(sumber gambar: lesartistescontemporains.com) |
Bukan
menjadi hal yang mengherankan lagi, bahwa hidup kita saat ini sangat dekat dan
lekat dengan media sosial (medsos) yang dapat diakses dari berbagai piranti
canggih. Medsos menjadi benda ajaib yang mungkin belum pernah diterka akan
menjadi mainan baru manusia jaman ini dengan segala baik buruknya. Medsos menjadi
persinggahan yang sangat permisif hingga manusia dapat membagikan hal yang
dahulu mungkin hanya akan diketahui oleh diri sendiri, Tuhan dan dinding kamar.
Medsos
dengan berbagai format dan jenis peruntukan, telah menjadi agen perubahan
kehidupan manusia. Melalui medsos, manusia dapat menskenariokan diri menjadi
tokoh apapun sesuai keinginannya. Seperti saya singgung di paragraf atas,
medsos merupakan media yang sangat permisif. Kita bebas melakukan apa saja,
tentu dengan beberapa konsekuensi yang harus kita bayar di kemudian hari.
Medsos
pada dasarnya adalah media untuk berinteraksi. Fungsinya tak beda jauh dengan
bertelepon, berkirim telegram atau mengutus merpati untuk menyampaikan secarik
pesan. Hanya saja, saat ini, dimana kemajuan teknologi sungguh pesat, interaksi
mengalami perkembangan yang di dalamnya terkandung perubahan pada media, cara
dan mungkin rasa.
Dalam
berinteraksi, tentu akan terdapat proyek bernama berbagi. Medsos mempermudah manusia
untuk membagikan apa pun yang dipunyainya. Bebas, bebas sekali.
Medsos
memang ada untuk berbagi. Berbagi menjadi ciri autentik manusia yang memang diprogram
Tuhan untuk menjadi makhluk sosial. Yang menjadi pengamatan saya, atau mungkin
banyak orang di luar sana, medsos dalam perjalanannya menjadi lembaga baru yang
sungguh nyaman untuk show off, untuk
memamerkan segala hal.
Pamer
adalah keponakan dari berbagi. Namun, pamer dan berbagi memiliki esensi yang
berbeda. Berbagi membawa kemaslahatan, sedangkan pamer belum jelas fungsinya
selain untuk unjuk kepunyaan.
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia pamer adalah
menunjukkan (mendemonstrasikan) sesuatu yang dimiliki kepada orang lain dengan
maksud memperlihatkan kelebihan atau keunggulan untuk menyombongkan diri. Dari
definisi resmi itu, jelas bahwa pamer dilakukan bukan dengan niat luhur. Pamer
dilakukan untuk mempertontonkan apa yang dimilikinya kepada orang lain.
***
Pamer
dalam konteks era medsos memiliki banyak sekali jenis teknik. Mulai dari teknik
pamer terang-terangan sampai kepada jenis pamer terselubung (dislimurke). Orang yang tidak suka pamer
dan orang yang suka pamer memiliki berbagai macam kemungkinan. Berikut ini
kemungkinan-kemungkinan tentang orang yang tidak dan suka pamer:
Orang
yang tidak suka pamer
a.
Memang ia tipe orang yang tak suka berpamer.
Sudah wataknya memang demikian.
b.
Ia tidak memiliki sesuatu yang menurutnya pantas
untuk dipamerkan
c. Ia sudah lama memiliki sesuatu, yang mungkin
bagi orang lain hebat dan pantas dipamerkan, hanya karena ia sudah lama
memilikinya, lalu merasa biasa saja
Orang
yang suka berpamer
a.
Memang dari lahir ia suka berpamer, sudah
wataknya seperti itu
b. Ia baru saja memiliki sesuatu, sehingga ia
merasa heran sendiri dan tak tahan untuk menyiarkannya ke seluruh dunia
Kira-kira
seperti itu beberapa kemungkinan variabel penyebab mengapa orang suka dan tidak
suka pamer. Sekarang, mari bergeser ke beberapa teknik pamer di medsos. Berikut
ini beberapa diantaranya:
a.
Suka selfie
dengan jurus Camera360
Selfie tentu
salah satu bentuk pamer. Memamerkan keindahan wajah, tubuh atau benda di
belakangnya. Itu semua tak masalah, sampai pada digunakannya software penyunting foto yang pada akhirnya
merugikan pelaku selfie sendiri.
Dengan software Camera360, wajah akan
menjadi terlihat lebih bening dan bibir menjadi ranum, tak peduli bagaimana
penampakan asli si objek foto. Walau memang fitrah manusia ingin tampil indah,
namun dengan melakukan manipulasi seperti itu, akan membawa kepada kekecewaan
jika kelak ada seseorang yang tertarik dengan penampakan di foto, lalu ingin
melakukan perjumpaan secara langsung. Niscaya, ia akan berpekik: “LHA KOK
JEBULNYA BEGINI? PIYE IKI? *lalu lapor
polisi dengan kasus penipuan dan perbuatan tidak menyenangkan*
b.
Berfoto di depan kaca
Berfoto dengan model seperti itu akan memunculkan dugaan,
selain sedang memamerkan penampilan hari ini (outfit of the day), sebenarnya juga sedang menampilkan back cover gadget yang digunakan untuk
berfoto, dan si pemirsa akan berdecak kagum: “HAPENYA KEREN BEUH, MERK MITU
BEUH”
c.
Teknik peletakan benda-benda keren
Jamak terlihat, selain memamerkan makanan yang akan atau
sedang dikonsumsi melalui foto, beberapa orang dengan sengaja meletakkan
benda-benda yang mungkin menurutnya akan menaikkan citra dirinya. Di foto-foto
kasus ini, di samping piring, atau terselip di bawah kaki meja (?) akan
terlihat kunci mobil, ponsel mahal dan tangan gebetan (?)
d.
Difoto hanya ketika makan di tempat keren
Kasus seperti ini bisa disebut sebagai hiperealitas.
Hiperealitas adalah kecenderungan membesarkan sebagian fakta dan sekaligus
menyembunyikan fakta lain. Nah, ini ‘kan cocok dengan kebanyakan yang terjadi
di medsos. Makanan yang difoto hanya ketika makan di tempat elite, mahal dan
biasanya makanan produk asing. Mengapa ketika makan di warteg dekat kelurahan
atau di angkringan depan pos kamling tidak difoto?
e.
Dengan teknik mengeluh dan bersyukur
Ini jenis pamer yang termasuk ke dalam jenis pamer dengan
teknik yang lumayan. Bisa dengan mengeluh, bisa dengan berucap syukur, atau
kombinasi keduanya. Misalnya seperti ini: “Duh,
hape yang dibeliin papah di Nigeria lecet-lecet nih”.
Sepertinya memang keluhan sebagaimana layaknya keluhan,
namun biasanya di dalamnya disisipi hal yang mungkin bagi banyak orang di luar
sana akan menimbulkan kekaguman. Bisa tentang benda mahal atau tempat dimana
benda itu dibeli dan lain sebagainya. Bagaimana tidak kagum kalau beli hape
saja harus ke Nigeria.
Teknik pamer berikutnya adalah dengan bersyukur, misalkan: “Syukur alhamdulillah mama akhirnya sampai
juga di Namibia”. Tentu saja itu akan menimbulkan decak bagi orang yang
membaca status di medsos. Kagum dong,
ngapain gitu si mama ke Namibia.
Teknik berikutnya adalah dengan mengombinasikan mengeluh dan
bersyukur, seperti ini biasanya: “Huft
alhamdulillah setelah deg-degan nunggu kabar, papah mamah pesawatnya nyampe
juga di Wonogiri”
Sebenarnya masih banyak jenis-jenis pamer yang sering terdapati di medsos. Namun saya pilih beberapa saja yang sekiranya cukup mewakili untuk dijadikan contoh. Perihal apa yang menjadi kebanggaan, tentu sangat relatif dan subjektif.
***
Sejak
medsos marak dan saya menjadi salah satu penggiatnya, saya tertarik dengan
fenomena pamer melalui alam virtual. Terlepas apakah itu diniatkan untuk pamer
atau tidak, intinya adalah menampilkan segala hal yang berpotensi mengundang
keheranan dan kekaguman orang yang menyaksikannya. Pamer di dunia maya menjadi
hal yang murni baru, karena medsos asli keturunan kandung dekade ini.
Melalui
medsos, potensi pamer manusia -yang terpaksa disimpan sekian lama karena ketiadaan
tempat pengejawantahan- seperti mendapatkan wahana realisasi. Karena
keterbatasan, untuk jangka waktu yang demikian panjang, potensi pamer yang ada
pada manusia harus diendapkan. Mungkin pamer secara terbatas sudah terlaksana
melalui media konvensional yaitu komunikasi tatap muka dan foto cetak atau
lainnya. Namun, medsos secara masif mampu menjadi pelepas dahaga yang akhirnya
mampu melunaskan gelegak pamer yang lama tertahan.
Melalui
medsos, terpantau orang berlomba mengabarkan apa yang dimilikinya. Entah itu
lekuk tubuh, materi kebendaan atau kemampuan keilmuan. Lantas, apa sebenarnya
yang melandasi ini semua, hingga kemudian medsos menjelma menjadi media yang
sungguh pas untuk menampilkannya?
Setelah
berpikir, akhirnya saya teringat suatu konsep teori kebutuhan yang dilontarkan
oleh Abraham Maslow. Salah satu mata kuliah yang saya pelajari di bangku kuliah
mengijinkan saya untuk sedikit mencicipi teori psikologi yang sangat masyhur
tersebut. Saya pun kembali membuka teori yang lama terlupa.
Abraham
Maslow membagi kebutuhan manusia menjadi piramida yang terdiri dari lima
tingkat. Kebutuhan diawali dari piramida strata paling dasar yaitu kebutuhan
fisiologis, lalu berlanjut ke kebutuhan keamanan, kebutuhan cinta, sayang dan
kepemilikan, kebutuhan penghargaan dan paling atas, kebutuhan aktualisasi diri.
Dimanakah posisi pamer jika dikorelasikan dengan Teori Maslow?
Melalui
logika rasional sederhana, akhirnya saya merasakan bahwa pamer paling pas jika
dimasukkan ke dalam tingkat piramida keempat, yaitu kebutuhan penghargaan (esteem). Dengan mudah tersimpulkan, para
penggiat medsos secara relatif dapat dikategorikan ke dalam golongan kelas
menengah yang telah mampu memenuhi kebutuhan primer. Mereka termasuk ke dalam kasta
yang sudah tidak memikirkan bagaimana cara makan besok, apakah akan basah jika
hujan turun dan memiliki kerabat yang cukup untuk kebutuhan kasih sayang. Namun,
penggiat medsos –yang gemar berpamer– rasanya belum sampai ke tingkat puncak
piramida Maslow, yaitu aktualisasi diri.
Mereka
rata-rata belum cukup “dewasa” untuk mampu mengenali arti hakikat kehidupan.
Mereka belum khatam mengenali diri
sendiri. Mereka belum cukup memiliki karakter diri kuat yang pantas untuk
disimpulkan sebagai ciri asli dirinya sebagai manusia matang. Mereka belum
sampai pada taraf untuk melihat kehidupan secara komprehensif dan memilih untuk
menghadapi segala permasalahan, bukan menghindarinya. Mereka belum sampai
tingkat menjadi pribadi yang mengenali potensi dan kemampuan diri yang
sebenarnya, untuk kemudian diaktualisasikan dan diniatkan untuk kemaslahatan
pribadinya dan orang lain.
Manusia
yang telah sampai di piramida tertinggi Maslow berorientasi kepada tujuan,
terus maju dan berkembang menuju ke arah yang lebih baik. Bukan lagi manusia
yang masih terjebak pada bahasan orang lain tentang dirinya. Bukan lagi manusia
yang masih kebingungan dan lelah mendengar apa yang diomongkan kiri kanan.
Penggiat
medsos yang gemar berpamer masih berada pada piramida keempat, kebutuhan
penghargaan. Karena mereka masih memiliki kebutuhan prestise, penghargaan dari
orang lain, status, ketenaran, dominasi, menjadi penting, kehormatan dan
apresiasi. Mereka menampilkan segala apa yang dimiliki, bahkan terkadang
sedikit menutupi/tak menampilkan keadaan yang sesungguhnya karena masih butuh
pengakuan. Begitulah..
Pamer
dengan segala bentuknya memang sangat wajar dan termasuk kebutuhan. Pamer
adalah perilaku yang sangat manusiawi. Manusia memang sudah digariskan untuk
menampilkan apa yang menjadi kebanggaannya, dan itu bisa dijelaskan melalui teori
keilmuan yang sudah diakui. Tentang apakah pamer itu disarankan atau tidak,
berguna atau tidak, berdosa atau tidak, saya tidak memiliki wewenang ilmiah dan
spiritual untuk mengukur dan menghasilkan keputusan final yang dapat
dipertanggungjawabkan kadar kesahihannya..
Referensi Teori Maslow:
http://wardalisa.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/26402/Materi+07+-+TeoriAbrahamMaslow.pdf
http://www.praswck.com/aktualisasi-diri-menurut-abraham-maslow
Aduh!
BalasHapusTernyata aku tipikal yang hobi pamer di medsos!
Pernah pamer foto makanan, biar pada tahu sini bisa masak, padahal ya rasa masakannya itu embuh lah. Sing penting foto makananne memikat hati #tutupmuka
Jawabane wis ning twitter ya mbak.. :))
BalasHapus