(sumber gambar: kekunoan.com) |
Seringkali tersisihkan
dan tak teracuhkan oleh kita, bahwa di sekeliling kita terdapat sosok-sosok
tangguh. Ketangguhan itu tersamarkan oleh pakaian lusuh dan ekspresi kelelahan
yang sukar tertutupi. Mereka itu adalah pejuang kehidupan. Kehidupan mereka
sendiri dan orang-orang yang mereka hidupi.
Banyak yang menyebut
mereka sebagai orang kecil, orang miskin, rakyat jelata atau sebutan-sebutan
lain yang sekiranya pantas merepresentasikan penampakan dan
penampilan mereka. Mereka inilah yang sehari-hari dapat kita lihat di tepi-tepi
jalan mendirikan lapak sederhana (jika tak boleh dikatakan lapak yang sangat
tak bagus), mereka yang sehari-hari mengayuh sepeda bututnya, mereka yang
berjalan berpuluh kilo untuk menjajakan dagangannya
Pun mereka yang dengan (maaf)
kekurangan kelengkapan organ tubuhnya masih tak lelah berjuang demi kehidupan.
Pernah saya menyaksikan dengan mata (indah dan tajam #huek) kepala
saya sendiri, yaitu seorang lelaki paruh baya, dengan kaki yang tak lengkap.
Arti tak lengkap di sini tubuhnya hanya ditopang dengan satu kaki dengan
bantuan kruk. Dengan situasi dan kondisi seperti itu, lelaki tersebut setiap
hari mencari nafkah dengan menjadi tukang parkir. Tentu saja jelas kita ketahui
bahwa pekerjaan tukang parkir membutuhkan kecekatan dan kejelian untuk mengatur
posisi kendaraan. Namun dengan keterbatasan itu, lelaki itu tetap
menjalaninya dengan baik. Bapak tukang parkir itu masih bisa dijumpai di
halaman salah satu toko di Jl. Adi Sucipto Sleman. Lelaki hebat.
Saya termasuk jenis
remaja (remaja sepuh tepatnya) yang akan dengan mudahnya keluar sisi
melankolisnya jika melihat sosok-sosok seperti yang diungkap di
atas. Sisi cengeng saya akan segera mengudara dan merajalela. Saya akan sangat
bahagia jika melihat suatu warung kecil di pinggir jalan ramai dikunjungi
pembeli. Sebaliknya, jika saya melihat warung kecil (dan sangat sederhana) sepi
pembeli, hati saya teriris pilu, Sodara-Sodara. Ciyus.
Walau saya menggemari musik rock semacam Metallica, Led Zeppelin, Queen dan
sebagainya, tapi sesungguhnya hati saya berwarna pink. Nonton film
India saja ikut njoged.. (opo hubungane?)
Oleh para "orang
kecil", panas hujan tak mereka gubris. Tak ada istilahnya “nggak mood”
untuk menjalani hidup hari ini. Fighting spirit mereka terjaga
dengan baik. Baiklah, mungkin mereka melakukan itu dengan terpaksa. Tapi ini
bukan tentang keterpaksaan. Terlepas dari terpaksa atau tidak, yang jelas
mereka tetap berkarya.
Teramatikah oleh kawan
semua, bahwa di tepi-tepi jalan protokol di kota besar terselip lapak-lapak
kotor, sangat sederhana dan kecil. Teramatikah oleh kawan di Sleman bahwa di
depan Kampus UPN terdapat lapak kecil tukang reparasi sepatu? Teramatikah oleh
kawan di Semarang bahwa di tepi jalan kawasan Penggaron terdapat lapak kecil
penjual buah musiman? Teramatikah kawan di Jakarta, bahwa di separator lajur
jalan Sudirman duduk seorang pedagang yang menjajakan tahu sumedang?
Terpantaukah oleh pengguna jalan di pinggiran Grobogan bahwa tiap malam
terdapat lelaki-lelaki pencari kodok dengan lampu rakitan yang terpasang di
keningnya?
Yang sering terpikir
oleh saya adalah, dengan kerja keras dan beratnya perjuangan, apakah mereka
menerima hasil yang setimpal. Tetapi saya juga sering mengamati bahwa di wajah
mereka tetap saja tersungging senyum ceria dan wajah optimis. Saya lega
melihatnya. Tak mustahil justru mereka lebih bahagia dari mereka yang
kemana-mana mengendarai mobil mewah dan menenteng gadget terbaru.
Kata orang Jawa, urip iku wang-sinawang. Hidup itu tak
seperti yang terlihat dari luar.
Ukuran kebahagiaan
memang sungguh relatif. Saya asumsikan pengakses tulisan ini adalah kawan yang
berasal dari kaum berada. Karena jelas mampu mengakses internet dan urusan
makanan sudah tak menjadi beban lagi. Begini, setiap hari kawan pembaca
pastilah dengan mudah membeli makanan dengan hanya mengambil uang dari dompet
tanpa harus bersusah payah. Setiap hari kawan tinggal mengakses di
aplikasi mobile banking untuk membeli pulsa. Kemanapun pergi
tinggal menghidupkan motor dan mobil. Piranti
komunikasi yang sebenarnya masih baik dan berfungsi normal pun
dicampakkan dan beralih ke seri terbaru, hanya demi kepentingan gaya dalam
pergaulan.
Sangat mungkin
lho, "orang kecil" justru lebih bahagia daripada kaum
berada dan berkecukupan. Karena kebahagiaan memang memiliki standar yang
berbeda-beda. Dan "orang kecil" niscaya memiliki standar kebahagiaan
yang lebih sederhana dari kaum berada. Mereka yang serba kekurangan akan
menyambut makan sebagai ritual yang sungguh membahagiakan. Ritual yang sungguh
nikmat. Acara yang sedemikian ditunggu-tunggu kedatangannya. Karena memerlukan
perjuangan yang tidak ringan. Dengan berjalan kaki dan berpeluh sampai dleweran.
Sedangkan kita, bahkan makanan sering dibuang-buang. Klewo-klewo dan
mubadzir. Betapa nistanya kita (kita? lu aja kali, yan.. )
Kita dengan mudahnya
membeli makanan, bahkan bisa sesuai keinginan kita dengan variasi jenis
menu dan harga. Syukur pun acapkali lupa terselip di hati, bahkan hanya
untuk terucap. Ah, betapa sungguh durjana..
Kita yang (alhamdulillah)
serba cukup, seringkali memasang standar yang tinggi untuk mencapai makna
kebahagiaan. Dalam perjalanan mencapai "kebahagiaan" itu, jelas
sekali akan banyak terlewat hal sederhana yang sebenarnya di sana terkandung
kebahagiaan hakiki. Kita lupa bahwa makan nasi kucing di angkringan dan
bercengkerama bersama teman-teman itu ekuivalen dengan kebahagiaan itu sendiri.
Tapi kebahagiaan menjadi sirna jika dalam berkumpul bersama kawan tersebut kita
malah memikirkan: “Kapan ya bisa punya pacar secantik pacar si Darno itu?”.
Analoginya begitu. Dong opo ora?
Kita seringkali
melewatkan kesempatan untuk bahagia karena kita tak pernah meluangkan waktu
untuk “berhenti” sejenak, saat ini, di titik ini, untuk mencoba menelisik
kebahagiaan yang tersimpan di "fase ini.” Alih-alih kita justru
menginginkan, mencari, tak berhenti memikirkan dan menggapai yang belum
tersaji di depan kita. Kalau begitu, njuk kapan kita bisa
bahagia? #selfnote
Naik sepeda Polygon tak
ternikmati karena sudah menginginkan sepeda merk Scott.
Memiliki BlackBerry Onyx belum teroptimalkan fungsinya
sudah kepincut Xperia Z. Naik Supra X belum
ternikmati karena sudah iri dengan tetangga yang baru beli V-Ixion.
Punya Gran Max belum merasakan kenyamanannya sudah ngeces lihat Outlander.
Punya kekasih mirip Artika Sari Devi tak bersyukur, sudah tergoda dengan
mahasiswi montok seperti Rahma Azhari. Gitu terus. Tak ada
berhentinya.
Bahagia itu pilihan. Ryan keren itu keniscayaan.. *digajul*
Oke, bye..
Pertamax!! :D
BalasHapusBensin eceran!
Hapusapik sam,, hehe.. opini....
BalasHapusNuwun, Cak! You, rock..
HapusCiptakan kebahagiaanmu menurut caramu sendiri. Sedikit rekayasa pun tak apa. (Quote angkring) hahaha.. Maju terus dek, pancal! :D
BalasHapusQuote yang sungguh laaaaar biasa, Mas. Mari kita memancalkan sinar aura positif diri kita. Oh itu memencarkan ding... #krik #krik
HapusAku pernah jumpa seorang ibu yang menjadi buruh cuci. Dan beliau bilang gini: 'saya tau Tuhan sayang sama saya, saya dikasih badan yg sehat sehingga saya bisa bekerja jadi buruh cuci, bukannya ngemis-ngemis. Dikasih kesempatan makan 3 kali sehari, walaupun cuma lauk tempe dan seadanya, saya udh bagahia banget, mba. Syukur alhamdulillah'.. That time, I felt like a big hand was slap me on face. Pikirku: 'njir, ini gw kemana aja sampe lupa mensyukuri nafas yg masih bs dihirup hari ini? Makanan yg masih bs di makan hari ini? Kesehatan yg masih diberi hari ini?'.. Pernah juga beli jambu biji di bapak yg jualan keliling, 3rb dapet 6 buah. Lalu aku ksh uang 10rb, dan kubilang kembaliannya buat bapak saja, tp si bapak kekeuh ksh 14 buah jambu bijinya, alih-alih ngambil gitu aja uang kembalian 7rbku. Mereka itu orang-orang hebat.. :')
BalasHapusSungguh komentar yang juooos. Bahkan berpotensi untuk dibuat tulisan tersendiri. hihihihi. makasih Indah. sangat inspiratif.. :)
Hapuskalo kata bapak2 di tempat magang...,"bahagia itu kita yang menentukan dan merasakan...,bukan orang lain..., jadi lakukan apa yang menurutmu bisa membuat mu bahagia kelak...,asal tidak melanggar norma2 yang sudah ada le"...,ngomong2 tambah dewasa aja ni tulisan hahaha
BalasHapus