(sumber gambar: bintang.com) |
Tema tulisan ini sebenarnya sudah
lama mengendap di benak saya. Saya gelisah dengan semakin sedikitnya penggunaan
bahasa daerah dalam komunikasi sehari-hari. Kegelisahan itu muncul tepatnya
ketika saya mulai hidup di lingkungan dengan penduduk yang heterogen. Penduduk
yang berasal dari berbagai macam suku bangsa dan bahasa. Itu terjadi pada tahun
2006 – 2010 ketika saya menempuh pendidikan di IPB. Ya, di sana saya berjumpa
dengan kawan-kawan dari seluruh penjuru Indonesia.
Tetapi kegelisahan saya itu hanya
tetap menjadi sekadar kegelisahan belaka. Namun, akhirnya kegelisahan itu
menemukan momentumnya untuk saya deskripsikan melalui tulisan ini. Ada dua
momentum. Momentum pertama adalah peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional yang
jatuh pada tanggal 21 Februari 2013 yang lalu. Momentum kedua adalah
dipublikasikannya hasil penelitian Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa oleh
Drs. Mustakim, M.Hum belum lama ini di suatu seminar di Bandung.
Jujur, sebelumnya saya belum pernah
mengetahui ada peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional. Sampai pada akhirnya,
saya mengetahui ada peringatan Hari Bahasa Ibu dari retweet akun
twitter @blontankpoer (blogger & entrepreneur) pada pertengahan
Februari lalu. Beliau me-retweet tweet dari akun twitter
@tentangsolo yang sedang membahas peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional.
Dari sana saya tertarik untuk mengikuti tweets dari akun
tersebut. Mulai dari sanalah inisiatif untuk menuangkan kegelisahan yang telah
mengendap lama tersebut muncul. “Ini harus segera saya tuangkan di blog”,
begitu benak saya ketika itu… #asolole!
Kegelisahan saya saat itu muncul
ketika akhirnya saya tahu bahwa banyak kawan kuliah yang berasal dari luar
Pulau Jawa atau Jakarta ternyata memiliki ayah dan ibu yang asli berasal dari
suku Jawa. Namun, mereka sama sekali tak bisa diajak berkomunikasi menggunakan
bahasa Jawa. Saya syedih. Hipotesisnya, orang tua mereka tidak
membiasakan untuk berbahasa Jawa dalam pergaulan sehari-hari di lingkup
domestik keluarga. Ditunjang dengan pergaulan di sekolah dan lingkungan yang
tentu saja mengikuti bahasa setempat atau menggunakan bahasa Indonesia. Sah
sudah mereka kehilangan kemampuan untuk berkomunikasi dengan bahasa ibu
mereka.
Ada diantara mereka yang mengaku
mengerti bahasa Jawa namun tidak bisa memberikan feedback atau
respon dengan menggunakan bahasa Jawa. Entah mengapa saya langsung berpikiran
bahwa jika hal tersebut dibiarkan, lama kelamaan bahasa Jawa bisa punah.
Menurut saya, ini tidak bisa dibiarkan, Marimar!!!
Sebetulnya, tulisan ini tidak hanya
mengkhususkan pada kekhawatiran berkurangnya penggunaan bahasa Jawa yang
akhirnya bermuara pada kepunahannya, namun juga pada konteks bahasa daerah
lainnya. Hanya saja kebetulan contoh kasus yang diangkat adalah bahasa Jawa
karena saya, sebagai penulis di sini, terlahir di Jawa Tengah dan dari ayah ibu
bersuku Jawa. Begitu.
Sebagaimana kita tahu semuanya,
Indonesia termasyhur sebagai negara dengan keanekaragaman seni budaya, agama,
bahasa dan lain sebagainya. Bahasa sebagai salah satu unsur penting kebudayaan
Indonesia tentu saja menjadi tanggung jawab kita bersama untuk menjaganya.
Jangan kita lupakan pula, sebelum disepakati bahasa persatuan bangsa adalah
Bahasa Indonesia, di nusantara ini telah eksis, hidup dan lestari sekian banyak
bahasa daerah.
Dalam pergaulan sehari-hari, mulai
banyak yang enggan menggunakan bahasa daerah sebagai media komunikasi.
Adanya stereotype bahwa menggunakan bahasa daerah adalah
identik dengan orang kampung, ndeso dan udik, saya rasa
menjadi salah satu penyebabnya. Padahal, jika kita sedikit saja mau sedikit
berpikir luas, bahasa daerah itu merupakan salah satu karakter budaya yang
harus kita pertahankan eksistensinya. Orang asing saja banyak yang
mengapresiasi kekhasan dan nilai-nilai yang terkandung dalam khazanah bahasa
daerah kita. Mosok kita malu?
Penggunaan bahasa daerah dalam
konteks ini tentu saja ketika sedang berada dalam lingkup pergaulan sesuku.
Ketika kita bergaul dengan lingkup luas dan diantara komunikator dan komunikan
yang plural, tentu kita tetap menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa
pergaulan yang lebih luas, English misalnya. Jadi, gugahan untuk kembali
menggunakan bahasa daerah, dilakukan tanpa melarang penggunaan bahasa Indonesia
dan bahasa lain. Bukankah kita menyapu lantai dalam rangka membersihkan, dan
bukan karena membenci debu. Begitu analoginya.
Berpindah ke hasil publikasi Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Badan tersebut mempublikasikan data tentang
laju kepunahan beberapa bahasa daerah dengan pengguna terbesar di Indonesia.
Laju kepunahan Bahasa Batak 9,8 persen, Bahasa Bugis 8,8 persen, Bahasa Minang
7,6 persen, Bahasa Jawa 4,1 persen, Bahasa Sunda 3,9 persen, Bahasa Banjar 2,5
persen, Bahasa Madura 2,2 persen dan Bahasa Bali 2,1 persen. Prosentase itu
menunjukkan prosentase penutur yang tidak lagi menggunakan bahasa daerahnya.
Jadi semakin tinggi prosentase penutur tidak lagi menggunakan bahasa daerahnya,
semakin tinggi laju kepunahannya.
Dalam seminar itu juga diungkapkan,
bahwa salah satu yang memiliki andil semakin cepatnya laju kepunahan bahasa
daerah adalah, semakin sedikitnya dukungan media massa dalam menerbitkan
publikasi berbahasa daerah. Sehingga secara otomatis, warga masyarakat tidak
mendapat bacaan yang dikemas dengan menggunakan bahasa daerah. Bahasa daerah
menjadi asing di rumahnya sendiri. Menyedihkan memang.
Kemudian faktor lain, menurut
publikasi Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, yang menjadi penyebab
semakin lama bahasa daerah bisa punah adalah para penutur muda (remaja) enggan
untuk berbahasa daerah. Cocok dengan ungkapan di awal tulisan, mereka enggan
dicap ndeso jika berbahasa daerah. Oalah, cah
bocah..
Saya rasa fenomena berkurangnya
penggunaan bahasa daerah tersebut tidak bisa kita lepaskan dari pengaruh
globalisasi dewasa ini. Globalisasi menyebabkan banyak hal menjadi seragam atau
homogen. Antara satu tempat dengan tempat lain di dunia ini menjadi berjarak
dekat dengan teknologi komunikasi dan transportasi. Imbasnya, diantara kita
dengan masyarakat di tempat lain di dunia ini akan saling mengidentifikasi diri
yang pada akhirnya satu sama lain akan menyeragamkan ciri kepada bentuk yang
dianggap paling bagus dan pantas dianut. Akhirnya semuanya menjadi sama dan
kehilangan kekhasan, karakter dan jati diri sebagai bangsa. Jangan sampai
bahasa daerah menjadi korban dari globalisasi yang susah kita tahan pengaruhnya
itu.
Jika media massa sudah tak dapat
kita andalkan lagi perannya untuk mempertahankan eksistensi bahasa daerah, maka
kiranya masuk akal jika kita serahkan pada peran sekolah dan keluarga untuk
tetap menjaga kelestariannya. Lingkup terkecil keluarga seharusnya tetap
mempertahankan bahasa daerah atau bahasa ibu dalam berkomunikasi sehari-hari.
Pembiasaan ini dapat dimulai dari anak-anak, bahkan ketika ia belajar
berbicara. Justru dari sana ia akan tahu bahasa ibu. Jika dari kecil
ditanamkan, niscaya ia akan tahu dan bangga akan bahasa ibu atau bahasa
daerahnya. Keluarga menjadi kontrol sosial terdekat untuk menjaga penggunaan
bahasa daerah.
Di sekolah, walau bahasa daerah
sudah diterapkan dalam kegiatan belajar mengajar sehari-hari sebagai muatan
lokal, tetapi seharusnya pula, diajarkan tidak hanya sebagai syarat kelulusan
dan sekadar dihafal. Tanpa adanya pengajaran tentang nilai yang terkandung di
dalamnya. Bahasa daerah seharusnya diajarkan oleh guru yang benar-benar faham
tentang tata bahasa daerah. Sehingga bahasa daerah tidak kehilangan ruhnya.
Selain itu, dalam pergaulan
sehari-hari dengan teman sedaerah, tetaplah berkomunikasi dengan bahasa daerah.
Darno tetaplah ber-kula-sampeyan dan jangan ber-guweh-eloh saat cangkrukan dengan
Parjiman. Sihombing tetaplah berbahasa Batak ketika ngopi bareng Rajagukguk.
Dadang tetaplah berbahasa Sunda ketika ngariung dengan Asep.
Begitu seterusnya. Dengan cara sederhana itu, maka bahasa daerah tetaplah ada
dan terjaga. Pripun? Rak yo jos to?
Jika bahasa daerah punah, maka
berkuranglah pula hal yang kita banggakan dari kekayaan bangsa kita. Kita akan
jadi bangsa yang “gersang”. Bangsa yang seragam, mosok kita
menunggu klaim bangsa lain terhadap bahasa daerah kita lalu kita baru
kebingungan untuk mempertahankan. Bahasa daerah adalah ciri khas bangsa.
Warisan leluhur kita yang berbudaya. Jangan sampai kelak kepada anak cucu, kita
berucap: “Dulu itu, ada yang namanya Bahasa Jawa, Bahasa Sunda, Bahasa Batak,
tapi itu dulu, duluuuuuu sekali..” *mbayangin* *emoticon mbrebes mili*
Merasa tertohok membaca tulisannya Kak Ryan kali ini. Terlahir dan besar di Tanah Sumatera membuat saya tidak mumpuni menggunakan Bahasa Jawa. Padahal, ayah & ibu adalah keturunan Jawa. Tapi, saya tetap bangga terlahir sebagai seorang berdarah Jawa. Walaupun Puja Kesuma. *eh
BalasHapusKomennya geje amat ya... heee
*Nice Post*
Ayo Risma belajar bahasa Ibu ya.. ^^
HapusTrenyuh macane. ayo bareng2 nglestarikake kabudayan mumpung durung kebacut. Sae lho mas Ryan hehehe...
BalasHapus*emoticon ngelap umbel* sae mas... es teh nopo toyo pethak? sae sae..
HapusNyokap gw Cirebon, Bokap jawa. walaupun sama-sama dari jawa tapi bahasanya beda. Jadi komunikasi di keluarga menggunakan bahasa Indonesia karena kebetulan tinggalnya di Bekasi juga. Kalo gw tinggal di Cirebon mungkin bakal berbahasa Cirebon, Lingkungan kayaknya yang lebih kuat membentuk bahasa apa yang kita gunakan.
BalasHapusKalo ngomongin kurikulum misalnya. gw tinggal di bekasi, tapi di sekolah ada muatan lokal bahasa sunda karena bekasi masuk Jawa Barat. Padahal sebagian besar orang bekasi tidak berbahasa sunda (gak tau ya kalo daerah selatan bekasi gimana). Bahasa daerah disini kalo gak betawi ya bahasa pantura lah.
Gw sendiri baru lumayan ngerti bahasa jawa ato sunda ketika bergaul dengan lingkungan mereka. Tapi ngertinya juga sedikit banget, dan pastinya bahasa kasarnya. Nah pas gw tanya pada ngerti bahasa alusnya gak. Kebanyakan dari mereka juga gak paham. Itu kenapa ya yan? Jadi gw nyimpulin yang bakal punah duluan itu bahasa2 yang alusnya dulu.
Gw sendiri kalo disuruh nulis suku. Bingung nulis suku apa.
Setuju Dik tentang katamu bahwa bahasa alusnya duluan yang bakalan ilang. Karena memang bahasa alus itu semakin sedikit yang menguasai dan ditunjang dengan semakin minimnya media cetak berbahasa daerah. Selain itu, bahasa daerah yang tidak alus, maksudnya bahasa daerah yang digunakan dalam pergaulan sehari-hari itu juga sangat rentan punah, karena untuk kasus bahasa Jawa, banyak banget yang tak bisa menuliskannya ke dalam bentuk kata-kata.
HapusUntuk kasusmu yang hasil keturunan dari perkawinan multi-suku, aku rasa penguasaanmu yang akhirnya bisa berkomunikasi dengan bahasa ayah dan bahasa ibumu (walau tak cukup terampil dan hasil bergaul dengan kawan-kawan) sudah baik, karena memang di dalam keluargamu tak dimungkinkan untuk menggunakan bahasa masing-masing, mengingat ayah dan ibumu berbeda suku dan bahasa.
SETUJUUUUUU \o/
BalasHapusyokkk lestarikee bahasa daerahhh !!!
HUYEEEEEEE... (/^.^)/
HapusNyong ora ngapak ora kepenak..
BalasHapusOra ngapak ora seksi..
HapusHmmm...orangtuaku asli dari Sumut sana. Kebetulan dari dulu orangtua kami menjadi anggota jemaat gereja Batak dan "memaksa" kami untuk bergereja di gereja yang sama walaupun mereka sudah lama merantau ke pulau Jawa. Kalau bukan karena terpaksa (misalnya lagi berkunjung ke sebuah daerah yang ngga ada gereja Bataknya),kami harus selalu bergereja di gereja Batak. Mungkin salah satunya karena hal itulah, saya dan abang-adek saya ngga asing dengan bahasa daerah kami. Di rumah pun, sejak menginjak usia remaja, kami didorong untuk berbahasa Batak. Apalagi Mama (Bapak udah lama ngga ada) masih aktif mengikuti acara-acara adat, arisan-arisan dan perkumpulan paduan suara di gereja yang semua anggotanya berkomunikasi dalam bahasa Batak dan kami sesekali diajak menghadiri, atau kadang juga menjadi tuan rumah. Walaupun sehari-hari jarang berbahasa Batak karena ngga ada sparing partner, dan lebih banyak menggunakan bahasa Inggris, bahasa Indonesia dan bahasa Jawa (teman kerja banyak orang Jawa dan saya sempat tinggal di Yogya selama 7 tahun), saya bisa dengan bangga mengakui bahwa diantara teman-teman kerja saya yang sama-sama orang Batak, saya termasuk yang paling banyak paham bahasa Batak dan adat istiadat Batak. Di rumah kami, bahasa daerah belum mati. :)
BalasHapusbagus itu. Perlu diteruskan. Sungguh kelurga teladan.. *sawer goceng*
HapusPengalaman dulu selama kuliah di Malang, kami berasal dari berbagai daerah di Indonesia dan tentu saja komunikasi kami menggunakan Bahasa Indonesia :D Tapiiiiii, ketika kami berbicara dengan teman yang sedaerah asal, maka kami akan sama2 menggunakan bahasa daerah masing-masing. Di kosan juga begitu, bukan hal yg aneh jika mendadak mendengar bahasa Bali, bahasa daerah NTT, bhs batak, bahasa Sunda, bahasa Jawa dan lain-lain :D
BalasHapusAku sependapat denganmu Yan, skrg makin banyak saja yang tidak mempedulikan bahasa daerah. Contohnya saja di lingkungan rumahku, kedua orang tuanya bersuku Jawa, tinggal di Jawa, bahasa keseharian lingkungan kami Bahasa Jawa, tetapi mereka tidak pernah mengajak anak-anaknya berbicara bahasa Jawa, sampai akhirnya si anak belajar bahasa Jawa dari orang lain. Miris ya?
KECUALI, jika mereka tinggal di lingkungan yg berbeda. Maksudnya tinggal di Jakarta atau kota2 lain yg kesehariannya memang menggunakan bahasa Indonesia, itu masih bisa dimaklumi.
nah idealnya seperti itu, mbak. bagus itu. you rock..
Hapus