Rasanya ganjil mendengar Indonesia mengimpor kedelai untuk
memenuhi kebutuhan domestik. Saya baru tahu ketika kemarin kita kehilangan
tempe dari pasaran. Dinamika di dalam perdagangan kedelai saya tak tahu, namun
sebagai orang awam, tetap bisa menangkap ketidakberesan yang ada di dalamnya.
Untuk mencukupi kebutuhan BBM siap pakai, Indonesia harus beli
dari asing. Indonesia hanya mampu mengolah minyak mentah, untuk kemudian dijual
dan dibeli kembali dalam bentuk matang. Entah karena apa.
Setiap hari di jalan-jalan kita saksikan berseliweran mobil
rilisan baru, dengan jenis dan merk yang beraneka rupa. Yang tentu saja bukan
hasil kreasi bangsa sendiri. Saat negara produsen mobil sana sedang
giat-giatnya maksimalkan fungsi transportasi massal, kita di sini kasak-kusuk
mengkredit mobil agar prestise naik di mata lingkungan. Belum lagi sekarang
ramai tentang mobil murah. Aduh!
Setelah berhasil membeli mobil, otomatis kita akan ikut serta
dalam menambah kemacetan. Di dalam mobil, sumpah serapah terucap tanpa merasa
sedang berkontribusi menyebabkan keadaan menjengkelkan itu. Di seberang sana,
negara produsen mobil bercengkerama tertawa-tawa menikmati hasil jualannya
sambil menghirup udara bersih dan jalanan yang lancar lengang. Rasanya ungkapan
mantan Walikota Bogota Kolombia, Enrique Penalosa, harus menjadi perenungan
nasional: ”Negara maju bukan tempat orang miskin naik mobil, tapi orang kaya
naik angkutan umum.”
Sekadar informasi, Bogota menjadi kota percontohan transportasi
massal dunia. Pemimpin ibukota Kolombia itu sempat mencengangkan dunia ketika
membuat kebijakan mega proyek transportasi massal. Penduduk diperintah untuk
“buang” kendaraan pribadinya. Lalu pemerintah membuat bus-bus macam Trans
Jakarta. Hasilnya, bisa dilihat sekarang.
***
Semua kebutuhan yang tidak mampu dipenuhi sendiri, lumrah saja
jika harus ditutup dengan cara membeli. Namun pertanyaannya, apakah sudah ada
upaya maksimal sebelum membeli. Sudah adakah ikhtiar menahan diri.
Garis bawah bahasan kali ini bukan pada kedelai, minyak dan mobil.
Namun pada tingginya gairah konsumsi kita. Kita ini bangsa yang gemar belanja.
Seperti ada semboyan “kalau bisa beli, kenapa harus membuat sendiri.”
Saya curiga, negara asing sudah khatam menyelami kehidupan bangsa
ini. Jangan-jangan mereka telah lakukan riset tentang budaya dan kecenderungan
sosiologis masyarakat Indonesia, lalu simpulkan bahwa kita adalah bangsa tukang
belanja. Akhirnya, dijadikanlah negeri ini pasar besar yang menggiurkan.
Negara asing ramai-ramai gelontorkan modal untuk dirikan
pusat-pusat produksi. Pabrik-pabrik besar berdiri megah sambil menggusur
pusat-pusat perekonomian lokal. Pusat perbelanjaan menjadi tempat pertama yang
dituju ketika bepergian dan akan segera disampaikan ke tetangga: “Iya, Jeng.
Kemarin ngajak anak-anak beli baju di emol baru itu lhoh..”
Kita sibuk belanja sana-sini, langganan kartu kredit dari berbagai
bank, untuk kemudian lupa “berproduksi”. Alam bawah sadar kita hanya tentang
beli dan beli. Ingatan dan niat kita jarang kita belokkan untuk “berjualan.”
Rasanya kok tidak berlebihan jika tersimpulkan bahwa ada skenario besar di
balik semua ini.
Dari dulu, menantu yang dipilih adalah pegawai mapan. Bukan bakul.
Anak diarahkan sekolah ke SMA, bukan ke SMK. Karena akan dimasukkan kuliah,
kemudian disuruh melamar kesana-kemari untuk menjadi karyawan. Walhasil,
Indonesia masa kini terkenal bukan sebagai bangsa entrepreneur. Konon, dari
seluruh penduduk Indonesia, populasi pengusaha belum menyentuh angka 2%.
Padahal, negara akan mudah mendapat predikat negara maju jika minimal 2% dari
seluruh penduduknya adalah wirausaha. Kabarnya, negeri imut Singapura sudah
memiliki populasi pengusaha dengan presentase yang sudah menyentuh angka dua
digit.
Buku-buku pelajaran SD, susunan kata yang dipilih adalah: “Ibu
pergi ke pasar untukmembeli sayur”, “Badu disuruh Ibu untuk ke warung membeli
minyak goreng”. Mengapa tidak: “Ibu pergi ke pasar untuk berjualan bumbu
dapur”, “Badu disuruh Ibu untuk menjajakan pisang goreng keliling kampung.”
Hem?
Dari paragraf di atas, kita mafhum bahwa ternyata jika disadari,
sedari kecil kita sudah dicekoki untuk menjadi bangsa yang konsumtif. Contoh
kasus di paragraf atas adalah bukti riil, bahwa dari usia dini kita semua diberikan
nilai-nilai yang mengarahkan untuk memiliki karakter pembeli, sehingga dengan
sangat kuat terinternalisasi sampai dewasa.
Entah mengapa kalangan akademisi penyusun buku pelajaran sekolah
tidak terpikirkan ke arah sana. Redaksional kalimat di buku pelajaran sekolah
menurut saya cukup berpengaruh terhadap cara berpikir siswa. Kalimat di dalam
buku pelajaran adalah makanan sehari-hari siswa. Terjadi repetisi berulang kali
dalam penyampaiannya. Cukup rasional kiranya hal itu perlu mendapat kajian lebih
mendalam.
***
Policy dari pemerintah seharusnya
pula diarahkan untuk selalu berpihak kepada pihak yang kurang berdaya secara
modal dan pengetahuan. Selama ini, pedagang kecil digiring untuk langsung
berhadap-hadapan dengan pemodal besar. Toko kelontong kecil dan pemilik lapak
sederhana harus head to head dengan blablabla-mart,blablabla-four dan
blablabla-indo.
Parahnya, masyarakat kita gemar bermain simbol-simbol yang
kemudian mereka sepakati menjadi konsensus. Bahwa akan lebih bergengsi jika
membeli barang di toko modern, bahwa akan memalukan membeli barang di toko
kecil pojok tikungan kampung. Hanya karena di toko modern barang dijejer rapi
dengan lampu-lampu putih terang dan berpendingin udara. Padahal sama saja yang
dibeli sabun dan odol juga.
Seperti ada sinergi antara pemerintah dan masyarakat bahwa
sebaiknya bareng-bareng “mendukung” pemodal besar. Rakyat kecil yang sedang
tertatih membangun kebanggaan melalui cara sederhana dan semampunya, dipaksa
berperang dengan raksasa. Mereka yang semangat berproduksi mau tidak mau harus
mengakhiri, lalu menyerah pada keadaan dan kembali lagi menjadi pengkonsumsi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar