(Tulisan ini merupakan
perpanjangan lidah Budayawan Emha Ainun Nadjib atau akrab disapa dengan Cak
Nun. Tulisan ini mensarikan dan mengubah bentuk informasi dari lisan Cak Nun
menjadi informasi tulisan, yang kebetulan dari jari-jemari saya. Jadi, tolong
salahkan saya jika ada kekeliruan dalam penyampaiannya, niscaya itu karena
distorsi pemahaman karena terbatasnya ilmu, dan distraksi perhatian karena
buruknya fokus konsentrasi saya. Tentang Malioboro ini pernah beliau terangkan
sewaktu mengisi salah satu forum. Siapakah Cak Nun ini? Mudahnya, beliau ini
tokoh yang sangat saya kagumi, beliau ini ayahnya Noe Letto dan suami dari
biduanita Novia Kolopaking. Selebihnya tentang Cak Nun, bisa di-googling dan
telusurilah jejak-jejak beliau melalui situs resmi di caknun.com, karya-karya
yang terserak di sekian buanyak buku dan artikel di media massa. Atau silakan
search video di YouTube dengan keyword “Maiyah”, “Mocopat Syafaat”, “Gambang
Syafaat”, “Kenduri Cinta” dan banyak lagi..)
Tentang Malioboro rasanya kawan
pembaca sudah tak asing lagi. Malioboro adalah kawasan paling terkenal di Kota
Yogyakarta. Lokasinya yang terletak di jantung Kota Yogya, memudahkan setiap
orang untuk mengaksesnya. Beragam jenis hal terdapat di sana. Mulai dari
kerajinan khas Yogya, Kantor Gubernur DIY dan beberapa landmark semacam
Benteng Vredeburg dan Monumen Serangan Oemoem 1 Maret 1949.
Namun, rasanya belum banyak
yang paham sebenarnya apa arti dan filosofi dari jalan satu arah yang
membujur dari Utara ke Selatan tersebut. Malioboro pada awalnya dulu hanya
bagian dari rangkaian jalan yang dimulai dari Stasiun Tugu sampai dengan
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Namun belakangan, seluruh jalan tersebut
pada akhirnya dinamakan dengan Jalan Malioboro.
Menurut Cak Nun (yang bertempat
tinggal tak terlalu jauh dari Malioboro), jalan yang dimulai Stasiun Tugu
sampai ke depan Hotel Inna Garuda, dinamakan dengan Jalan Margo Utomo. Kemudian
dari Hotel Inna Garuda sampai ke perempatan sebelum Mal Malioboro disebut Jalan
Malioboro. Mulai perempatan sampai ke titik nol kilometer disebut Jalan Margo
Mulyo. Dari titik nol sampai Keraton dinamakan Jalan Pangurakan. Nah,
masing-masing nama jalan tersebut memiliki arti dan filosofinya masing-masing.
Nilai yang demikian agung terkandung di dalamnya.
Filosofi Jalan Malioboro lebih
dekat kepada nilai Ketuhanan dan nilai Kemanusiaan. Hablu minallah dan hablu
minannas. Hubungan vertikal dengan Tuhan dan horizontal dengan sesama.
Pertama, Jalan Margo Utomo
filosofinya adalah untuk menjadi manusia utama, kita harus menjalankan perintah
Tuhan yang termaktub dalam syariat agama. Syariat agama harus dijalankan
secara kaffah atau menyeluruh. Lingkup kehidupan kita tak
boleh lepas dari asma-asmaNya. PerintahNya harus dijalankan, larangan untuk
sejauh mungkin kita hindari. Intinya, Margo Utomo ini berada pada tataran
pribadi orang per orang. Urusan antara manusia dengan Tuhan. Murni hubungan
antara insan dengan penciptanya.
Kedua, Jalan Malioboro ternyata
memiliki akar kata yang bahkan saya sebagai orang Jawa tak pernah menduganya.
Dulu jaman kecil saya pernah menduga bahwa Malioboro ada sangkut pautnya dengan
merk rokok produksi Philip
Morris yang sohor itu (duh!). Akar
kata Malioboro adalah kata Wali dan Boro.
Dalam tata bahasa Jawa, huruf “m” bisa menjadi sarana untuk mengubah kata benda
menjadi kata kerja. Contoh kata “warung”
menjadi “marung”.
Warung sebagai kata benda menjadi “marung”
sebagai kata kerja yang artinya sedang di warung untuk minum atau makan. Kata
benda “wadon”
yang berarti perempuan mendapat unsur “m” berubah menjadi kata kerja “madon”
yang berarti main perempuan. Demikian pula dengan kata “wali” mendapat imbuhan
“m” menjadi kata “mali”,
dan kemudian diimbuh “o” menjadi “Malio.”
“Malio” diterjemahkan secara mudah
dengan “jadilah wali”. Terminologi wali dalam konteks ini ialah waliyullah atau
Wali Allah, wakil Allah di dunia. Kata “boro” berarti mengembara, atau “ngumbara”.
Maka, Malioboro mempunyai pengertian “jadilah Wali Tuhan yang mengembara.” Wali
yang mengembara menyebarkan ajaran Tuhan agar diketahui oleh umat. Jalan dakwah
harus ditempuh umat Islam, untuk menyebarkan firman Tuhan dan sabda Rosulnya
kepada sebanyak mungkin umat, sekalipun hanya satu ayat. Semata agar kasih dan
kedamaian Tuhan tersenyawakan di segenap unsur kehidupan manusia dan alam
semesta.
Ketiga, Margo Mulyo mengandung
makna setelah melakukan kebaikan melalui keistiqomahan dalam menjalankan
syariat kemudian menyebarkannya, maka seorang manusia akan mendapat kemuliaan
di sisiNya. Ia akan menjadi hamba kesayangan. Ia mendapat keistimewaan. Ia
mendapat tempat yang baik. Imbasnya, ia akan mendapat kasih sayang dariNya.
Kemudahan senantiasa menaungi hajat kehidupannya.
Terakhir, Pangurakan. Ini
adalah puncak dari derajat manusia dalam berkehidupan. Pangurakan berasal dari
kata “urakan”. Urakan berbeda dengan kurang ajar. Urakan adalah perilaku
mendobrak kezaliman dengan ketulusan dan niat baik, melalui cara-cara yang unik,
yaitu tetap menganut tata krama dan bukan hanya polesan sopan santun
artifisial. Urakan berbeda dengan kurang ajar. Kurang ajar lebih identik dengan
perilaku melanggar aturan dengan niat hanya sekadar melanggar dan gaya-gayaan,
tidak ditunjang dengan integritas moral dan niat baik.
Pangurakan adalah jalan yang ditempuh oleh seorang umat yang memiliki
derajat yang sangat tinggi di sisi Tuhannya. Derajat Pangurakan tidak didapat
dengan sekonyong-konyong. Pangurakan didapat melalui tingkatan-tingkatan spiritual
yang telah tertempuh sebelumnya sebagaimana diuraikan di atas. Manusia yang
sudah mencapai taraf ini sudah tidak terpengaruh dengan dinamika kehidupan
duniawi. Sedih dan senang sudah lebur manunggal menjadi hal lumrah dan wajar,
karena ia sudah sangat mafhum dan paham bahwa itu adalah qodha dan qadar Illahi.
Hidupnya hanya tentang Tuhan dan Tuhan. Eksistensi dirinya sudah tak ia
pedulikan, ia lebih nyaman hidup dalam pengabdian kepada masyarakat dan
Tuhannya. Duniawi sama sekali tak mendapat ruang perhatian. Ia sudah njangkungi, beyond atau
melampaui segala hal berbau keduniaan. Segala masalah kehidupan dianggapnya
senda gurau belaka. Fase ini dicapai oleh umat Tuhan yang telah mencapai
makrifat, khatam ilmu tasawufnya dan sosoknya sering disebut sebagai irfan atau sufi.
Dari penjelasan di atas,
kiranya kita dapat menarik konklusi, bahwa Jalan Malioboro beserta tiga jalan
yang menyertainya, memiliki makna filosofis yang demikian agung. Di dalamnya
terkandung hierarkhi kehidupan manusia, dalam dialektikanya dengan Sang Pencipta,
sekaligus dengan sesamanya. Dimulai dari Jalan Margo Utomo sampai Jalan
Pangurakan, terkandung nilai mendalam secara berjenjang tentang derajat manusia
di hadapan Tuhan, pun dengan sesamanya.
Dari sudut pandang lain,
filosofi di atas sebenarnya merupakan prasasti budaya warisan leluhur kita.
Budaya Jawa berakulturasi dengan Islam yang pada akhirnya menjelma menjadi
budaya otentik. Dari nilai dan filosofis tersebut, rasanya tak ada alasan bagi
kita untuk tak mengakui bahwa leluhur kita adalah leluhur yang demikian
brillian, karena bisa mensistesiskan beragam kultur menjadi produk asli yang
memiliki kekhasan tersendiri. Landmark Yogyakarta masa kini,
dan Kerajaan Mataram Islam di masa lalu itu memiliki cerita tersendiri yang
sangat mengagumkan. Ia harus kita jaga dengan selalu mengingat dan merawatnya,
bahkan kita jalarkan dalam tiap denyut nadi dan nafas kehidupan kita sebagai
manusia Indonesia yang memiliki budaya luhur ini.
Tulisannya menarik sekali, kemasanya apik dan rapih.
BalasHapusKita, bangsa Indonesia lahir dari moyang yang brilian, jd kenapa sekarang terkesan awut2an? Tanyakan pada rumput yg bergoyang.... :D
Soal Urakan, saya jd ingat kata mbah Sujewo Tejo ttg konotasi Mbeling vs Urakan waktu bedah buku Mahfud MD.
Pokoke keren dab, pertamax!teruslah menulis ...
Cooolllllllll.....
BalasHapusMas Ryan, maturnuwun... aku juga nyangka kalau malioboro justru nama yang dikasih sama kompeni... "-.- informatif iki tulisane :)
BalasHapus