sumber gambar: alfa-portal.com
Walau kita sebangsa senegara, air dan udara yang
kita nikmati bersumber dari tempat yang sama, hari-hari ini kita terkubu ke dua
sisi kutub berbeda. Rakyat Indonesia terbagi menjadi Pro Prabowo dan Pro Jokowi.
Dengan beraneka argumentasi, tak peduli rasional atau klenik, kita membela sang jago dengan sepenuh hati. Baik alasan
ideologis atau cinta tanpa logika, nama Prabowo dan Jokowi tersebutkan dalam
bermacam pujian dan pembelaan sampai berbuih-buih.
Saya
pribadi tentu mempunyai jago, namun di oret-oret kali ini, saya tidak akan
menampilkan kecenderungan keberpihakan kepada salah satu capres, lalu
memaksakan pilihan saya kepada pembaca. Saya hanya akan memetakan kekuatan kedua
pasangan calon presiden dan wakil presiden dari satu sisi. Saya akan menakar Prabowo
dan Jokowi dari segi keterampilan berkomunikasi. Perlu untuk diperhatikan,
batasan definisi komunikasi di sini adalah segala perkataan Prabowo dan Jokowi
yang ditampilkan di media massa.
***
Jokowi
adalah seorang pembicara yang apa adanya. Ia tipe pembicara sederhana dan tak
pernah terlihat mengeluarkan pernyataan yang dipaksakan untuk ndhakik-ndhakik menggunakan bahasa teknis
dan asing. Ia berbicara seperlunya. Jokowi memiliki tempo bicara yang pelan dan
tidak terburu-buru. Hanya saja, dalam beberapa kesempatan, Jokowi terlihat
berbicara sambil berpikir dan itu berimbas munculnya jeda antar kata dan
kalimat yang terlalu lama. Otomatis dengan gaya seperti itu, kecil kemungkinan
Jokowi mampu memukau pirsawan.
Jokowi
bukan dilahirkan sebagai orator ulung. Pada saat deklarasi di Rumah Juang,
Jokowi tampil berbicara mengumumkan cawapres yang akan mendampinginya, dan sekali
lagi, pidatonya tak mempesona. Substansi pernyataannya umum dan sangat biasa.
Tak ada unsur yang memiliki daya kejut. Gaya bicaranya walau dipaksakan
lantang, tetap saja tak bisa melawan kenyataan bahwa volume suara dan
intonasinya terbatas. Jenis pembicara seperti itu, adalah tipe pembicara yang
tidak bisa diharapkan mampu menggerakkan massa dalam jumlah besar untuk
mengikuti agitasi dan propaganda yang dilontarkannya.
Tipe
suara Jokowi cukup nge-bass, nyaman
didengar dan berartikulasi jelas. Penyampaian konten pidato relatif runut. Tetapi
itu tidak cukup, karena tidak ditunjang dengan nada bicara, ekspresi, dan
penekanan yang baik.
Jokowi
diplot PDIP sebagai capres dengan dengan jualan jargon Revolusi Mental. Sekejap
setelahnya, banyak muncul tuntutan publik agar Jokowi mendeskripsikan jargon
itu. Tulisan Jokowi – yang oleh berbagai pihak ditengarai sebagai hasil kerja
timnya – hadir di Kompas. Artikel itu menjelaskan panjang lebar konsep Revolusi
Mental. Cukup disayangkan, tidak ada yang aktual dan mencengangkan dari tulisan
tersebut. Tulisan Jokowi lebih dekat kepada bentuk ajakan dan motivasi standar kepada
segenap komponen bangsa untuk memulai segala hal yang baik dari diri sendiri.
Jelas, ini menjadi tidak kontekstual karena sebenarnya tulisan tersebut hadir
dalam lingkup kontestasi pimpinan skala nasional yang seharusnya menekankan
pada aspek nilai kepemimpinan. Menjadi blunder
bagi Jokowi, karena seyogyanya ia menahbiskan dirinya sebagai titik pangkal
revolusi dan bukan menunjuk hidung rakyat untuk lebih dulu berubah
bersama-sama.
Presiden
Indonesia bukan hanya pimpinan lokal namun akan memiliki jangkauan skala
internasional. Menjadi penting baginya untuk menguasai bahasa pergaulan
internasional. Penguasaan bahasa Inggris sangat diperlukan dalam proyek-proyek
diplomasi dengan negara lain. Di sebuah forum, Jokowi hadir untuk menyaksikan
film produksi asing tentang pengelolaan sampah. Singkat cerita, di akhir acara
dibuka sesi tanya jawab dan Jokowi pun bertanya kepada sang sutradara bule.
Bahasa Inggris Jokowi tidak bisa dinilai amat buruk, namun juga tak bisa
disebut cas cis cus. English Jokowi sedikit
plegak-pleguk dan terlihat masih
berpikir mencari mengingat vocab.
Mari
bergeser ke Prabowo…
Prabowo
memiliki vokal yang bulat dan intonasi yang baik. Prabowo memiliki kelebihan dalam
volume suara yang memadahi. Prabowo juga memiliki ketegasan dalam berbicara
yang dituangkan dalam penekanan-penekanan yang pas. Pun ia tak segan berteriak
dan mengerahkan ekspresi emosi saat berbicara di depan banyak orang.
Dengan
latar belakang militer, Prabowo memiliki kelebihan dalam kelugasan menyampaikan
pidato. Namun, Prabowo bukan tanpa kekurangan. Di beberapa pidatonya, terlihat
ia melakukan pengulangan-pengulangan pada kata yang sebenarnya tidak memiliki
tingkat urgensi tinggi dan gemar bermain sinonim yang tidak perlu. Teknik itu terbaca
sebagai usaha mengalihkan perhatian pendengar, yang sebenarnya merupakan upaya Prabowo
memikirkan kata dan kalimat yang diproduksi berikutnya. Hal ini menyebabkan pidato
Prabowo menjadi tidak smooth dan
mengalir.
Dalam
forum Hari Buruh tanggal 1 Mei 2014, Prabowo terlihat berapi-api berpidato di
depan ribuan massa. Prabowo bersusah payah mengidentikkan gaya pidatonya dengan
gaya pidato Bung Karno. Namun, ia tidak berhasil. Prabowo tidak memiliki
kekayaan kosa kata sebagaimana Bung Karno. Ia juga kurang lihai memainkan alur
kalimat per kalimat pidato. Justru yang tertampilkan hanya teriakan-teriakan yang
diharapkan mampu menaikkan tensi emosi pendengar.
Secara
mudah, pidato Prabowo bisa dikatakan kurang menarik. Yang ia sampaikan adalah
hal yang sebenarnya sudah jamak kita baca dan dengar dimana-mana. Ia kurang
piawai beretorika. Tidak ada nilai kebaruan yang membuat pendengar menjadi
betah untuk terus fokus dan tak beranjak.
Untuk
keterampilan berbahasa Inggris, tentu Prabowo sudah tidak perlu diragukan. Ia
semenjak sekolah menengah atas sudah mengenyam pendidikan di London. Pada tahun
1981 ia juga mengikuti kursus tentang terorisme di Jerman dan Special Forces Officer Course di Fort
Benning, Amerika Serikat.
***
Menjadi
repot bagi calon presiden 2014 dalam hal menyamai keterampilan berkomunikasi
para pendahulunya. Karena Indonesia memiliki pemimpin dengan keterampilan
komunikasi di atas rata-rata, artinya sudah terlanjur ada standar tinggi. Tanpa
disebut tentu itu mengacu pada Sang Proklamator, Ir. Soekarno yang terkenal
sebagai orator kelas wahid dan namanya agung bergaung di dunia internasional.
Bung
Karno memiliki trade mark pidato yang
luar biasa menggugah. Para tukang becak, pegawai kantoran, masyarakat umum rela
menghentikan kegiatannya demi berkonsentrasi mendengarkan Bung Karno berpidato.
Pidato Bung Karno jaminan mutu dan mampu menggerakkan hati dan pikiran rakyat
untuk seiring sejalan dengan pola pikir Bung Karno.
Selain
Bung Karno, Indonesia memiliki satu lagi pemimpin dengan keterampilan
komunikasi yang baik. Dengan gaya pelan dan cenderung membosankan, Pak SBY
menurut saya tetap harus diakui sebagai pembicara yang baik. Walau lekat dengan
citra peragu, Pak SBY terkenal sebagai pembicara yang sangat hati-hati dan
sistematis dalam berbicara. Bahkan ia diakui sebagai pemimpin yang selalu
berbahasa Indonesia dengan baik dan benar sesuai kaidah. Berbeda dengan Jokowi
yang menyebut “menyadari” menjadi “menyadarin”, misalnya.
Pak
SBY adalah sosok perfeksionis dan itu nampak jelas pada pidatonya yang urut,
konsisten dan fokus pada permasalahan yang diniatkan. Ia sangat serius dalam
pemilihan diksi. Tidak sembarangan dan asal tulis. Tentang gaya berbicara, itu
lain soal. Saya setuju pidato Pak SBY tidak menarik secara tampilan, namun
substansinya jangan ditanya. Berbeda dengan Prabowo yang isi pidatonya gitu-gitu saja.
***
Beruntung
bagi calon presiden 2014, keterampilan berkomunikasi bukanlah satu-satunya
variabel penilaian yang ditetapkan rakyat Indonesia dalam memilih pemimpinnya.
Keterampilan komunikasi cuma salah satu aspek penting. Hanya saja, keterampilan
komunikasi menjadi hal pertama yang akan diperhatikan khalayak umum, dan
celakanya, seringkali menjadi standar penilaian tunggal.
Visi,
misi dan aksi menjadi hal terdepan yang harus diperhatikan, dipikirkan dan diejawantahkan
oleh presiden terpilih. Apa artinya berbicara sampai meniren jika tidak ada realisasi dari janji yang telah
diperdengarkan kepada ratusan juta manusia. Apa artinya berpidato sampai radang
jika tidak ada tindak lanjutnya.
Keterampilan
berkomunikasi menjadi penting karena itulah media aktualisasi dari pemikiran
yang bersifat konsep abstrak. Tetapi, jauh lebih tinggi dari itu, yang utama
dan maha penting adalah adanya kesatuan antara perkataan dan perbuatan. Kecuali,
jika presiden siap disebut sebagai lelaki pendusta nan durjana..
halo om jangan lupa main main ke rumah ane ---> http://radithtux.blogspot.com
BalasHapuskalo ane pilih om wowo aja si Joki udah ketahuan boroknya banyak jadi ogah milih :P