(sumber gambar: active-sw.net) |
Sepakbola merupakan olahraga paling terkenal di seluruh belahan
dunia. Ratusan juta atau mungkin milyaran manusia menggemarinya. Konteks zaman
ini, sepakbola sudah bukan lagi hanya sekadar olahraga, namun sudah menjadi
industri dengan perputaran uang yang demikian besar. Sepakbola tidak hanya
menjadi media menggerakkan tubuh agar sehat dan berkeringat, namun sudah
menjadi mesin raksasa pencetak uang.
Sepakbola dengan segala dinamikanya selalu menarik untuk disimak.
Entah itu transfer pemain antar klub, hasil pertandingan semalam atau
pecat-memecat pelatih. Hampir semua sisi sepakbola bisa dijadikan sumber berita
yang dijamin mampu menaikkan oplah, rating dan share media
yang memberitakannya.
Berbicara tentang sisi sepakbola, rasanya tidak bisa dilepaskan
dari teknologi yang beberapa waktu belakangan ini sudah mulai “mengintervensi”
kesucian dan kuasa mutlak indera manusia sebagai pelakunya. Teknologi canggih
sudah ikut “bermain” di dalamnya. Mulai dari bola yang dirancang dengan teknik
komputerisasi mutakhir sehingga memiliki akurasi yang presisi, statistik
komputer pencatat kondisi pemain sampai teknologi garis gawang. Teknologi yang
disebut paling akhir itulah yang akhir-akhir ini mendapat banyak sorotan.
Sebenarnya, wacana pengaplikasian teknologi garis gawang sudah
lama digaungkan. Namun teknologi itu mulai santer dibicarakan kembali sejak
insiden pertandingan di Piala Dunia 2010. Ketika itu gol Frank Lampard dianulir
wasit yang meyakini bola tidak melewati garis gawang, namun setelah diperiksa
di tayangan ulang, jelas terlihat itu sah disebut gol. Alhasil, Inggris
tersingkir dari turnamen dan kalah menyakitkan dengan skor 4-1 dari musuh
bebuyutan, Jerman.
Teknologi garis gawang atau goal line technology (GLT)
sebelum menyentuh sepakbola sebenarnya sudah digunakan di beberapa cabang
olahraga lainnya. Sebut saja di olahraga kriket yang dinamakan Umpire
Decision Review System, sudah dipakai sejak 2008. Tenis lebih dulu memakai
teknologi sejak 2006 pada turnamen WTA dan ATP. Billiard, Gaelic dan Football
Australia juga sudah lama menggunakannya.
Setelah melalui serangkaian uji coba di sepanjang tahun 2012,
akhirnya sepakbola menggunakan GLT di Liga Premier Inggris mulai musim
2013/2014 ini. GLT yang secara khusus disebut Hawk-Eye tersebut hanya digunakan
di lapangan liga teratas di Inggris itu dan di stadion legendaris Wembley.
Kompetisi di bawahnya dan liga lain di negara persemakmuran Inggris belum
memakai Hawk-Eye.
Hawk-Eye menggunakan 14 titik kamera, tujuh kamera ditempatkan
untuk setiap gawang dan diletakkan di seluruh stadion, biasanya tinggi di atap.
Masing-masing kamera ini melacak pergerakan bola, dengan sistem yang mampu
mendeteksi bola yang melintasi garis gawang bahkan jika hanya sebagian kecil
dari yang terlihat. Selisih sedetik, wasit akan mendapatkan tulisan “gol” di
arlojinya jika memang bola melewati garis gawang.
Setelah tarik ulur sekian lama, akhirnya FIFA memutuskan untuk
menggunakan GLT pada Piala Dunia 2014. Keputusan tersebut diambil FIFA setelah
puas dengan kinerja GLT di perhelatan Piala Konfederasi 2013 dan Piala Dunia
Antar Klub 2013. Berbeda dengan Liga Premier Inggris yang menggunakan teknologi
Hawk-Eye dari Sony, FIFA sebagai event organizer Piala Dunia
memilih untuk menggunakan GLT milik perusahaan Goal Control GmbH asal Jerman.
Saya lega ketika FIFA akhirnya merilis pernyataan bahwa GLT adalah
teknologi terakhir yang diadopsi dalam permainan sepakbola. Karena saya sebelumnya
tak begitu setuju dengan pengaplikasian GLT. Sebabnya, GLT ini mampu menjadi
pintu bagi teknologi lain untuk masuk lebih jauh ke sepakbola. Opini saya, jika
teknologi masuk terlalu jauh ke sepakbola, akan berpotensi menghilangkan nilai
seni sisi alamiah manusia. Maksud saya, sisi alamiah manusia yang di dalamnya
terdapat kesalahan dan kealpaan justru menjadi point tersendiri
yang membumbui dunia olahraga. Luput-luputnya wasit, penganuliran gol, dan
lengahnya hakim garis adalah aspek manusiawi yang dalam batasan tertentu justru
menambah keindahan sepakbola.
Kesalahan dan kealpaan yang menjadi kelemahan manusiawi menjadi
pelengkap yang mau tidak mau harus diterima. Bahkan tak jarang, di sana
terdapat hal yang menarik, misalnya sisi dramatis, emosional dan perseteruan
yang menghiasi sepakbola. Dengan diaplikasikannya berbagai macam teknologi
dalam olahraga pada umumnya dan sepakbola pada khususnya, sisi alamiah
manusiawi menjadi tereduksi. Jika demikian, lalu apa bedanya kita dengan mesin?
Setelah ramai-ramai masalah GLT, wacana pengaplikasian teknologi
lainnya sebenarnya sudah ramai dibahas. Teknologi ini adalah chips pada jersey pemain
untuk memantau stamina pemain dan video tayangan ulang sebagai dasar
pengambilan keputusan wasit. Kabar terakhir, teknologi chips pada jersey pemain
sejauh ini masih tertolak, karena terdapat regulasi yang melarang adanya
komunikasi antara pemain dan staf di pinggir lapangan dilarang. Video tayangan
ulang sementara ini juga masih ditolak FIFA. Namun tidak menutup kemungkinan,
kedua teknologi tersebut dan teknologi lain akan dihalalkan, karena GLT
sebelumnya juga menjadi polemik selama sekitar satu dekade. Salah satu pihak
yang tak setuju waktu itu adalah organisasi sepakbola Eropa (UEFA) yang
dipimpin legenda Perancis, Michel Platini.
Jika memang dua teknologi di atas kemudian dipakai, maka saya
adalah orang pertama yang berjanji tak lagi menyukai sepakbola. Sepakbola
menarik karena di sana menyertakan segenap elemen fisik dan emosional manusia.
Di dalamnya terdapat aspek kelemahan dan kelebihan manusia. Karena terdapat
kelemahan dan kelebihan manusia, kita dipaksa menduga-duga, penasaran, deg-degan,
marah dan memprotes. Lalu timbul intrik, friksi, konsep berpihaknya dewi
fortuna dan bekerjanya tangan Tuhan. Di situlah asyiknya.
Jika semua kelemahan dan kelebihan itu bisa terpantau dengan
tujuan dikurangi bahkan dihilangkan eksistensinya, dalam sekejap sepakbola
kehilangan ruhnya. Sepakbola tidak wajar dan alami lagi. Jika semuanya serba
komputerisasi, lebih baik kita membuat robot, kita install program
untuk bermain sepakbola, berkoordinasi urunan beli gorengan lalu ramai-ramai
menontonnya.
GLT
ini sebaiknya digunakan sebagai momentum titik pangkal diproduksinya suatu
regulasi baku yang mengatur limitasi penggunaan teknologi dalam olahraga. Harus
ada batasan sejauh mana teknologi diperbolehkan masuk ke olahraga. Agar
olahraga tetap menjadi ajang olah fisik dan rasa manusia..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar