(sumber gambar: cynaradixie.blogspot.com) |
Oleh sebab efek negatif yang ditimbulkan bencana
itulah, beragam asumsi, dugaan dan hipotesis ramai-ramai dilontarkan. Bencana acapkali
disebut sebagai teguran, pelajaran atau hukuman (azab). Sebagai manusia, memang hanya dugaan yang mampu kita
jangkau, tanpa pernah tahu bagaimana standar operasional pengukuran
kebenarannya.
Dalam konsep hukum agama, sesungguhnya apapun yang
terjadi dalam hidup kita adalah ujian, baik itu gelimang harta atau bencana. Tergantung
bagaimana penyikapan kita terhadapnya. Kembali kepada cara memandangnya.
Jika bencana alam diposisikan sebagai azab, maka tanpa
perlu berpikir njelimet, sebagian
orang telah menganggap para korban sebagai kaum yang pantas untuk dihukum. Dari
sudut pandang sosial, cara pikir seperti itu haruslah dihindari, karena di
dalamnya terkandung prasangka buruk. Kesombongan
pun telah menyelinap di hati si pemvonis, karena merasa diselamatkanNya.
Prasangka-prasangka seperti itu jika dibiarkan akan
tumbuh dan menjalar ke lini kehidupan lain. Tidak menutup kemungkinan dari sana akan
timbul konflik sosial yang lebih dalam dan sukar diurai. Memang, diperlukan
kesantunan dan kepekaan dalam memandang sesuatu.
Cara terbaik dalam memandang bencana adalah selalu
berprasangka baik terhadap Tuhan. Komponen masyarakat yang dapat kita jadikan suri
tauladan adalah warga lereng Gunung Merapi. Mereka terkenal sebagai orang-orang
yang bisa menyelaraskan hidupnya dengan alam. Mereka tidak pernah marah ke
Tuhan, juga tidak pernah mengira Tuhan marah kepada mereka. Saat Merapi meletus,
memuntahkan jutaan kubik material dan menerjang apa saja yang dilewatinya,
warga yang terimbas memilih untuk berkata Merapi
lagi nduwe gawe, Merapi baru punya kerja. Tak heran, berkali terkena
letusan, mereka tetap enggan untuk direlokasi.
Dengan paradigma seperti itu, segala kepedihan
akibat bencana bisa terminimalisasi. Bencana dianggap sebagai sebuah
keniscayaan, sunnatullah dan cara
alam menyeimbangkan diri. Berkah juga siap menunggu di hari depan.
Banjir sebagai jenis bencana yang bisa dicegah,
sesungguhnya lebih jauh jaraknya dari terminologi azab. Di dalamnya terdapat banyak potensi untuk memetik pelajaran.
Daripada memvonis Tuhan telah menghukum melalui azab banjir kepada mereka yang
berdosa, alangkah lebih baik jika banjir kita pandang sebagai akibat dari
kesalahan manajemen tata kelola manusia terhadap alam. Dari titik itu, justru
kita dituntut untuk berpikir bagaimana memproduksi teknik yang solutif. Lebih elok
berfokus pada solusi teknis dan penguatan modal sosial daripada saling
menyalahkan.
Lalu, dimanakah kita seharusnya meletakkan konsep
azab?
Azab biarlah ada di ranah hati dan pikiran.
Janganlah ia dijadikan pisau untuk melukai orang lain. Biarlah azab ada untuk
kita jadikan alat introspeksi dan media berdialektika dengan Tuhan. Tempatkan
azab sebagai harga yang harus kita bayar dari kesalahan pribadi masing-masing.
Posisikan ia di ranah kalbu tersendiri sebagai kontrol amalan. Letakkan ia
sebagai akibat dari kebobrokan per individu..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar