(sumber: bo-la.com) |
Sabtu, 12 Oktober 2013
menjadi hari yang akan dikenang dalam jangka waktu yang panjang oleh kita
semua. Di hari magis itu, penantian lama publik sepakbola Indonesia akhirnya
bermuara dengan indah. Timnas under-19 lolos ke Piala Asia di
Myanmar 2014 setelah mengalahkan juara 12 kali, Korea Selatan dengan skor 3-2.
Seperti mimpi, Indonesia
yang sama sekali tak dijagokan, mampu dengan cantik mencengangkan negeri K-Pop.
Evan Dimas cs. secara tak terduga mampu menunjukkan sepakbola yang indah bak
permainan F.C. Barcelona. Mereka mengandalkan umpan-umpan pendek seperti
layaknya gaya serangan tiki-taka yang diperagakan Messi, Xavi
Hernandes dan Andres Iniesta. Lapangan tengah dikuasai dengan modal goyangan
dan gocekan Maldini Pali, Evan Dimas dan Ilham Udin Armain.
Pemain Korsel dibuat kebingungan. Walhasil, pertahanan mereka sering dibuat
kocar-kacir. Dengan hasil di luar dugaan itu, bandar judi dibuat
kelimpungan, prediksi pengamat dibalikkan, angka-angka statistik rekam
jejak Korsel terpatahkan. Hasil riil di lapangan lebih berbicara dibanding
coretan di atas kertas.
Saya ternganga. Tak
percaya, anak-anak muda yang sebelumnya entah berasal dari kolong langit
sebelah mana itu, tiba-tiba muncul dengan gaya permainan yang sungguh ciamik dan
menggetarkan. Kebanggaan muncul di dada.
Tiga hari kemudian,
timnas senior bermain melawan China dan hanya mampu bermain imbang 1-1. Tim
senior menghadapi China dengan permainan yang terpaksa harus saya katakan
buruk. Buruk jika mengacu standar yang telah ditunjukkan oleh Evan Dimas dkk.
Timnas senior bermain dengan modal umpan-umpan panjang dan tendangan spekulasi
dari luar kotak pinalti. Dengan fisik pemain China yang rata-rata
tingginya di atas pemain kita, tentu strategi itu seringkali gagal
dan mentok tanpa hasil. Permainan mereka seperti tanpa determinasi dan
pola strategi yang tertata apik. Yah, seperti partai-partai yang mereka lakoni
sebelumnya. Nyata adanya, sorry to say, timnas senior harus
belajar banyak dari timnas under-19.
Timnas senior
harus ngangsu kawruh kepada adik-adiknya itu, setidaknya pada
dua aspek yang akan saya uraikan di larik-larik selanjutnya. Pertama, timnas senior harus
mempelajari sikap mental yang dimiliki oleh personel timnas u-19. Secara jam
terbang, tentu saja timnas senior jauh di atas timnas u-19. Namun, senioritas
yang di dalamnya terkandung usia dan pengalaman yang lebih banyak, dalam kasus
ini justru menjadi kontraproduktif. Pasalnya, semakin tua seseorang, mereka cenderung lebih
rasional, dan itu berarti semakin banyak variabel pertimbangan yang ada di
ruang pikir.
Jika kita korelasikan
dengan konteks ini, maka timnas senior harus coba aplikasikan cara pikir anak
muda timnas u-19 yang relatif belum makan banyak asam garam kehidupan. Hingga
mereka bisa dengan “gelap mata” hadapi dan terjang semua yang ada di depan.
Timnas u-19 lebih tak peduli dan tak mau tahu dengan embel-embel nama
besar Korsel. Persetan dengan judul Korsel sebagai juara Piala Asia sebanyak 12
kali. Yang mereka tahu hanya, jalankan instruksi pelatih, main bagus,
bertahan, serang dan golkan. Itu saja. Tak ada takut-takutnya. Ketakutan
akan menggiring kepada kegagalan. Seperti bayi yang belajar berjalan,
terjatuh lalu coba dan coba lagi. Tanpa ambil pusing ada kerikil
tajam dan ancaman batu yang berpotensi menyandung di depan sana. Ingat ‘kan
semboyan yang diucapkan Bung Karno: “BERI AKU SEPULUH PEMUDA, MAKA AKAN
KUGUNCANG DUNIA!”
Aspek kedua yang harus dipelajari
timnas senior (beserta pengurusnya) adalah dari aspek pelatih. Indra
Sjafri bisa dikatakan bukan nama besar di dunia persepakbolaan nasional.
Namanya berada jauh di bawah bayang-bayang Rahmad Darmawan, Benny Dollo dan
Jacksen F. Thiago. Ia tiba-tiba saja muncul dengan membawa perubahan. Bukti
nyata yang telah ia torehkan adalah membawa timnas u-19 menjuarai piala AFF di
Sidoarjo sebulan silam. Semenjak itu, namanya seliweran di
media massa.
Belum lama menghela
nafas bahagia dengan juaranya timnas u-19 di ajang AFF, tiba-tiba publik
dihentak lagi dengan sensasi yang dibawa Indra Sjafri, Garuda Muda lolos ke
Piala Asia u-19. Publik semakin dibuat penasaran. Dengan formula dan jampi-jampi macam
apa Indra mampu wujudkan hal yang sebelumnya semacam utopia itu. Selidik punya
selidik, ternyata Indra punya resep orisinil dalam meracik dan memadu-padankan
bakat seluruh anak asuhnya. Jika pelatih timnas kebanyakan memilih dan
memanggil pemain hanya dengan dasar pertimbangan pencapaian pemain di
tim-tim ngetop dari divisi utama dan publikasi media, pelatih
dari Lubuk Nyiur, Sumatra Barat itu punya cara unik. Ia memilih untuk blusukan ke
daerah-daerah terpencil untuk mencari pemain terbaik.
Indra tak segan mencari
informasi langsung dari masyarakat umum tentang siapa pemain menonjol yang
bermain di kompetisi setempat. Bahkan Indra mengaku, pernah berkunjung ke suatu
kompetisi antah-berantah, divisi entah berapa, untuk menyaksikan pertandingan
yang dimainkan oleh pemain yang direkomendasikan oleh tukang ojek yang
mengantarnya. Hasilnya, didapatlah bek Sahrul Kurniawan.
Indra, yang sebelumnya
berprofesi sebagai instruktur dan pemandu bakat di PSSI, juga melakukan
kunjungan ke daerah-daerah yang sebelumnya jarang sekali terdengar di kancah
sepakbola nasional. Tercatat semisal, ia mendapatkan Zulfiandi Cole dari
Bireun, Aceh dan Yabes Roni Malaifani dari Kepulauan Alor. Indra mengaku sudah
berkunjung ke 34 daerah di seluruh Indonesia untuk mencari bakat-bakat emas. Mungkin
di benak Indra tercetus tekad untuk membuktikan pertanyaan besar: “Masa’ temukan sebelas pesepakbola hebat dari
230 juta penduduk Indonesia tak bisa?”
Sebelum pertandingan
melawan Korsel, Indra sempat berkata: “Jangan terlalu dibesar-besarkan soal
Korsel. Indonesia lebih besar dari Korsel. Sampaikan kepada Korsel kami akan
mengalahkan mereka pada 12 Oktober nanti.”
Kemudian setelah
mengalahkan Korsel, ia berkata: “Di dunia ini yang tak boleh dilawan cuma
orang tua. Di dunia ini, yang boleh ditakuti hanya Tuhan. Jadi boleh dong kami
tak takut saat melawan Korsel. Alhamdulillah kami menang.” Dari kutipan
ucapan Indra itu, terlihat bahwa sosok ini mempunyai rasa percaya diri yang
cukup. Ia tak gentar hadapi tim sekelas Korsel. Ia sosok anti-minder. Ini yang
harus dipunyai pelatih lain di Indonesia!
Dengan sikap mental
seperti itu, aura positif akan mudah terserap oleh anak asuhnya. Mereka akan
tertular prinsip yang dimiliki sang pelatih. Ditambah dengan asupan-asupan
spiritual dan character building yang selalu diinputkan Indra,
timnas u-19 menjadi tim yang kokoh dan solid. Indra tak hanya memberikan teknis
taktik dan strategi permainan, lebih dari itu ia selalu menekankan bahwa
seluruh pemain harus selalu mengingat Tuhan, yaitu dengan selalu bersyukur dan
berdoa. Output dari itu semua termanifestasikan dalam pilihan
selebrasi setelah ceploskan gol, sujud syukur. Model perayaan yang melukiskan
kerendahhatian dan jauh dari hal-hal yang melampaui batas. Perayaan yang
demikian religius.
Segenap harapan
terlanjur tercurah begitu besar kepada Garuda Muda. Semoga tidak menjadi beban,
dan justru menjadi pelecut agar semakin menjadi tim yang prestatif. Ini baru awal
dan tonggak untuk terus tumbuh ke atas. Jangan sampai tim ini layu sebelum
berkembang. Sebisa mungkin, tim muda ini dijauhkan dari tangan-tangan kotor
yang berkeliaran di industri sepakbola Indonesia.
Khuzuson untuk timnas
senior, jangan sampai enggan untuk memetik ilmu dan pelajaran dari yang lebih
muda. Semoga prestasi adik-adik ini menjadi stimulant agar
menjadi tim yang dapat diandalkan di muka dunia. Jayalah sepakbola Indonesia!!!
tulisan yang bagus mas (y)
BalasHapustapi imho, kurang etis juga membandingkan timnas u19 dengan timnas senior.
timnas u19 cikal bakalnya adalah timnas u17 yg berintikan pemain-pemain seperti ravi, faturohman, i putu gede, hargianto, zulfiandi, evan dimas dan muchlis. mereka menjadi backbone. tim ini berlanjut ke u18 dan u19, dengan penambahan pemain sesuai kebutuhan coach indra dan mengikuti berbagai turnamen. mereka telah bermain bersama +- 3th. implikasinya jelas, mereka telah paham satu sama lain, chemistry sudah terjalin dan kolektivitas meningkat. tinggal mengasah skill dan taktik.
beda halnya dg timnas senior. pelatih sering gonta-ganti. pemain baru dikumpulkan hanya saat menjelang satu pertandingan/satu event. meningkatkan kolektivitas dan kualitas tim hanya dalam waktu beberapa hari saja? ya sulit mas :D tapi jika timnas ini dibentuk dalam waktu +- 3th dan diikutkan ke berbagai turnamen (paling tidak ke kompetisi ISL), imho saya yakin timnas senior dapat melebihi prestasi u19.
contoh paling real ya tim persipura. dalam lima musim terakhir, timnya tidak banyak perombakan. hanya menambah pemain berkualitas di posisi tertentu. hasilnya? jelas mereka merajai ISL. sudah berapa gelar? hitung saja sendiri :D siapa pelatih persipura? JFT! pelatih timnas saat ini. anda bisa bayangkan jika JFT membentuk timnas dalam kurun +- 3th dan sering mengikuti kompetisi/turnamen?
apple to apple lah ya :D