Jokowi dan Mantan Kadishub (wartakota.tribunnews.com) |
Jokowi
kembali bikin geger. Ia kembali
melakukan gebrakan untuk kesekian kali. Hari ini (12/2) ia merombak jajaran pemimpin
instansi di Provinsi Daerah Khusus Ibukota. Tak tanggung-tanggung, sebanyak 33
pejabat dirotasi.
Dua
sosok diantara 33 pejabat yang di-reshuffle
tersebut, beberapa hari belakangan telah menjadi sasaran fokus perhatian
masyarakat. Mereka berdua adalah Udar Pristono, Kepala Dinas Perhubungan dan
Unu Nurdin, Kepala Dinas Kebersihan. Diketahui, mereka memiliki kinerja yang relatif
tidak memuaskan.
Udar
Pristono tersandung kasus pengadaan bus Trans Jakarta dari China. Memang itu
sebuah pengadaan yang janggal. Bagaimana tidak, bus baru yang harusnya kinyis-kinyis, mulus dan tak ada lecet
barang sedikit, lha ini kok sudah terjadi karat di beberapa
bagiannya. Tentu hal ini melahirkan pertanyaan dan dugaan. Apakah pengadaan
bernilai milyaran rupiah itu berjalan sesuai prosedur, atau terdapat
persekongkolan kotor para koruptor?
Udar
sebenarnya tidak tinggal diam terhadap tudingan beberapa kalangan yang
mengatakan bahwa ada permainan di proyek tersebut. Ia berkata bahwa berkaratnya
bus terjadi karena terciprat air laut
selama bus menjalani pengapalan dari China. Namun dalih dari Udar tak berhasil meredam
suara sumbang yang kadung ramai
bergaung di media.
Berbeda
dengan Udar yang tersandung kasus bus, Unu Nurdin terpeleset kasus truk. Kasus
yang menyeretnya adalah pengadaan 200 unit truk sampah yang dinyatakan ditolak DPRD.
Kasus tersebut cukup lama berpolemik, bahkan sampai Wagub Ahok beberapa kali
bersuara di media untuk menanggapi. Ahok mengakui kesalahan ada di jajarannya. Ahok
juga pernah berkata bahwa Unu tidak cukup mampu menangani masalah persampahan
di DKI. Unu juga ia anggap tidak cakap dalam pengadaan truk, karena truk tersebut
tidak sesuai dengan kebutuhan pengangkutan sampah.
Kedua
pejabat yang sebelumnya menduduki jabatan strategis sebagai kepala dinas,
akhirnya mau tidak mau harus merelakan kebanggaan dan kekuasaannya. Karena
mereka “hanya” dipindah menjadi anggota Tim Gubernur untuk Percepatan
Pembangunan (TGUPP). Kedudukan kepala dinas adalah kedudukan puncak pada suatu
instansi yang otomatis di dalamnya melekat kekuasaan yang tidak sedikit. Posisi
tersebut adalah posisi eksekutor atau pengambil keputusan dan kebijakan. Posisi
yang terkandung tanggung jawab besar namun juga tersisip kebanggaan dan prestise.
Jelas
berbeda dengan kedudukan sebagai anggota sebuah tim. Tentu sebuah tim adalah
sekelompok manusia yang berkumpul bersama untuk mencapai suatu tujuan.
Kekuasaan dan keputusan diambil bersama secara kolegial. Maka dari itu, sangat
jelas bahwa Udar dan Unu kurang pas jika dinyatakan baru saja dimutasi. Mereka
sebenarnya sedang “dikotak” oleh Jokowi. Kekuasaannya dilucuti. Ini punishment hadiah dari kinerja yang
tidak memuaskan publik sekaligus duo Jokowi – Ahok.
Mutasi
atau pergeseran jabatan sebenarnya hal yang wajar dalam dunia birokrasi. Namun,
ini menjadi luar biasa jika melibatkan nama Jokowi – Ahok yang sedang mendapat
jatah pemberitaan yang masif. Apalagi, diantara 33 orang yang dimutasi tersebut
menyeret sosok yang sedang ramai diperbincangkan karena kasus yang menyita
atensi khalayak.
Jokowi
kembali menunjukkan taringnya sebagai pemimpin yang tegas, bertindak cepat dan
tanpa basa-basi bertele-tele. Kasus Udar dan Unu adalah kasus yang masih sangat
hangat. Namun Jokowi tidak mau menunggu terlalu lama dengan alasan melakukan
telaah terlebih dahulu untuk bertindak. Ia dengan cekatan mengambil langkah.
Pejabat yang ia rasa tidak becus bertugas langsung dicopot. Jokowi sedang
mempertontonkan kepemimpinan yang efisien.
Dari
cara kerja Jokowi di atas, saya berandai-andai. Misalkan, kelak ia ditakdirkan
menjadi RI 1, maka ia pasti tidak ragu-ragu untuk melakukan kocok ulang
terhadap anggota kabinet yang ora jegos
bekerja. Jokowi memperagakan ketegasan yang identik dengan kalangan militer. Jokowi
tidak lelet dan tidak nena-nene.
Saya
setuju dengan cara Jokowi. Pemimpin politik yang masa baktinya terbatas, harus
menghemat waktu dalam cara kerjanya. Karena ada tenggat waktu tertentu yang
harus selalu diingat agar berderet tujuan dapat tercapai. Penghematan waktu
bukan berarti secara serampangan tanpa didahului pemikiran sebelum mengambil
kebijakan. Namun, jika memang dapat mengambil kebijakan tepat dalam waktu yang
cepat, akan lebih oke bukan?
Jokowi
menjadi antitesis pemimpin yang identik dengan deal-deal politik untuk melanggengkan kekuasaan. Ia seolah tak
peduli dengan kelanggengan jabatannya. Dapat terbaca, bahwa ia hanya ingin
kerja dan kerja sebaik mungkin demi memenuhi amanah yang telah diletakkan di
bahunya.
Saya
bukan Jokowi-holic atau Jokowi-lover fanatik yang dengan gelap
mata mendukung secara membabi buta apapun yang dilakukannya. Semenjak Jokowi memimpin
Jakarta, saya selalu mencari cacat dan keburukan dalam cara memimpinnya, namun
sampai saat ini belum bisa menemukan noda yang bisa mengalihkan kesan positif
terhadapnya. Saya tidak bisa mengukur kadar keahlian sekaligus ketulusan
Jokowi, namun sebagai orang sehat saya tetap bisa berpendapat bahwa Jokowi
memang seorang pemimpin yang baik.
Banyak
suara minor yang diarahkan kepada Jokowi. Para hater sering berkata bahwa Jokowi tak beda dengan pemimpin lain
yang gemar lakukan pencitraan. Banjir skala besar yang kemarin melanda Jakarta,
membuat para pembenci itu semakin gencar menyerang Jokowi. Namanya hater ya, apapun yang dilakukan Jokowi
selalu dilihat dari sudut pandang negatif. Tanpa mau berpikir bahwa banjir
Jakarta adalah masalah klasik yang tidak bisa dihentikan seperti menghentikan
aliran selokan depan rumah.
Dari
kacamata objektif, saya hanya bisa beropini bahwa Jokowi ini pemimpin masa
depan yang cukup menjanjikan. Jokowi membuat lega, karena ia menjadi simbol bahwa
Indonesia tidak berhenti memproduksi kader pemimpin yang dapat diandalkan.
Terus bekerja ya Pak..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar