(sumber gambar: insoccer.ca) |
Jika
berbicara sepakbola, mustahil rasanya tidak membicarakan Manchester United. MU
adalah brand yang sangat kuat. Bahkan
orang yang tidak begitu menggemari sepakbola, sedikit banyak tahu atau minimal
pernah mendengar nama klub yang dijuluki Setan Merah tersebut.
MU
identik dengan juara. MU adalah kampiun yang sudah merasakan semua gelar
masyhur di dunia sepakbola. Mulai dari juara kompetisi Premier League, Piala FA, Liga Champion dan Kompetisi Antar Klub
Dunia.
Mayoritas gelar tersebut direngkuh MU ketika
dilatih Alexander Chapman Ferguson, atau lebih dikenal sebagai Sir Alex
Ferguson. Sekadar info, gelar kebangsawanan Inggris “Sir” diperoleh ketika ia
membawa MU menggondol treble winners
pada musim 1998/1999. Ya, di musim itu MU menjadi klub Inggris pertama dalam
sejarah yang mampu menjuarai tiga kompetisi berbeda, Liga Inggris, Piala FA dan
Liga Champion.
Saya
beruntung menjadi saksi hidup ketika MU berada di puncak kejayaannya. Masih
lekat dalam ingatan bagaimana Teddy Sheringham dan Ole Gunnar Solksjaer
mencetak gol ke gawang Oliver Kahn ketika pertandingan telah memasuki injury time. Ottmar Hitzfield dan para
official FC Hollywood sudah bersiap
di tepi lapangan untuk berlari menyambut kemenangan, namun apa daya MU-lah yang
ditakdirkan untuk membawa pulang trofi juara. Padahal sampai menit ke 90,
Munich masih unggul 1-0 berkat gol Mario Basler.
Sir Alex menjadi pelatih tersukses sepanjang
masa di kompetisi sepak bola negeri Ratu Elizabeth. Ia membawa MU memenangkan sepuluh
gelar juara liga dan menjadi satu-satunya pelatih yang memenangkan Piala FA sebanyak
5 kali. Sir Alex juga menjadi
satu-satunya pelatih yang berhasil memenangkan gelar Liga Inggris sebanyak
tiga kali berturut-turut bersama tim yang sama (1998/1999, 1999/2000 and 2000/2001).
Sir Alex juga menjadi salah satu pelatih dengan waktu melatih sangat lama di
sebuah klub. Ia berpindah dari Aberdeen ke MU pada 6 November 1986 dan pensiun
pada 9 Mei 2013.
Di
tangannya, Old Trafford menjelma menjadi tempat angker bagi tim-tim yang
melawat ke sana. Dengan polesannya pula, MU melahirkan generasi emas melalui
akademi MU angkatan 1992 yang terkenal dengan sebutan Class Of 1992 atau Fergie
Babes. Class of ’92 ini antara
lain dihuni Ryan Giggs, David Beckham, Nicky Butt, Neville Brothers dan Paul Scholes.
Tidak
akan ada habisnya membicarakan Sir Alex beserta MU-nya. Karena di dalamnya tak
akan bisa lepas dari nama besar seperti Eric “The King” Cantona yang tenar dengan kebengalan dan tendangan kungfu-nya ke penonton di tepi
lapangan. Dari sana tidak bisa tidak, pasti akan terceritakan selebritis
sepakbola nomor 1 dunia, David Beckham dan kehidupan jetset-nya. Terakhir, musykil untuk tidak membahas Hair Dryer Treatment yang menjadi
andalan Sir Alex ketika pemain bermain tidak sesuai harapannya.
Saya
menggemari sepakbola mulai kelas 5 SD pada tahun 1998, ketika Piala Dunia
dihelat di Perancis. Mulai dari sana, saya langsung menggemari AC Milan dan MU.
MU di musim itu, seperti dibahas di paragraf atas, sedang berada di puncak
kejayaannya. Bisa dikatakan, melawan tim apapun, hasil pertandingan MU selalu
bisa ditebak, yaitu kemenangan. Praktis ketika itu, di akhir era 90-an dan awal
2000-an, MU hanya mendapat perlawanan sebanding dari Arsenal. Karena Liverpool
dengan Michael Owen, Robbie Fowler dan Steve McManaman-nya bermain angin-anginan dan tidak stabil. Saat itu
Chelsea belum dibeli Roman Abramovich dan The Citizen belum naik ke Liga Utama.
Baiklah,
rasanya cukup menenggelamkan diri ke dalam kolam kenangan. Kejayaan MU adalah masa lalu yang hanya bisa dijangkau
dengan ingatan. MU yang berbahaya dan ditakuti rasanya ikut sirna terbawa aura
Sir Alex yang telah memasuki masa purna tugas. MU musim ini menjadi tim papan tengah
yang beberapa kali menelan kekalahan, bahkan ketika bermain di Thetre of Dreams, Old Trafford, yang
disebut memiliki daya magis dan mampu membuat tim lawan keder.
Sir
Alex menunjuk David Moyes, pelatih Everton, untuk meneruskan tugasnya. Khalayak
sepakbola tak sedikit yang terkejut. Sangkaan dan analisis banyak media dunia pun
meleset. Mereka menduga Sir Alex akan menunjuk Jose Mourinho atau Pep
Guardiola. Apalagi menjelang pensiunnya, Sir Alex mengadakan meeting tertutup dengan Pep di Amerika.
David
Moyes ini bisa dikatakan sosok siapa-sih-dia-sebelumnya.
Memang tidak salah, bagi orang yang tidak begitu menggemari Liga Inggris, pria
asli Skotlandia itu adalah nama yang asing. Bagaimana tidak, dia memang “hanya” melatih klub medioker
sekelas Everton. Prestasi besar pun belum pernah ia torehkan di klub berjuluk The Toffees tersebut.
Namun,
menurut saya pribadi, David Moyes sebenarnya bukan pelatih yang jelek-jelek amat. Selama satu dekade
melatih Everton, ia selalu berhasil menjaga klub asal Wayne Rooney itu finish di sepuluh besar klasemen. Moyes
juga dikenal sebagai pelatih yang sangat disiplin, bahkan diberitakan, sistem
melatihnya menggunakan metode semi-militer. Saya pun makin excited menunggu taktik racikan Moyes di MU.
Namun
apa daya, ternyata sampai di tengah musim ini, MU masih terseok di papan
tengah. Musim ini adalah musim terburuk MU selama beberapa tahun terakhir. Moyes
otomatis menjadi sosok yang paling diserang tiap MU mendapat hasil buruk.
Sebenarnya
apa yang salah dengan MU musim ini? Apakah benar ini semua semata-mata
disebabkan kegagalan Moyes? Berikut ini analisis sederhana saya…
Tatkala
berbicara tentang sepakbola, sebetulnya kita seperti sedang membahas wanita.
Semua serba sumir dan analisis sepresisi apapun niscaya tak akan bisa 100 %
menghasilkan kebenaran. Hitungan dan kalkulasi di atas kertas seringkali gagal
mengukur dan menerka sepakbola. Tetapi, untuk kasus MU, secara objektif
sebetulnya bisa dijelaskan dengan logika yang cukup sederhana. Begini:
1. MU sedang
di masa transisi
MU
keponthal-ponthal musim ini karena sedang
berada di masa transisi. Bayangkan, MU dengan sistem permainan yang mapan dan
telah melembaga selama 25 tahun lebih, tiba-tiba harus disentuh oleh sistem
baru. Di MU saat ini sedang berlangsung
pergeseran budaya. Cipta, rasa dan karsa Sir Alex yang nyawiji, menyatu bersama pola permainan yang dicanangkannya, harus
digantikan oleh orang dan pola anyar.
Pemain
sehebat apapun pasti akan mengalami penyesuaian. Apalagi jika pelatih dan
sistem baru tersebut membawa pemain baru. Hal tersebut akan membuat penyesuaian
berjalan dua kali. Pertama, antar pemain harus saling menemukan chemistry agar nyetel satu sama lain. Kedua, mereka semua harus menyesuaikan
sistem baru yang dibawa pelatih.
2.
Kegagalan
Giggs
Lho, mengapa Giggs yang pendiam
dibawa-bawa dalam remuknya MU?
Giggs
disebut sebagai jembatan penghubung antara pemain lama yang sudah fasih menjalankan
sistem bermain Sir Alex dengan Moyes dan pemain baru yang direkrutnya. Diberitakan,
Giggs diplot Sir Alex sebagai messenger
dan kadernya. Sir Alex tak ingin sepeninggalnya, MU berubah drastis, dari tim
yang Sir Alex banget menjadi tim yang
sama sekali baru.
Nah, di
situlah peran Giggs. Ia harus menjadi “mediator” antara sistem Sir Alex dan
meleburkannya dengan sistem baru dari Moyes. Mungkin saja, kegagalan MU musim
ini karena peran yang dibawa Giggs tersebut tidak berjalan mulus. Akibatnya, MU
berubah menjadi tim yang benar-benar baru, lalu dipaksa untuk mencari-cari strategi
yang cocok.
3.
Belum
ditemukannya pengganti Scholes dan Keane
Permainan
MU musim ini menurut pengamatan asal-asalan
saya, seperti tim yang sedang
meraba-raba kekuatan diri sendiri sekaligus kekuatan lawan. Mereka seperti
kehilangan karakter bermain. Dalam beberapa permainannya, MU sering mengalami
kehilangan bola dengan alasan yang tidak jelas. Passing tidak mengalir dan tak berhasil membingungkan lawan. Serangan
pun seringkali mandheg dan tidak
menghasilkan apa-apa, kecuali kekecewaan.
Lapangan
tengah sebagai penyuplai bola ke depan, terlihat kurang kreatif. Pertandingan Sabtu (1/2) saat melawan Stoke
City, menampilkan MU yang selalu menyerang melalui sektor kanan dan selalu dari
kaki Rafael. Pemain belakang Stoke dengan mudah membacanya. Serangan berjalan
monoton dan gampang ditebak. Yang terbaru adalah pertandingan Minggu ini (9/2)
melawan tim papan bawah asuhan mantan tangan kanan Sir Alex, Renee Meulensteen,
Fulham, MU kesulitan menjebol gawang Fulham sampai pertengahan babak kedua.
Walau sampai menit 93 MU unggul 2 - 1, kenyataannya, tepat di menit 94, Darren
Bent menggagalkan pesta kemenangan MU.
Kocar-kacirnya
lapangan tengah MU, menurut saya disebabkan oleh gagal ditemukannya pengganti
Paul Scholes dan Roy Keane. Dulu, bagian tengah MU terkenal kokoh sukar
ditembus dan menghasilkan alur serangan yang sama baiknya dengan saat bertahan.
Keane ketika itu sukses menjadi penghubung pemain belakang dan depan. Ia salah
satu tukang angkut air terbaik di
dunia. Keane, yang merupakan kapten utama MU, acapkali berhasil membuat pemain
lawan frustasi. Keane juga tenar sebagai pemain temperamental dan tak kenal
kompromi. Sliding tackle keras tak
jarang dihadiahkan kepada lawan yang ngeyel.
Scholes
dikenal sebagai jenderal lapangan tengah yang memiliki determinasi tinggi.
Seluruh penjuru lapangan tak lepas ditelusuri, karena ia memiliki daya jelajah
yang mantap. Tendangan kerasnya dari luar kotak penalti sering juga merepotkan
kiper lawan.
Walau
Keane sudah sejak 2005 pindah ke Glasgow Celtic, dan beberapa pemain sudah bergilir
menggantikannya, namun menurut saya, belum ada pemain yang pas dan pantas
disebut sebagai penggantinya. Paul Scholes yang sempat pensiun di 2011 dan
bermain lagi Januari 2012 – Mei 2013, pun sama. Belum ada pemain yang bisa
gantikannya.
Michael
Carrick dan Marouane Fellaini sampai saat ini belum mampu kuatkan sektor tengah
MU seperti dulu. Mereka belum padu dan tak cukup tangguh. Sedangkan Juan Mata
baru saja tiba dari Chelsea. Mungkin butuh waktu bagi mereka untuk menyatu,
tapi entah sampai kapan.. *nangis*
4.
Moyes
pelatih yang gagal
Jangan-jangan,
MU yang kurang mampu bersaing di musim ini disebabkan karena kesalahan Moyes.
Jangan-jangan memang benar bahwa ia belum cukup berkompeten untuk menukangi tim
sekelas MU. Jangan-jangan kapasitas skill
dan stock strategi yang dimilikinya
belum cukup oke untuk mengobrak-abrik pertahanan musuh. Bisa
jadi, bukan?
Pelatih
dan tim sepakbola sebenarnya seperti sepasang kekasih. Ada yang berjodoh ada
yang tidak. Pelatih yang meraup bermacam gelar di klub A, ketika pindah ke klub
B belum tentu bisa mengulang prestasi yang sama. Pelatih yang hancur-hancuran
di klub A, justru di klub B panen gelar. Seperti itulah. Silakan putuskan
sendiri, Moyes termasuk kategori pelatih yang seperti apa.
5.
Pesaing
semakin bagus
Nasib
MU jaman ini, berbeda dengan MU satu dekade lalu. Jaman itu, MU seperti
melenggang sendirian memimpin di depan. Tapi sekarang semua telah berubah. Peta
persaingan Liga Premier Inggris semakin ketat.
Setelah
diakuisisi Roman Abramovich, seketika Chelsea menjelma menjadi tim bertabur
bintang. Apalagi mereka dilatih oleh pelatih bertangan dingin, Jose Mourinho.
Musuh sekota MU, Manchester City saat ini telah menjadi kekuatan baru Liga
Premier Inggris semenjak dibeli saudagar Arab.
Arsenal
menjadi semakin menakutkan semenjak mendatangkan Mezut Ozil. Pemain yang
“dibuang” Real Madrid itu sekarang menjadi tumpuan The Gunners. Umpan-umpannya sering dengan mudah dikonversi menjadi
gol. Liverpool saat ini juga tidak bisa dipandang remeh. The Reds memiliki Si Gigi Kelinci Luis Suarez yang sangat produktif
akhir-akhir ini. Yang baru saja terjadi dua hari lalu, tanpa terduga, Arsenal
dihajar 5 – 1 tanpa ampun oleh Gerrard dan kawan-kawan.
Terpuruknya
MU musim ini, bukan mustahil karena tim lain semakin bagus, sedangkan MU
begitu-begitu saja sejak dulu. MU mungkin tetap bagus, tapi tim lain jauh lebih
bagus. Akhirnya, seperti sekarang inilah hasil yang harus dirasakan.
Seperti
itulah analisis saya yang kebetulan tidak memiliki latar belakang sebagai
pemain sepakbola, atau komentator sekalipun. Hanya sebuah analisis dari seorang
penggemar sepakbola yang berusaha untuk terus memantau perkembangannya melalui
bermacam media. Jika ada noda-noda yang terbaca sebagai suatu kesalahan,
berwujud kekurangakuratan data dan fakta, mohon maafkan saya.. *salim*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar