(sumber gambar: masboi.com) |
Di
tanggal 27 Januari 2008, presiden kedua Indonesia, Pak Harto, berpulang. Tepat
enam tahun lalu peristiwa itu sudah berlalu. Pak Harto yang terkenal sebagai
jenderal besar, panglima angkatan perang dan berkuasa selama 32 tahun akhirnya
harus menyerah pada jatah hidup dariNya.
Bisa
dikatakan, Pak Harto wafat dalam suasana yang menyedihkan. Sampai menjelang
akhir hayatnya, beliau masih mendapat cercaan dari berbagai pihak. Beliau
dianggap sosok yang paling berdosa dan harus bertanggung jawab atas segala kebobrokan
bangsa Indonesia dewasa ini. Krisis multidimensi yang melanda Indonesia sejak 1997
disebut sebagai imbas cara memerintah Pak Harto selama tiga dekade lebih.
Pak
Harto sempat diadili, walau secara in
absentia, karena alasan kesehatan. Kemudian pengadilan dihentikan tanpa
pernah memutuskan apakah Pak Harto bersalah atau tidak dalam beragam kasus
mulai korupsi sampai pelanggaran hak asasi manusia. Sampai ujung usianya, Pak
Harto ditempatkan di pojok gelap ruang pesakitan benak sebagian rakyat
Indonesia. Bahkan anak kemarin sore yang belum lahir ketika Pak Harto
memerintah ikut-ikut menghujat beliau tanpa ampun, dengan hanya berdasar kabar
dari media.
Ketika
Pak Harto lengser tahun 1998, mahasiswa bersuka cita. Seolah mendapatkan hadiah
yang demikian agung, mereka bersorak-sorai merayakan tumbangnya pemimpin yang
disebut sebagai Bapak Pembangunan tersebut. Reformasi yang disponsori oleh
mahasiswa dan dipandegani oleh Amien
Rais diproyeksikan menjadi tonggak berubahnya arah gerbong pemerintahan dan
pembangunan di Indonesia ke arah yang lebih baik. Orde Baru disebut sebagai
jaman suram dan ingin segera ditinggalkan, karena dari sanalah sumber dari
segala malapetaka yang sekarang ini harus kita enyam.
Pak
Harto sebagai pemimpin puncak dianggap sebagai sosok yang patut dipersalahkan.
Intinya, beliau dianggap sebagai perusak bangsa kelas wahid sehingga layak
dibenci. Aktivis dan para pengamat ramai-ramai menelanjangi dosa-dosa beliau.
Mereka seperti mendapatkan momentum yang pas untuk mengeluarkan segala hasrat kebencian
yang sekian lama tertahan.
Di
tahun kesepuluh turun tahtanya, Pak Harto wafat. Pemandangan di media massa
ketika beliau lengser dengan saat beliau wafat berbalik 180 derajat. Tak ada sumpah
serapah dan hujatan. Yang ada hanya mata sembab dan basah dari ribuan, bahkan
mungkin jutaan rakyat Indonesia. Sepanjang perjalanan mobil jenazah Pak Harto
mulai dari rumah duka di Cendana, Jakarta sampai Bandara Halim Perdanakusuma,
di tepi jalan orang-orang melambaikan tangan kepada beliau untuk terakhir kalinya.
Wajah sedih dan penuh haru terlihat di sana. Rona kehilangan terpampang nyata.
Pemandangan serupa berlanjut mulai saat turunnya peti jenazah Pak Harto di
Bandara Adi Sumarmo sampai Astana Giribangun di Karanganyar.
Dari
dua peristiwa kontradiktif di atas, harusnya kita mulai bertanya. Sebenarnya, kebencian
banyak pihak kepada Pak Harto apakah mewakili seluruh bangsa Indonesia, atau
hanya berada di pihak yang kebetulan memiliki akses untuk mewartakan opininya
di media yang memiliki lingkup pemberitaan luas, sehingga dianggap mewakili
suara seluruh rakyat Indonesia. Suasana saat Pak Harto wafat rasanya juga harus
dijadikan variabel pengukuran untuk menentukan besaran skala kebencian rakyat
Indonesia kepada beliau. Sambutan hangat sekian banyak manusia kepada jenazah Pak
Harto setidaknya dapat dijadikan tolok ukur, bahwa Pak Harto sesungguhnya tokoh
yang disayangi dan dielu-elukan banyak orang.
Ekspresi
yang mengharukan kepada Pak Harto bisa jadi murni simbol kecintaan atau bangsa
kita ini adalah bangsa yang pemaaf. Memang hal tersebut sulit diukur tingkat kebenarannya.
Tetapi, paling tidak akhirnya kita bisa menarik benang merah bahwa tidak ada
sesuatu yang jelas hitam putihnya. Tidak ada satu hal pun di dunia ini yang
mutlak. Tidak ada seseorang pun yang mampu kita nilai total sebagai penjahat
sampai tidak ada senoktah pun kebaikan yang pernah dilakukan. Demikian juga
sebaliknya, tidak ada seorang pun yang suci dari dosa.
Ada
yang berpendapat, seharusnya negara memperjelas status hukum Pak Harto.
Sehingga dari sana rakyat Indonesia bisa memposisikan Pak Harto seperti apa.
Jika memang bersalah, maka harus diputuskan imbalan yang pas untuk status itu.
Jika tidak bersalah, maka nama beliau yang sedikit banyak sudah tercemar agar
direhabilitasi. Namun, menurut hemat saya biarkanlah posisi Pak Harto seperti
saat ini saja. Tempatkan beliau pada posisi “mengambang” antara penjahat atau
pahlawan, lalu berilah hak prerogatif kepada rakyat untuk menilai dan kemudian
memutuskannya. Karena jika ada putusan dari negara terhadap posisi Pak Harto,
hal itu sama saja akan menjadi semacam “paksaan” terhadap wewenang pikir dan
batin kepada sekelompok manusia yang bersatu sebagai bangsa. Biarkan Pak Harto
ada dan tiada sekarang ini dengan segala baik buruknya.
Bagi
saya, Pak Harto selamanya akan tetap terkenang sebagai pemimpin dengan senyum
khasnya yang sangat charming dan
kebapakan. Suara nge-bass dan
bindengnya akan selalu ada sama seperti saat ryan kecil menyaksikannya di Dunia
Dalam Berita TVRI dulu kala. Kewibawaan sekaligus sikap merakyatnya akan selalu
saya ingat seperti saat kunjungan panen raya di segenap pelosok nusantara. Sikap
kerasnya akan selalu ada di pikiran saya seperti saat membaca berita Pak Harto
berucap “Siapa saja yang mencoba melawan,
akan saya gebuk”. Mata sipitnya saat mesem masih ada di kepala saya,
seperti saat menyaksikan acara Kelompencapir (Kelompok Pendengar Pembaca
Pemirsa). Keangkeran dan pesonanya akan terus terkenang seperti saat beliau
memasuki ruang sidang di Gedung DPR/MPR dan segenap hadirin akan terdiam lalu
berdiri menyambut dengan takzim.
Seperti
itulah Pak Harto versi saya. Mungkin Pak Harto di pikiran orang lain akan sama
sekali berbeda. Biarkanlah saja apa adanya, karena suatu saat sejarah akan
berbicara..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar