
gelar akademik hanya S1, yang secara penampilan biasa saja melesat menjadi
presiden, maka mengapa itu bisa terjadi, jawabannya adalah: “Kalau Tuhan maunya
begitu, kita mau apa?”
Lihat
bagaimana jutaan orang yang sebelumnya bahkan mendengar nama Jokowi saja tidak
pernah, tapi sekonyong-konyong mereka begitu mencintainya. Dimana-mana rakyat
selalu menyambutnya dengan suka cita. Jokowi menjadi idola baru. Relawan muncul
di seluruh pelosok Indonesia untuk memperjuangkan pencapresannya. People power sungguh terasa di masa
pencapresannya. Berjuta orang menyebut-nyebut nama Jokowi, segala harapan
disampirkan di pundaknya. Mana mungkin itu terjadi jika Tuhan tidak berkenan menyisipkan
rasa cinta kasih di hati jutaan rakyat untuk Jokowi?
Yang
menjadi pertanyaan kemudian adalah, “Ada maksud apa dibalik keputusan Tuhan
memilih Jokowi untuk memimpin negeri ini?” Karena keterbatasan kita sebagai
manusia yang apa-apa hanya bisa menduga, berprasangka dan mengucap semoga,
akhirnya kita hanya bisa memohon dan berprasangka baik bahwa Jokowi adalah
hadiahNya untuk Indonesia. Semoga di bawah kepemimpinan Jokowi, Indonesia
menjelma menjadi negara yang semakin hebat dan bisa mewujudkan Indonesia sesuai
cita-cita bangsa yang tercantum alinea II Pembukaan UUD 1945 yaitu menjadi
negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur; dan tujuan bangsa
yang tercantum di alinea IV Pembukaan UUD 1945 yaitu melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
***
Di
luar segala kemungkinan yang akan terjadi di Indonesia di bawah kepemimpinan
Jokowi, Jokowi adalah simbol yang patut kita banggakan. Karena ia adalah
presiden pertama yang dianggap sebagai representasi wong cilik. Di samping penampilannya yang apa adanya dan identik
dengan penampilan wong ndeso, Jokowi
juga presiden yang datang bukan dari klan keluarga bernama besar seperti
presiden-presiden pendahulunya. Jokowi datang dari keluarga sederhana seperti
sebagian besar dari kita. Jokowi menjadi tonggak bahwa di masa depan, siapapun
dari kalangan apapun, memiliki probabilitas untuk menjadi presiden.
***
Dengan
metode pikir yang selalu menyertakan pertimbangan logika sekaligus spiritual,
maka permusuhan yang diakibatkan urusan jago-menjago capres menjadi hal yang
sepatutnya tidak terjadi. Karena kita sebetulnya tidak pernah bisa mengetahui
kejadian apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Lebih bijak kita
berkarya sebaik mungkin di bidang kita masing-masing, yang pada gilirannya
hasil cipta, rasa dan karsa kita akan berimbas pada kejayaan bangsa.
Sekarang
yang harus kita lakukan adalah menciptakan kedamaian dan kondusivitas demi
terciptanya iklim kebangsaan yang baik. Jokowi sebagai manusia yang demikian
dicintai oleh banyak orang, jelas memiliki kekurangan dan kelebihan. Maka tugas
kita sekarang adalah bukan membenci atau mencintainya mati-matian, tetapi mari
kita dukung Bapak H. Ir. Joko Widodo untuk memimpin NKRI, sambil selalu
mengawasi kinerjanya sesuai kapasitas kemampuan dan kewenangan kita
masing-masing sebagai rakyat Indonesia.
Selamat
kepada Pak Jokowi dan Pak Jusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden
terpilih. Selamat bertugas. Jayalah Indonesia!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar