(sumber gambar: prezi.com) |
Telepon Seluler
Dewasa ini, perkembangan
teknologi demikian cepat terjadi. Bahkan teknologi telah menjadi bagian yang
tak terpisahkan dari lingkup kehidupan kita sehari-hari. Salah satu produk
teknologi yang saat ini seolah tak bisa dilepaskan dari diri kita adalah
telepon seluler (ponsel). Kemana pun kita pergi, ponsel menjadi piranti wajib
bawa. Jika saja kita lupa membawanya, kita akan segera mengalami
kebingungan, karena merasa telah terputus dari interaksi dengan dunia luar.
Kiprah ponsel di
Indonesia diawali ketika pada 1993 PT Telkom memulai proyek percontohan seluler
digital Global System for Mobile (GSM), dimulai di dua pulau,
yakni Pulau Batam dan Pulau Bintan. Kemudian disusul pada tahun 1994 PT Satelit
Palapa Indonesia (Satelindo) beroperasi sebagai operator GSM pertama di
Indonesia, dengan mengawali kegiatan operasinya di Jakarta. Saat itu ponsel
hanya dimiliki oleh kalangan the haves, dan masih termasuk ke dalam
kebutuhan kemewahan (tersier) karena harga jual yang kurang terjangkau. Dalam
perkembangan selanjutnya, penggunaan ponsel menjadi sangat pesat. Ponsel
seketika menjadi kebutuhan sekunder, sebelum akhirnya sekarang ini dirasa cukup
sah jika ponsel ditahbiskan sebagai kebutuhan primer.
Ponsel sebagai suatu
produk teknologi, saat ini telah menjadi suatu identitas budaya era
informatika. Penggunaan ponsel sebagai gadget komunikasi sudah
melekat pada setiap derap langkah kegiatan manusia di era ini. Ponsel seolah
telah terintegrasi dan terinternalisasi dengan diri kita. Dimanapun kita
berada, bukan suatu pemandangan yang aneh saat terdapat banyak orang
menggenggam ponsel, dengan tingkah khas kepala menunduk dan berkonsentrasi
pada screen ponsel, pun seringkali diikuti dengan sikap tak
acuh pada lingkungan sekitar. Dalam perkembangan selanjutnya, kegiatan
menggunakan ponsel sampai pada taraf menimbulkan ketidaknyamanan bahkan
berpotensi membahayakan.
Cultural Lag dan Pelanggaran Hukum
Ponsel merupakan produk
kebudayaan era globalisasi dan informatika. Mengacu pada hal tersebut, akan
sangat relevan bila kita meninjaunya dari sudut pandang sosiologis kultural.
Kebudayaan mengalami beberapa perubahan karena mengikuti arus perkembangan
zaman. Salah satu dari bentuk perubahan kebudayaan menurut Munandar (1987)
adalah cultural lag atau kesenjangan budaya. Cultural
lag adalah perbedaan antara taraf kemajuan berbagai bagian dalam
kebudayaan suatu masyarakat. Artinya cultural lag di sini
adalah adanya selisih waktu antara saat benda (produk kebudayaan) ketika
pertama kali diintroduksikan dan saat benda itu diterima secara luas sampai
ketika masyarakat penerimanya dapat menyesuaikan diri terhadap benda tersebut.
Penyalahgunaan
penggunaan ponsel dapat dipakai sebagai contoh konkret dari
terjadinya cultural lag. Kerapkali kita lihat ponsel digunakan
seseorang saat mengemudi kendaraan bermotor, baik itu sepeda motor maupun
mobil. Di jalan raya sering kita jumpai para pengendara motor yang nyambi ber-SMS
dan bertelepon. Bahkan tak sedikit diantara mereka yang menyiasatinya dengan
menyelipkan ponsel di helm untuk bertelepon. Pengendara mobil pun tak jauh
berbeda, mereka pun acapkali terlihat melakukan multi-tasking,
bertelepon, ber-sms sambil mengemudi. Inilah bukti riil bahwa telah
terjadi cultural lag dengan contoh kasus penggunaan ponsel
ketika mengemudi. Cultural lag dalam hal ini terjadi karena
belum adanya kematangan/kedewasaan kita dalam menggunakan ponsel. Penguasaan
kita pada teknologi untuk memaksimalkan fungsi ponsel tidak disertai dengan
kedewasaan kita dalam menaati konteks waktu dan tempat penggunaannya. Ponsel
yang sebenarnya alat bantu komunikasi antar manusia, justru menjadi alat yang
berpotensi membahayakan.
Jika kita tilik tindakan
tersebut dari sudut pandang hukum yang berlaku di Indonesia, khususnya
Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan, maka penggunaan ponsel ketika berkendara adalah tergolong
pelanggaran terhadap pasal 106 ayat 1. Pasal tersebut mengatur bahwa pengemudi
wajib mengendarai kendaraan dengan penuh konsentrasi, dan di penjelasan pasal
tersebut tertulis jelas secara definitif bahwa menggunakan telepon termasuk ke
dalam kegiatan yang mengganggu perhatian ketika mengemudi. Sanksi untuk
pelanggaran tersebut diatur dalam pasal 283 Undang-Undang yang sama, yaitu
pidana kurungan paling lama tiga bulan atau denda paling banyak Rp. 750.000,00.
Pada akhirnya dapat kita
simpulkan, bahwa kita sebagai pengguna produk teknologi haruslah bijak dalam
memfungsikannya. Sehingga benda tersebut dapat benar-benar kita fungsikan
sesuai dengan peruntukannya dan tidak menimbulkan efek negatif baik kepada kita
sebagai pengguna aktif maupun kepada lingkungan sekitar. Kemudian, jika dalam
penggunaan produk teknologi tersebut menimbulkan potensi bahaya bagi lingkungan
sekitar dan hal itu termasuk ke dalam pelanggaran hukum, seyogyanya
penegakan hukum harus benar-benar tegak setegak-tegaknya.
aku pernah bawa masalah pelanggran penggunaan produk telekomunikasi seluler pas jaman kolokium PPKN jaman TPB 2006 (iyaa udah tua kita) lho yan!hehehehe..cm ngenanya ke aspek hukum dan hak pengguna/konsumen gitu. kamu ngena ke sosiologinya dan hukum.. gini nih lulusan KPM IPB! eaaa
BalasHapusDuh, nyebut tahun. Hakhakhak. Ayo bro share itu di blog babadotan-mu. Kan bisa menambah khazanah (pake z) pengetahuan kita tentang permasalahan ini dari sudut pandang dan dialektika masing-masing. By the way, hatur nuhun komenna. Salam EP eh EV!!
HapusGa jadi coment panjang ek -____- hehe
BalasHapusOkeee nambah pengetahuan, ak baru tau kalo ada istilah cultural lag terus disangkutin ke penggunaan ponsel nyiiipp :)) mengena padat dan berisi, sing aktip nulis blog ek!
Aseeeek. Mamacih fy. (^.^)9
HapusDulu awal-awal punya hengpon, benar2 sampai ketergantungan. Sehari saja hengpon ga berbunyi rasanya sudah yang gimana gituuuu. Hengpon ketinggalan bnr2 bisa membuat ari berantakan *halah*, tapi klo skrg sudah beda lagi Yan. Mau bunyi atau ketinggalan, aku yg biasa saja, palingan nanti minta maaf klo ada yg protes hohohoho.
BalasHapusOiya, aku ki termasuk yg multitasking saat memasak tapi ga bs multitasking saat nyetir, jd klo ada telpon/sms masuk lebih milih menepi baru buka hengpon. Ternyata aku bs terbebas dr pasal 283, yyaayyy!!!!
Ayo nulis2 maneh Yan :D
Sip, Mbak. Jangan sampai ngisin-ngisinni aku, Mbak. Mosok wis sepuh (dikeplak) motoran opo mobilan nyuambi telpon/sms-an. Kan saru. Harus bijak dan sesuaikan umur yo, Mbak. Hihihihi. (dikeplak meneh)
Hapusmenurutku, keberadaan HP sdh merupakan kebutuhan primer, krn untuk alat komunikasi. Dan, sebagai pengguna alat komunikasi ini, aku baru tau ada hukum-hukum seperti ini. Cukup menambah pemahanan :D .. untung ga pernah maenan hape kalo lagi nyetir.. ;;)
BalasHapusSip. Itu salah satu prinsipku yang sampai sekarang belum tak langgar. Baik pas motoran atau mobilan (soalnya bikin mumet hihi). Baik di jalanan aktif atau di jalanan pas lampu merah. Sebenarnya saat ini masih dalam rangka razia di jalanan Jakarta terkait tulisanku itu Indah. Ada razia dari polisi di Jakarta kepada pengendara yang main handphone, lampu motor tak nyala siang hari. Semoga peraturan itu bisa tegak dan "galak", agar kita yang belum "dewasa" dalam berteknologi, menjadi sadar dan bijak. Makasih, Indah komennya :))
BalasHapusHalo dek, Hehe
BalasHapusBagus tulisannya... Dikembangkan ya dek #logat pak tino sidin#
Temanya diupdate lagi yaahh, sudut pandang lumayan...
Tinggal digosok dikit keluar jin nyaa
Pokoknya km cetar membahanaa!!
Badai. Badai kerispatih. Mamacih, Mbake. Semoga bisa istiqomah nulis. Ide sudah berseliweran di kepala. Tinggal apakah tanganku yang macuk eri ini mau segera digiring untuk menggerayangi tuts laptop atau ga. Uwuwuwuwu. Nuwun (--")9
Hapusakupun selalu gemas jikalau melihat ada sesosok manusia yang menekatkan dirinya untuk bersms, bertelpon, atau bermain hape-ria di kala dia mengemudi, baik itu memngemudi motor, mobil, truk, bis, pesawat, atau getek sekalipun.
BalasHapusbiasanya saya sih merespon mereka dengan meng-klakson mereka dengan tidak biasa biar mereka bete.
ya.. semoga mereka bete.
kurang lebihnya aku setuju dengan uraianmu, maka tos-lah!! tooss!!
Toss! *wudhu*
HapusJadi, pas liat orang pake hape sambil motoran itu rasanya pengen tak sahut hapenya, trus tak jual? #lah?
Tapi kalo yang hapean itu pake mobil, aku ga pengen nyahut, kan mobil ada jendelanya yang bisa ditutup kan? #dijelasin
Klo penyalahgunaan hape buat nonton mb oza*wa dkk termasuk cultural lag gk tuh? Kan lebih ke arah pelanggaran moral tuh bukan hukum..
BalasHapuswah iya sekali mas. itu termasuk cultural lag. itu termasuk ketidakdewasaan sang pengguna hape sebagai sarana komunikasi. itu penyalahgunaan. matur nuwun mas, itu bisa diproduksi menjadi satu tulisan berbeda. :)
Hapus