Tempo
hari belakangan, persisnya sekitar tiga bulan ini, di berbagai media sosial
ramai beredar suatu idiom unik. Idiom atau frase yang terdiri dari tiga kata
itu adalah “Aku Ra Popo”. Sebagai pemuda asli tulen berdarah ras Jawa dan juga
hidup di masyarakat berbudaya Jawa, saya tentu sama sekali tidak asing dengan
bunyi itu. Tapi menurut saya, ketenaran “Aku Ra Popo” adalah hal yang kurang
lazim sekaligus membanggakan, karena ia bukanlah ungkapan istilah kekinian dan berasal
dari bahasa yang mulai dianggap memalukan untuk dibawakan, bahkan oleh
“pemiliknya” sendiri.
“Aku
Ra Popo” sebenarnya berasal dari kalimat “Aku Ora Opo-Opo” atau “Aku Ora
Kenopo-Kenopo” yang secara bebas diterjemahkan dengan “Aku Ngga Papa” atau “Aku
Tidak Kenapa-Kenapa”. Pertama kali saya tahu
tentang “Aku Ra Popo” bersumber dari gambar profil BlackBerry Messenger di daftar kontak pada awal Bulan Desember
2013.
Setelah
itu, baru saya sadari “Aku Ra Popo” jamak tersebar kemana-mana. Saya pribadi
ingat, gambar parodi (meme) bertuliskan
“Aku Ra Popo” bergambar seorang pemuda memeluk pohon sementara pemuda yang lain
memeluk pasangannya, saya unggah di Path
pada tanggal 11 Desember tahun lalu. Kawan pengguna twitter, facebook dan Path bergantian meng-upload meme “Aku Ra Popo” dengan banyak variasi
gambar atau foto.
Telisik
punya telisik, ternyata meme “Aku Ra
Popo” menurut situs komedi liputan9.com
sudah tersebar di twitter sejak 3
Juli 2009, yaitu di komik Dragon Ball. Entah siapa yang mengawali, “Aku Ra
Popo” kemudian banyak digunakan di meme
dan terkenal mulai akhir 2013 kemarin. Bahkan saat ini, banyak politikus kelas
nasional mulai menggunakannya untuk menanggapi suara negatif yang diarahkan
kepadanya. “Aku Ra Popo” sekilas hanya
merupakan potongan kalimat pendek yang digunakan untuk lucu-lucuan dan
menertawakan suatu keadaan. Padahal, di sana menurut saya tersisip suatu
filosofi yang sungguh tinggi kadar nilai luhurnya.
“Aku
Ra Popo” adalah kalimat reaksi yang diproduksi seseorang yang sedang mengalami
suatu kepedihan. Namun sebenarnya, di sana terdapat usaha yang mengandung unsur
paradoks. Ya, di satu sisi si pengucap sedang mengalami keadaan yang tidak
mengenakkan, namun di sisi lain ia sedang mencoba untuk melakukan penyangkalan,
bahwa sejatinya ia baik-baik saja. Kalau kata Pingkan Mambo: “Walau pedih, tapi
ku baik-baik saja..~” dan kata Repvblik: “Kuterima, walau sakit hati..~”
Masyarakat
Indonesia secara kultur kehidupan sehari-hari adalah masyarakat yang relatif
pandai menerima kenyataan. Mudahnya, kita ini pintar mengambil hikmah dari
suatu peristiwa. Penjelasan itu terpotret dalam kalimat percakapan berikut ini:
Sardimin : “Denger-denger
kamu habis kecelakaan, Di?
Wakidi
: “Iya, Min. Halah, cuma motor kok yang remuk. Sekarang ndak
bisa
dipakai sih. Ya ndak papa, daripada yang
remuk kakiku, ‘kan?”
Percakapan
di atas pasti banyak terjadi dalam kehidupan kita. Terdengar biasa sebenarnya,
namun di sana terdapat kebesaran jiwa untuk menerima segala realitas kehidupan.
Di dalamnya terkandung ungkapan syukur, bahwa yang hancur hanya hal kecil yang
bisa dibeli atau diganti. Terdapat kalimat yang tak terucap tapi terdengar
jelas: “Di luar sana masih banyak yang lebih menderita.”
Penyangkalan
melalui “Aku Ra Popo” adalah usaha manusia untuk menguat-nguatkan dan
menangguh-nangguhkan diri. Yakin sekali, Tuhan di atas sana “tersenyum” dengan
usaha kecil itu. Ia “tersenyum” karena Ia pasti tahu bahwa hambaNya sebenarnya
sedang bersusah hati, namun berupaya untuk menguatkan diri sambil menerima
ketetapanNya. Ini ‘kan cocok dengan quote dari Imam Ali: “Ridha dengan
ketetapan Allah yang tidak menyenangkan adalah tingkat keyakinan yang paling
tinggi.”
“Aku
Ra Popo” adalah langkah kecil pertama yang harus kita ambil untuk melanjutkan
hidup. “Aku Ra Popo” adalah simbol kekuatan batin bahwa dengan segala kesedihan
dan kepedihan, kita harus melanjutkan perjuangan yang sempat terhambat karena
suatu hal. “Aku Ra Popo” adalah perlambang bahwa kita adalah umat yang tak
berdaya dan tak bisa berbuat apa-apa selain menerima nasib dan takdir, untuk
kemudian terus berusaha maksimal. “Aku Ra Popo” sebenarnya berbunyi “aku sangat
kenapa-kenapa” atau “aku sedang hancur sekali”, tapi kita mencoba berdamai
dengan keadaan, lalu yang terucap adalah negasinya. Bagaimana tidak
kenapa-kenapa kalau sosok yang lama diincar, menerima lamaran orang lain?
Bagaimana tidak kenapa-kenapa kalau motor masuk got? Bagaimana tidak
kenapa-kenapa kalau handphone
kreditan masuk bak air?
Di
dalam “Aku Ra Popo” ada secuil teknik dialog seorang hamba kepada Penciptanya.
“Aku Ra Popo” merupakan strategi berdiplomasi dengan Sang Kuasa. Di sana terkandung
bujuk rayu dalam rangka bermanja-manja dengan Tuhan, yang kalau dijlentrehkan dengan panjang lebar
kurang lebih berbunyi seperti ini: “Aku Ra Popo, Tuhan. Yakin. Aku menerima
segala ketetapanMu. Aku ikhlas menjalani segala lika-liku hidup ini. Aku rela
menderita jika memang ini kehendakMu. Tapi, apa iya Engkau tega berlama-lama
memberikan kesusahan ini padaku?”
Jika
kita tarik jauh ke belakang, “Aku Ra Popo” memiliki nuansa yang mirip dengan
syair cantik karya sufi jenaka, Abu Nawas. Syair itu sangat terkenal dan acap
dibawakan dalam berbagai forum kebudayaan dan agama. Syair itu berjudul Al
I’tiraf yang potongan lirik awalnya berarti: “Wahai Tuhanku, aku tidaklah
pantas menjadi ahli surga, tapi aku pun tidak kuat masuk ke dalam api neraka…”
Jadi,
“Aku Ra Popo” bukanlah ungkapan remeh-temeh
yang hanya sekadar dijadikan lelucon belaka. Karena di sana terkandung makna spiritual
nan kontemplatif. “Aku Ra Popo” harus menjadi spirit, bahwa di tengah segala
keadaan yang tidak menjadi harapan, kita tetap tegar dan kokoh, lalu berjalan
tegak mencoba menyingkirkan segala haling rintang. Bahwa di dalam segala cobaan
yang tentu mengikis keoptimisan, kita harus menguatkan niat, walau dengan
terpaksa membohongi diri melalui “Aku Ra Popo.”
bagus2 saja mas, tapi lebih bagus lagi apabila dimensi spiritual dipisahkan dari aktivititas praksis dalam berpolitik , salam
BalasHapusDulu, kalau denger AKU RA POPO, rasanya biasa aja
BalasHapusKemarin2, kalau baca/denger AKU RA POPO, rasanya lucu2 menggemaskan
Sekarang, kalau baca/denger AKU RA POPO, kok rasanya yang nulis/ngomong begitu seperti ketinggalan tren ya
(Beda kasus dengan blog ini ya Yan. Postingan ini kan mengulas tren Aku Ra Popo. Tapi kalau nemu orang yg masih pakai AKU RA POPO dalam obrolan, kok ya rasanya gitu tadi ya hihihihi)
Betul sekali. Jaman serba teknologi membuat semua serba cepat. Itu pula yang terjadi dengan tren apapun. Tak terkecuali tren aku ra popo ini, hari-hari belakangan ini jika masih ada yang menggunakannya akan terdengar so yesterday wkwkwk..
Hapusaku rapopo,kan, frase jamak,mas?...hihihi...sampai kapan pun akan tetap ada yang memakai frase itu dalam suatu kondisi tertentu
BalasHapusHihihi bener mas, kalau Aku Rapopo masih pantes disebut frase, kalau Aku Ora Kenopo-Kenopo udah kalimat keleeeus ya. Hihihi..
BalasHapusBetul, ungkapan itu relevan dengan jaman dan keadaan apapun.. Thanks for comment Mas.. :)