Orang-orang yang memiliki rasa
keindahan yang tinggi di dalam dirinya, menggambarkan Indonesia adalah tanah
surga. Indonesia adalah potongan tanah dewata yang dijatuhkan ke dunia.
Indonesia diciptakan ketika Tuhan sedang ceria dan tersenyum bahagia.
Imbasnya, Indonesia dikirimi
sedemikian besar kenikmatan yang susah dicari tandingannya. Iklim tropis
bersuhu hangat dan tidak ekstrim. Keanekaragaman hayati yang luar biasa.
Kekayaan bahan tambang dan mineral seolah tanpa batas. Indonesia bak perawan
bertubuh molek yang sedang ranum-ranumnya, sehingga memancing untuk segera
dicecap segala potensi jiwa raganya.
Namun, dari semua kelebihan dan
anugerah yang ditambatkan Tuhan untuk Indonesia, rasa-rasanya ada kelemahan
yang sejatinya harus segera dicari formula untuk solusi terbaiknya. Kelemahan
ini justru terdapat pada khalifah yang
dititipi untuk mengelola tanah surga Indonesia. Ya, manusia Indonesia harus
segera berbenah diri.
Tanpa ragu saya mengatakan
bahwa sudah sejak lama kita, manusia Indonesia memiliki perasaan inferior atau
krisis percaya diri yang kronis. Keminderan ini sudah mencapai titik nadir. Ini
menyedihkan.
Hal kecil yang mengindikasikan
itu, salah satunya yaitu banyak dari kita yang heran dan kagum terhadap sosok
bule yang berkeliaran di tempat-tempat wisata. Kita terpesona melihat manusia
asing itu. Beberapa dari kita pasti pernah ngotot untuk sekadar berfoto dengan
mereka, untuk kemudian dipamerkan kepada simbah atau pakdhe di
desa.
Banyak perusahaan berebut
mempekerjakan para ekspatriat. Rata-rata mereka direkrut untuk mengisi posisi
strategis di perusahaan-perusahaan bonafide dengan gaji
mengikuti mata uang negara asal mereka. Sementara posisi-posisi rendahan selalu
diisi oleh manusia bangsa kita sendiri. Kita justru percaya diri untuk
merendahkan diri sendiri.
Para wanita baru merasa cantik
jika sudah berkulit putih, berhidung mbangir dan rambut
kemerahan. Akhirnya, semakin banyak terlihat di jalan, wanita berambut merah/blonde,
muka putih, leher dan telapak tangan berwarna gelap. Rasanya mereka lebih pas
disebut sebagai anak yang habis main layangan daripada wanita cantik. Mereka
lupa dengan kodratnya sebagai wanita Indonesia yang sudah diberi keindahan
sesuai definisi Tuhan tentang kecantikan versi Indonesia. Wanita Indonesia malu
untuk menjadi wanita Indonesia.
Kita selalu menyebut musik asli
khas Indonesia sebagai musik yang kampungan. Sehingga berlombalah kita untuk
malu mengaku menggemarinya. Dangdut dengan keindahan dan kerumitan harmonisasi
aransemen saja, dicap sebagai musik kaum pinggiran yang miskin. Keroncong dicap
sebagai musik khas masa lalu dan hanya untuk digemari kaum tua yang tidak
berpendidikan. Musik campursari adalah musik yang hanya untuk dinikmati orang
bodoh dan tinggal di pelosok nan kumuh. Pemuda Indonesia merasa keren jika
sudah menggemari musik-musik bentukan luar negeri.
Kita bangga dengan hanya
disebutkan di salah satu dialog di film Hollywood. Kita bangga dengan hanya
masuk ke dalam cerita Tintin sewaktu ia mengadakan tur ke Indonesia. Kita bungah dijadikan
tempat shooting film-film Barat. Kita kagum saat tim sepakbola
Eropa memakai batik dalam lawatannya ke Indonesia. Kita girang bukan main
ketika ada bule bisa memainkan gamelan dengan baik. Bukankah kita seharusnya
dengan wajar saja menyikapinya karena kita bangsa besar yang pantas untuk
mendapatkan itu semua? Bukankah seharusnya mereka yang bangga? Bukankah sebagai
bangsa yang kaya akan budaya kita memang pantas dapatkannya? Jangan kaget dan
bangga berlebihan hanya mendapatkan “penghargaan” seperti itu. Ojo
kagetan lan ojo gumunan..
Kita dengan senang seolah tanpa
dosa, mengakui telah mengadakan MoU dengan bangsa asing untuk serap segala
kemanisan sumber daya alam. Kita bangga mengatakan bahwa SDM Indonesia belum
mampu mengelola. Kita sudah terbiasa menyatakan teknologi yang kita punya belum
mampu menanganinya. Dengan senang hati kita mengemis bantuan tenaga dan
teknologi dari negara asing. Celakanya, mereka yang kita mintai tolong itu,
juga sekalian mencuri. Kita yang sudah tahu dicuri, justru mempersilakan mereka
untuk semakin banyak mencuri.
Kita dikenal sebagai negara
dunia ketiga. Judul negara ini adalah negara berkembang, dengan salah satu
sumber devisa terbesar dari mengekspor Pembantu Rumah Tangga. Tanpa bermaksud
merendahkan profesi pahlawan devisa, kita harus akui bahwa mereka adalah tenaga
kerja dengan SDM dan kompetensi yang rendah. Mereka bukan tenaga ahli. Mereka
hanya pesuruh yang ditempatkan sebagai pengelola urusan domestik rumah tangga
majikannya. Kenapa kita tidak melakukan positioning sebagai
negara pengekspor tenaga ahli?
Keminderan-keminderan itu jika
dipertahankan akan makin melesakkan kita ke kedalaman jurang kemunduran.
Keminderan masalah pola pikir. Adanya di ranah pikiran, perasaan dan alam bawah
sadar. Harus dicari awal sebab-musababnya kenapa kita seperti itu. Keminderan
ini harus segera diakhiri.
Menurut analisis sederhana
saya, keminderan ini salah satunya diawali adanya mindset bahwa
bangsa ini adalah bangsa jajahan yang bodoh. Buktinya, Indonesia dijajah sampai
350 tahun. Bayangkan, bangsa macam apa kalau bukan bangsa bodoh tak berdaya
yang dijajah sampai 3,5 abad. Bayangkan pula, berapa turunan kakek nenek kita
dulu dieksploitasi.
Penjajahan 350 tahun oleh
Belanda menjadi semakin erat lekat di benak seluruh bangsa karena dalam
pidato-pidatonya, Bung Karno juga pernah menyebutkannya. Di kurikulum
pendidikan nasional, hal itu tertulis di buku-buku pelajaran sejarah. Kuat
sekali sejarah itu tertulis dimana-mana.
Kita selalu dicekoki bahwa
Indonesia berkali-berkali, berulang-ulang dijajah oleh bangsa asing. Mulai dari
Portugis, Inggris, Belanda sampai Jepang. Di alam bawah sadar kita, tentu
sedikit banyak tertanam, bahwa bangsa kita ini adalah bangsa yang memiliki
kasta lebih rendah daripada bangsa yang menjajah. Efeknya, itu terbawa sampai
puluhan tahun setelah kita mengetahuinya.
Sebagai bangsa besar dengan
kekayaan yang luar biasa, seyogyanya kita harus segera enyahkan rasa minder.
Harus segera dilakukan revolusi cara berpikir dari segenap komponen bangsa,
bahwa tidak ada alasan untuk merawat cara berpikir yang salah itu. Cara yang
perlu ditempuh adalah mengarahkan sejarah bangsa ke jalur yang seharusnya.
Bahwa sebenarnya bangsa kita ini tidak pernah dijajah selama 3,5 abad. Sumber
yang bisa dirujuk salah satunya adalah buku yang ditulis oleh G.J. Resink
berjudul Bukan 350 Tahun Dijajah.
Perlu diberikan pula pengertian
bahwa penjajahan itu tidak berlangsung di semua wilayah Indonesia. Tidak pula
mencapai angka 350 tahun. Yang benar adalah Belanda membutuhkan waktu selama
itu untuk menguasai seluruh wilayah Indonesia, dan gagal. Banyak kerajaan yang
tidak berhasil ditaklukan kolonial Belanda. Kala itu, bangsa kita tidak
menyerah, namun melakukan perlawanan. Bangsa ini tidak tinggal diam menerima
penjajahan. Kerajaan-kerajaan kecil melakukan serentetan proyek perlawanan yang
dipimpin dan dikoordinir pemimpin-pemimpin lokal. Hanya saja, dengan cara
perlawanan kita yang sporadis, akhirnya mayoritas kemenangan berada di pihak
penjajah. Ketika itu perlawanan tidak maksimal karena belum ada persatuan dan
kesatuan secara nasional.
Titik tekannya adalah, agar
segera dilakukan pelurusan, bahwa bangsa ini bukan bangsa yang takluk menyerah
diam saja dalam penjajahan. Kita dengan sekuat tenaga tetap melakukan
perlawanan secara maksimal. Dengan cara berpikir seperti itu, keminderan bangsa
sedikit demi sedikit akan tereduksi.
Penjajahan oleh Belanda selama
350 tahun telah menjadi mitos sekaligus dogma. Tanpa ada usaha untuk melakukan
olah data ulang untuk meninjau kebenarannya. Pemerintah seharusnya melakukan
upaya serius untuk menata ulang jati diri bangsa ini. Walau tentu saja tidak
mudah untuk membalikkan sesuatu yang telah bertahan sekian dasawarsa. Memang
diperlukan usaha yang cukup komprehensif untuk mengubahnya.
Revolusi pemikiran agar
terlepas dari rasa minder sebagai bangsa, selain dilakukan oleh pemerintah,
seharusnya juga harus didukung oleh media massa. Media massa sebagai corong
pemegang informasi, harus turut serta dalam pembangunan karakter bangsa. Peran
media massa sangat strategis dalam hal ini.
Media massa dapat melakukannya
dengan mengubah sudut pandang pemberitaan, atau dengan berbagai teknik lain
yang dirasa cocok dengan konteks zaman ini. Mengubah sudut pandang pemberitaan
ini, walau terlihat ngawur, tapi tak masalah jika dilakukan demi
perubahan cara berpikir. Misal, ketika ada Metallica adakan show beberapa
waktu lalu, ditulis bahwa band pembuka adalah band lokal Seringai,
tertulis: “Show Metallica diawali dengan band pembuka Seringai.” Mengapa tidak
dibalik saja: “Metallica akan menjadi penutup dalam konser Seringai.” Contoh
kecil dan ngawurnya seperti itu. Dengan mengubah sudut pandang
pemberitaan, Seringai tidak terkesan hanya sekadar tempelan saja. Seringai
justru menjadi inti show itu. Sah-sah saja kan? Tak ada yang
salah ‘kan dengan kepercayaan diri seperti itu?
Perusahaan pemilik modal besar
harus segera merombak manajemennya. Semua personel direksi harus diisi oleh SDM
lokal. Mereka harus digaji tinggi dan diberikan fasilitas yang lux.
Para office
boy dan cleaning
service didatangkan dari negara asing. Skema upah bisa dibicarakan
berikutnya. Yang terpenting adalah perubahan kesan, SDM dalam negeri bisa
memimpin orang asing.
Pemerintah bersama swasta
sebagai sponsor harus makin banyak menghelat show kesenian
lokal Indonesia. Kelola secara profesional dengan mempekerjakan para ahli di
bidangnya. Ciptakan kebanggaan terhadap produk dalam negeri. Hilangkan stereotype bahwa
kesenian lokal tradisional lekat dengan kesan kuno. Kata tradisional,
menurut Budayawan Emha Ainun Nadjib, harus segera ditata kembali maknanya,
karena membuat masyarakat enggan bersentuhan dengan apapun yang sudah
mendapatkan imbuhan kata “tradisional”. Tradisional identik dengan masa lalu.
Dengan image seperti itu, maka hal berbau tradisional hanya
ada di ruang kenangan yang sesekali saja ditengok. Padahal, ia harus dibiarkan
lestari dan berdampingan dengan produk budaya modern.
Intinya, semua produk lokal
harus menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Masyarakat harus berlomba-lomba
mengkonsumsi dan mendatangi semua hal yang berbau domestik Indonesia. Dari sana
akan muncul kebanggaan. Sedikit demi sedikit, bangsa Indonesia akan mantap, tak
malu-malu dan dengan dada yang membusung berteriak: “Aku orang Indonesia!”
Keminderan hanya akan membuat
kita bertahan dalam idiom “negara berkembang/negara dunia ketiga” yang penyebutan
dan pengkategoriannya sengaja diskenariokan oleh asing. Keminderan membuat kita
enggan bersaing dan posisikan diri sebagai pioneer. Keminderan
membuat kita melulu ada di bawah dan di belakang. Padahal dengan segala potensi
bangsa Indonesia, kita sangat pantas untuk duduk berdampingan dengan bangsa
maju, bahkan ada di depan mereka. Pertanyaannya adalah, apakah kita mau untuk
mencap diri sebagai bangsa yang berdaya di muka dunia? Bangsa Indonesia sangat
mampu, tinggal maunya saja. Harus ada visi ke sana. Mari kita awali dengan
kepercayaan diri sebagai bangsa yang hebat. Ayolah..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar