(sumber gambar: beforitnews.com) |
Tahun depan, suatu negeri nan
kaya akan menghelat kenduri demokrasi. Negeri itu akan melaksanakan
pemilihan umum untuk memilih anggota legislatif dan presiden. Riak-riak euforianya
sudah mulai terasa di tahun ini. Bahkan tahun ini sudah dikukuhkan sebagai
tahun politik.
Politikus sudah mulai kasak-kusuk kesana
kemari untuk jalankan promosi diri dan lobi-lobi. Di jalan-jalan sudah mulai
terpampang foto-foto sosok entah-siapa-tak-kenal yang tiba-tiba peduli dengan
memberi selamat idul fitri. Anggota dewan sudah mulai jalankan
kunjungan ke konstituen untuk galang dukungan.
Setiap pemilu hampir tiba,
politikus ramai-ramai mencari sokongan agar bisa duduk di jabatan yang
konon mewakili rakyat. Yang belum duduk, ingin duduk. Yang sudah duduk, ingin
berlama-lama di kursi yang nyaman itu. Lalu berjuang dengan beraneka cara
agar langgeng di sana. Perihal masa tugasnya belum selesai, persetan, yang
penting periode berikutnya bisa terpilih lagi.
Politikus, khususnya anggota
dewan wakil rakyat, telah langganan menjadi bulan-bulanan. Mereka sudah kenyang
diposisikan sebagai pesakitan, sering divonis senang lakukan studi banding
padahal hanya dalih untuk kya-kya dan piknik hepi-hepi. Sering
diprasangkai kerjanya hanya nguap dan sms-an sambil
rapat. Hobinya menitip absen saat rapat-rapat penting membahas masalah strategis
terkait hajat perut orang banyak. Walau demikian, masih ada sebagian dari
mereka yang masih sholeh, anti korupsi dan mati-matian menjaga idealisme.
Sebagian. Entah sebagian besar atau kecil. Tak pernah ada penelitian
secara statistik yang gamblang mengukurnya.
Gelar politikus sebetulnya
mengandung unsur satire. Politikus ialah sosok yang
tangkas dan lincah bermain politik. Sedangkan politik itu sendiri adalah
seni untuk mendapatkan kekuasaan.
Sejujurnya, kekuasaan merupakan istilah yang netral. Namun idiom
“kekuasaan” ini sudah mengalami pergeseran makna secara peyoratif.
Artinya, “kekuasaan” sudah identik dengan pemanfaatan kekuasaan untuk
tujuan yang tidak elok. Begitulah dewasa ini, “politikus” telah menjadi istilah
yang merepresentasikan mereka yang gemar bermain dengan perasaan rakyat.
Istilah “politikus” sepertinya cukup akomodatif
untuk dijadikan antonim dari apa yang disebut dengan “negarawan”. Negarawan adalah sosok yang isi hati dan pikirannya
hanya untuk negara dan negara. Kepentingan pribadi menjadi nomor dua puluh
tujuh. Di benak dan hatinya hanya ada keinginan untuk membangun, membenahi dan
menata negaranya.
Karena keinginan untuk
membangun negara itu mustahil dilakukan jika tidak memiliki power,
maka mau tidak mau negarawan terpaksa ikut berbasah-basah terjun dalam
pertarungan politik. Semata agar memiliki keperkasaan secara politis. Jadi,
kekuasaan hanya media, hanya alat, bukan tujuan utama. Itulah mengapa negarawan
berbeda sama sekali, bahkan berkebalikan dengan politikus.
Negarawan dilandasi niat tulus
dan murni mendermakan hidup, kompetensi dan kapabilitasnya untuk negara. Jalan
politik ditempuh untuk mengantarkan menuju kekuasaan yang amanah. Kekuasaan
bukanlah garis finish yang dituju. Politik hanya cangkul untuk
mengolah ladang kekuasaan, agar menghasilkan beras yang penuh barokah untuk
negerinya.
Pertanyaan mendasarnya adalah,
apakah masih ada sosok negarawan di negeri kaya itu. Ada, pastilah ada. Namun
masalahnya, apakah sosok itu direstui oleh invisible hand untuk
memegang kekuasaan. Tak pelak, agar seseorang bisa memegang tampuk kekuasaan,
perlu tangan-tangan tak kasat mata pemberi restu. Tangan-tangan ini bisa
berarti media massa yang gemar memoles, sehingga sosok tertentu seolah menjadi pantas
untuk memimpin. Tangan-tangan itu bisa berarti pula afiliasi politik. Tokoh
baik dan bersifat negarawan akan menjadi pemain cadangan yang bahkan tidak
duduk di bench tepi lapangan, jika ia tak dekat dengan
afiliasi politik yang kuat secara teknis dan modal.
Tangan-tangan itu bisa pula
tangan Tuhan yang menghendaki seseorang untuk mendapatkan kekuasaan. Namun
kembali kita harus bertanya, apakah Tuhan sudi mengulurkan “tangannya” ke
negeri itu. Maka, negeri kaya tersebut harus lakukan kontemplasi dan
introspeksi. Apakah negeri itu pantas mendapatkan juluran tangan Tuhan dan
memilihkan negarawan untuk memimpinnya. Tuhan adalah dzat suci.
Jadi, apakah negeri itu cukup bersih, sehingga Sang Maha Suci dengan senang
hati memilihkan secara langsung pemimpin terbaik menurut versiNya.
Konklusinya, haqqul yakin
bahwa negarawan sebenarnya masih ada di negeri kaya itu, dan tidak
digondol tikus. Namun, diperlukan kondisi tertentu dengan batasan “hanya jika”.
Negarawan akan memimpin, hanya
jika negeri kaya itu pantas dipimpin
oleh pilihanNya..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar